Sabtu, 31 Juli 2004

Sepasang Sepatu

Cerpen Zoya Herawati



Suatu hari di bulan Agustus, seseorang mengirimi aku sepasang sepatu, tepat ketika aku tengah membutuhkannya. Kukatakan demikian karena sepatu milikku yang beberapa minggu sebelumnya kubeli dari sebuah butik mahal, bagian uppernya sudah mulai retak-retak, mengenaskan.



Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat, menjadikan kakiku tak nyaman mengenakannya. Semua mata seolah menyipit atau melotot penuh ejekan saat menatap kakiku melangkah ke mana saja, hingga rasanya tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin ambles ke bumi. Pernah aku mengadukan perihal tersebut kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu yang harganya hampir setengah juta rupiah itu.



Tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. "Menyesal kami tidak bisa memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus seperti ini memang tidak diatur dalam perjanjian. Kalau Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang baru," katanya.



Kalimat yang disampaikan dengan lemah lembut itu tetap saja serasa menggempur dada. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya berhadapan dengan wajah manis, inosen, dan sedikit manja. Perempuan berparas ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang bisa kulakukan hanyalah memarahi diri sendiri menyesali kelemahanku itu.



Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke mana pun pergi aku hanya mengenakan sandal kulit yang sudah lama kucampakkan. Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi itulah, aku tak ingin musibah itu menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa membuatku kecewa, apalagi sepatu "ebrekan". Sampai beberapa minggu kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru seperti yang kuharapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sandal usang itu mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang kudengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut. Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang licik yang dengan sengaja menyembunyikan kekayaan yang dimiliki di desa. Tetapi karena hal itu bukan merupakan kesalahan aku pun hanya bisa diam.



Kubaca sekali lagi secarik kertas bertuliskan ucapan selamat ulang tahun yang kuambil dari kardus tempat sepatu. "Mudah-mudahan Agustus tahun ini memberimu kebahagian." Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada diri sendiri, siapa gerangan orang yang sudah berbaik hati mengirimi aku sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu?! Apa maksudnya? Apa ia salah seorang yang selama ini memperhatikan ke mana pun aku pergi hanya dengan mengenakan sandal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu mengirimkan sepatu ini? Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang, lalu membagikan sisa barang gudangnya? Tetapi mengapa hanya aku, bukankah di kampung ini banyak juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki sama sekali? Apa pun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang tepat.



Tatkala perasaan di dadaku sudah sampai pada puncak, aku kenakan sepatu itu dan mematut diri di depan kaca, sambil sesekali kuusir debu pada permukaannya agar sepatu itu tetap tampak mengkilap. Setelah kurasa cukup, kumasukkan kembali sepatu itu ke dalam kardus dan kusimpan di tempat yang cukup aman. Artinya terlindung dari pandangan rekan-rekan satu kos. Maklum, jika melihat benda baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dulu tanpa mempertimbangkan perasaan sang pemilik.

***

Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari siapa sampai saat ini aku tetap tak tahu. Tak satu pun petunjuk mengatakan kepadaku tentang diri si pengirim. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya. Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya diri. Dengan gesper putih mengkilat dan potongan dinamis, sepatu itu sepertinya cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu kiriman itu telah menjebatani duniaku dengan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan kata kunci bagiku untuk pintu yang di baliknya tersaji gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.



Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret pada keadaan yang aku sendiri hendak menolaknya seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia mirip sebagi anggota TRIAD, seperti dalam film-film laga.



Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupa sepasang sepatu.



"Saya memang berharap banyak dari Anda. Saya harap Anda bersedia menjadi calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah," katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.



Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum. Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihanya mendekatiku, ada rasa iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan pemberiannya. Tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan niat itu.



"Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meski saya tak ingin tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu," kataku tegas.



Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.

***

Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang, mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang mereka cari, toh ketika semua usai, yel-yel yang memenuhi udara tak akan ada artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.



Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain lebih senang mengalah. "Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta," kata Ketua Cabang berapi-api.



Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.



Ah, sudahlah! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku. Apakah itu sekadar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yel-yel murahan. Aku tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Jo, penjual air di kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping setumpuk kaos dengan gambar-gambar berbeda. Ketika dengan iseng aku menanyakan buat apa kaos-kaos dan bendera itu, dengan santai ia menjawab, "Ah, ndak ada maksud lain kok, Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun sekali."



Kala itu aku menatapnya heran, jawabnya yang tanpa nada getir sedikit pun tenyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang macam Wak Jo. "Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik," kata Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku hanya bisa menghela napas, menahan diri terhadap kata-kata politisi kampung tersebut. Mobil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam, sampailah kami.



Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Di sebelah kiri dan kanan bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret. Kebanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian besar tampak kerepotan menggendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu makin membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikan massa yang makin berjubel di sekitar lokasi.



"Mengapa, kurang sehat? Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka," Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa sakit di kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas panggung. Merdeka! Merdeka! Merdeka! Pekikku setengah hati. Aku tak peduli bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.



"Halo ibu-ibu, Saudara sekalian, di mana para suami? Mengapa mereka tidak ikut hadir bersama kalian di sini?" teriakku lantang meski aku sendiri tak tahu ke mana arah pertanyaan itu. "Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut ke sini kami semua tidak makan!"



Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus ke sawah untuk sekadar sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku mesti berdiri di sini dengan berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul tanpa tujuan, karena tiba-tiba para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa tempat mereka lebih tinggi dibanding aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri setiap orang, terutama Bendahara Partai.



Sampai di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin dulu. Kini hampir setiap sore usai melaksanakan tugas di kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke toko sepatu atau ke mall sekadar mencari sepatu yang persis sama seperti yang pernah dikirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku menemukan sepatu seperti yang kuharapkan.



"Saya kira itu model special edition, edisi special, Pak," sahut salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar putus asa.



Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekangku di suatu tempat tanpa pernah memberiku ruang gerak sedikit pun. Ia telah memenjarakan aku dengan tampilannya yang trendi tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap kali manyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.



Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku, barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus kebebasanku kembali. ***

Emtebe Maret 2004

Sabtu, 24 Juli 2004

Pohon yang Hilang

Cerpen Rachmat H. Cahyono



Lelaki bertubuh kecil bernama Marzuki itu terkejut melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ia serasa mengenali garis-garis wajah itu.



"Man, Lukman, masya Allah. Bener ini kamu, Man?"

Lelaki yang disapa Marzuki itu tersenyum. Benar, itu memang Lukman, kawan masa kecilnya.



"Apa kabar, Ki?"

Mereka saling berangkulan. Lebih tepat, Marzuki merangkulnya lebih dulu.



"Nggak saya sangka, Man. Keren banget kamu sekarang. Cakep. Berapa tahun ya kita enggak ketemu?"

Sebaliknya, ia justru melihat kehidupan mandek begitu saja di suatu tempat. Berubah menjadi hantu tumpukan persoalan yang membuat kenalan lamanya itu terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya. Uban di rambut, kantong mata kendor, letih menatap hidup. Tubuh kecil ringkih.



Ia sengaja menyulap dirinya menjadi peziarah yang singgah sebentar ke tempat lama yang dikenalnya. Perkampungan itu. Perkampungan di tengah ibu kota. Hampir 20 tahun berlalu, semenjak keluarganya membawanya merantau ke kota lain. Ke pulau lain. Lalu menghilang dalam kelebat hidup bergegas di negeri empat musim.



Sekolah. Bekerja. Berkeluarga. Perkelaminan. Hidup ternyata cuma deretan angka-angka.

Berapa umurmu? Apakah nilai sekolahmu selalu bagus? Hei, kau sudah bekerja ya, berapa gaji pertamamu? Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu? Nomor teleponmu yang sekarang dong? Umur berapa kau menikah? Berapa anakmu sekarang?



Hah. Angka. Angka. Angka.

Sekarang angin membawanya kembali ke sana. Ke tempat ia melewati masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remajanya. Dua puluh tahun lalu. Bukan waktu sebentar. Cukup untuk mengaburkan segala kenangan masa silam menjadi serpihan-serpihan samar yang tak lagi jelas warna dan bentuknya. Ah, kenangan. Bisakah manusia hidup dari kenangan?



Betapa pun ia menyukai kunjungan itu. Apa pun alasannya. Apa pun maknanya. Ia bisa kembali menginderai perkampungan yang begitu "kampungan" itu ("kampungan". Ia selalu mengucapkan kata itu dengan nada rindu yang berbekas di ujung lidahnya). Bertemu bau khas memualkan meruap dari selokan mampet berwarna keruh kehitaman. Terkadang ada bangkai tikus bengkak dengan perut membesar keputihan, mengambang di selokan. Orang-orang berlalu dengan sorot mata jijik dan tangan menutup hidung.



Tak ada kata lain yang lebih tepat selain mengakui perkampungan di tengah kota itu memang jorok betul dan kampungan betul. Padahal, letaknya bersisian dengan salah satu jalan penting di pusat Jakarta. Sebuah perkampungan tua. Konon riwayatnya bisa dirunut sejak Sultan Agung dari Mataram memutuskan menyerbu VOC di Batavia. Prajurit Sultan Agung yang tercecer kemudian menetap di perkampungan itu, kawin mawin dengan penduduk asli, beranak pinak. Jangan-jangan mereka desersi karena gagal menaklukkan birahi mereka sendiri.

Bagaimanapun, perkampungan itu pernah ikut mengasuh dan membesarkannya.

***

Marzuki mengajak mampir ke rumahnya. Ia penuhi ajakan itu. Masih rumah lama, rumah warisan orang tua. Letaknya berdekatan dengan lapangan bulu tangkis tempat dia bermain di masa kanak-kanak dulu. Sekarang lapangan itu sudah disemen, rapi, dengan garis-garis permainan dari ubin keramik putih, bukan lagi irisan bambu.



Hanya rumah Marzuki kelihatannya tidak banyak berubah. Letaknya masih lebih rendah daripada selokan di depan rumah. Rumah kecil yang catnya mengelupas dan selalu ramai celoteh kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Yang selalu kebanjiran ketika musim hujan tiba. Marzuki memperkenalkannya pada perempuan berpenampilan seadanya. Istrinya.



Ia memaksa diri minum teh manis yang dibuatkan perempuan itu. Terlalu manis. Gelasnya tidak terlalu bersih; masih tersisa aroma sabun. Agaknya dicuci tergesa-gesa. Gelas murahan, dapat gratis jika membeli barang-barang tertentu di pasar.



Ia tak membiarkan Marzuki bertanya lebih jauh perihal kehidupannya sekarang. Buat apa. Ia tahu dunia mereka sudah terlalu jauh berbeda. Justru ia yang sibuk bertanya-tanya pada kawannya itu mengenai kehidupannya sekarang. Kehidupan kawan-kawan lama mereka. Orang-orang yang pernah dikenalnya, yang ikut mewarnai kehidupannya di masa lalu. Begitu banyak perubahan. Bukan untuk mengorek, tapi sekadar memenuhi rasa ingin tahunya saja.



"Si Jimi?"

"Jadi Bandar putaw. Mati. Ditembak polisi."



"Astaga. Kalo Syafri?"

"Di Arab. Jadi TKI."



"Rima?"

"Di Surabaya. Bini kedua. Anaknya udah tiga."



"Syamsul?"

"Alhamdulillah, dia yang paling bener hidupnya. Sekarang punya pesantren kecil. Di Bogor."



"Masduki?"

"Kerja di pabrik gelas di Tangerang."



"Ustad Bibi?"

"Meninggal, Man. Tahun lalu. Darah tinggi."



"Innalillaahi…"

Ah, kenangan manis. Masa kanak-kanak. Percakapan mengalir begitu saja. Wajah-wajah berlintasan. Samar-samar. Sayup-sayup. Ada orang mengaji Quran. Ingatan mengalir kembali. Ustad Bibi, Habibi, dengan rotan yang tidak pernah ketinggalan dihantamkan di rehal. Sakitnya cubitan ustad itu. Ia pandai mencubit seperti perempuan. Kecil, pedih, berbekas di paha.



Terbayang kembali masjid kecil dengan dinding setengah tembok setengah kayu, di tengah perkampungan, tempat dia belajar mengaji. Suara anak-anak membaca juz Amma. Ada suaranya di sana. Kecil. Nyaring. Cerita tentang sorga dan neraka. Nanti di alam kubur akan ditanyai malaikat. Ah, kenangan.



Untuk sesaat, ia juga bisa melihat kemuraman terhapus dari wajah Marzuki. Mereka tertawa, semakin larut dalam kenangan masa kanak-kanak.

"Tapi sekarang perkampungan ini tambah gersang ya, Ki? Pohon gede semakin jarang kelihatan."



Marzuki mengangguk, masih ingat betapa mereka dulu begitu gemar memanjat pohon. Sekarang perkampungan itu semakin kehilangan pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak. Mungkin karena rumah-rumah semakin tumbuh merapat. Tak ada lagi lahan tersisa untuk tumbuh sebatang pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak.



Padahal, begitu cintanya mereka waktu itu pada pohon tinggi. Pohon apa saja. Makin tinggi makin menantang. Ya, ia tetap mengingatnya dengan baik. Pohon mangga, pohon jambu air, pohon seri, pohon cereme. Bahkan pohon buni di dekat rumah kosong yang angker dan konon ada penghuninya, dengan buah kecil-kecil yang masam dan segar buat kelengkapan rujak tumbuk. Jenis buah yang tak lagi dikenali anaknya yang terbiasa dengan buah-buahan impor yang berderet di super market. Ah, Jakarta, ibu kota ini terlalu pelit dalam memberikan pohon di lingkungan pemukiman. Khususnya di perkampungan macam ini.



Mendadak Marzuki mengajaknya ke luar rumah. Ia mengikuti dengan pandangan bertanya. Masih di dekat lapangan bulu tangkis itu, Marzuki berhenti. Ada sebuah tempat anak-anak muda kampung itu biasa berkumpul.



"Masih ingat tadinya di sini ada apa?"

Ia tersenyum. Mengangguk.



"Pohon jaran. Kak Ila," bisiknya.

"Hehehe… ingetan kamu masih bagus, Man."



Ia tersenyum. Samar. Dulu di tempat itu memang ada sebatang pohon jaran. Entah apa nama latinnya. Pohonnya tinggi, besar, kokoh, sekitar 30 meter menjulang ke langit. Daunnya kecil-kecil, rimbun. Pohon kesayangannya. Hampir setiap ada kesempatan ia selalu menaikinya. Bahkan pernah bersama Marzuki ia membuat rumah-rumahan kecil dari kayu, di pohon itu. Ia senang berada di atas. Seolah tangannya bisa menjangkau langit biru. Gedung tinggi Jakarta terlihat di kejauhan. Mosaik pemukiman sekitarnya. Jika beruntung, pagi-pagi sekali, ia bahkan masih bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan. Ia bisa menuntaskan khayalannya menjadi petualang perkasa yang menaiki tiang-tiang tinggi kapal layar yang berlayar di tengah samudera. Bahkan ia betah berjam-jam berada di atas pohon itu.



Dan sebuah kamar mandi umum tanpa atap, radius sekitar 30 meter dari pohon itu. Ingatan yang tak pernah lekang dari benaknya. Ketika dari atas pohon itu, tanpa sengaja, ia dan Marzuki memergoki tubuh perempuan dewasa yang sedang mandi. Utuh. Penuh. Sempurna. Dengan paha bak pualam, payudara indah seperti keramik Cina. Tanpa sehelai benang pun. Ia melihat semuanya. Tubuh bugil Kak Ila, istri Mas Agus, tetangganya. Basah berlumur busa sabun.



Pemandangan itu, meskipun hanya satu kali, begitu mengesankan dan sempat bersemayam lama di hatinya. Membuat dada kanak-kanaknya yang tengah memasuki masa peralihan ke usia remaja, selalu berdesir. Untuk pertama kalinya ia merasakan desakan gairah begitu kuat di sekitar celananya.



"Kamu tahu Man, aku onani pertama kalinya ya setelah ngeliat Kak Ila itu. Malamnya ketakutan setengah mati. Mikir, kemakan omongan orang, kalau onani bisa jadi buta dan gila. Bego ya, dasar anak-anak," bisik Marzuki sambil nyengir dan mengedipkan matanya.



Ia tersenyum simpul. Hal yang sama juga terjadi pada dirinya.

Sekarang pohon itu sudah tidak ada. Ditebang beberapa tahun lalu. Di bawahnya dibangun pos ronda. Namun, ia masih bisa melihat sisa pohon itu. Bonggol akar dan pangkal batangnya dibuat semacam meja oleh anak-anak muda kampung itu. Meja kayu yang tampak tua, hitam mengkilat karena dipernis berulang kali.



Meskipun hanya sebentar, ia tahu perjalanannya ke perkampungan yang pernah ditinggalinya itu memuaskan rasa ingin tahunya. Ada janji lain yang harus dipenuhinya kepada seorang relasi. Waktu untuk berpisah sudah tiba. Ia segera berpamitan pada Marzuki, masih sempat menyumpalkan lembaran uang ke tangan kurus itu



"Apaan nih, Man. Masya Allah, banyak bener. Enggak salah nih. Lima ratus ribu. Makasih ya, Man."

"Kalau ada tawaran harga cukup bagus untuk ngelepas rumah dan tanahmu, terima aja ya, Ki," katanya sambil bergerak menjauh dan melambaikan tangannya.

"Apa, Man?" Marzuki tak begitu mendengar perkataannya, karena masih terperangah pada rezeki nomplok yang hinggap di tangannya.

***

Dalam mobil yang membawanya ke salah satu hotel bintang lima di pusat kota, ia tahu ia tidak terganggu dengan kenangan sesaat dari perkampungan itu. Keputusannya tidak berubah.



Ia menelepon sekretarisnya. "Halo, Katrin, bagaimana dengan persetujuan gubernur? Sudah turun hari ini? Bagus! Saya sudah melihat lokasi itu. Sampaikan pada semua staf, saya minta mulai bergerak hari ini juga," pesannya dengan nada tegas.



Persetujuan dari gubernur sudah turun untuk studi kelayakan yang dibuat timnya terhadap wilayah itu. Cepat atau lambat warga perkampungan yang pernah menjadi tetangganya akan tergusur dari lahan itu. Dengan cara apa pun. Ia mengeraskan hatinya. Wajah-wajah mereka yang pernah dikenalnya di perkampungan itu berlarian di benaknya.



Sekarang ia siap kehilangan tempat itu. Perkampungan yang mandek dan tersesat dalam waktu. Mungkin terasa pahit pada awalnya. Tapi, obat pahit dibutuhkan untuk menyembuhkan sakit dan melanjutkan hidup. Pohon kokoh bisa ditebang jika tak dibutuhkan lagi. Marzuki dan keluarganya? Teman-temannya yang lain? Tetangganya di masa lalu? Terima kasih. Mereka akan selalu menjadi bagian kenangan hidupnya. Namun biarlah sang nasib yang akan mengatur hidup mereka selanjutnya. Ia pun hanya menjalani nasib dan kehidupannya sendiri. Ia tahu itu. Sejak lama.



Ia juga tahu berapa harga pantas untuk sebuah kenangan. Tolol kalau membiarkan perkampungan itu tetap ada dalam peta Jakarta. Lokasinya terlalu strategis untuk diabaikan dari sudut pandang ekonomi. Ia tahu ia bisa menyulapnya.



Ah, pesulap. Tiba-tiba saja ia ingat nama-nama itu.

"Rustam, kamu tahu pesulap yang namanya Houdini atau David Copperfield?" Ia bertanya pada sopirnya.



"Yang David itu pernah dengar, Tuan. Yang satu lagi, belum. Kenapa, Tuan?"

"Tidak apa-apa."



Ia tersenyum. Dengan koneksi, modal, dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tahu ia bisa menjadi "pesulap" yang lebih baik daripada Houdini atau David Copperfield! ***

Jakarta, akhir Januari-awal Mei 2004

Untuk Ulfi Faizah di Malang

Sabtu, 17 Juli 2004

Pat Ngiat Pan

Cerpen Sunlie Thomas Alexander



DIAM-diam aku masih sering berharap dapat melihat Song Ngo1. Perempuan cantik di zaman Dinasti Hsia yang terbang ke bulan setelah menelan pil tumbuh-tumbuhan itu. Sering kubayangkan tubuhnya yang berbalut gaun putih panjang berenda-renda tembus pandang, melayang-layang di atas tanah bulan yang berbatu-batu dan penuh lubang dalam sebuah pemandangan yang sempurna.



"Song Ngo akan selalu menaburkan kembang di permukaan bulan ketika purnama penuh setiap tanggal lima belas bersama ibumu." Kuingat ayah, "Terlebih setiap tanggal lima belas bulan kedelapan, ketika orang-orang menggelar meja sembahyang di halaman rumah." Maka aku kecil pun duduk dengan manisnya di teras depan rumah, memandang bulan yang sebesar nampan dengan takjub. Menunggu dengan penuh minat dan harap. Meskipun kemudian sampai jam dua belas malam dan sembahyang harus diakhiri, Song Ngo tak juga kunjung muncul. Apalagi ibu. Aku hanya dapat menelan kekecewaan dan menahan marah. Dan biasanya ayah akan membujukku dengan kue bulan bekas sembahyang: Ngion Kau, Teu Sa Piang, Nyuk Piang, dan lain-lainnya yang begitu manis. Namun mataku sudah sedemikian berat untuk dapat menemaninya minum teh. Hingga tinggallah ia sendirian di teras rumah, memetik gitar tuanya sambil menembangkan pantun-pantun:



Ngiat kong an liong, keu an phoi

Jai jap hoi-hoi, thian fung choi

Jai jap hoi-hoi, thian lu sui

Ako ta pan, thian moi loi�2

* * *

AKU pulang lagi ke Belinyu. Setiap tahun pada bulan kedelapan Imlek, aku selalu menyempatkan diri untuk pulang. Lebih-lebih setelah ayah meninggal. Sepanjang perjalanan di atas KM Bukit Raya milik Pelni yang kutumpangi dari Tanjung Priok, bulan di langit yang nyaris sempurna tampak menyerpuh keperakan dari palka kapal, mengetok-ketok pintu masa silam yang sentimentil. Begitu mempesona. Ai, purnama Pat Ngiat Chun Chiu3 memang selalu akan terlihat lebih indah dari biasanya, demikian selalu dikatakan ayah dulu. Dan di permukaan bulan itu, aku seolah-olah melihatnya sedang memetik gitar tuanya sambil menyenandungkan pantun-pantun berbahasa Hakka. Dia tersenyum kepadaku. Senyum teramat kurindukan yang selalu membuatku tenteram.



Ayah adalah orang yang lembut. Sejak kecil hampir tidak pernah ia memarahiku, apalagi sampai memukul. Manakala aku sudah terlewat nakal misalnya, terutama sewaktu beranjak remaja, cukuplah ia memelototkan mata saja sudah membuat aku tertunduk tidak berani memandangnya. Tapi yang paling kukagumi dari dirinya bukanlah kelembutannya sebagai seorang ayah tersebut, ataupun ketegarannya membesarkanku seorang diri dengan mesin jahit bututnya. Tetapi, kesetiaannya kepada ibu. Ah, ibu yang lebih kukenal dari foto buram terbingkai di kamar ayah dan dari cerita-ceritanya. Hanya samar-samar saja kuingat sosok sebenarnya dari perempuan cantik itu. Aku hanya ingat beliau dulu selalu menggoyangku di ayunan sarung sambil menembangkan pantun-pantun Hakka yang suka dinyanyikan ayah itu, hingga aku terlelap. Pantun-pantun yang percaya atau tidak, selalu meruapkan harum hio setiap kali ditembangkan.



Ibu memang meninggal terlalu muda, ketika aku baru berusia lima tahun. Konon, ayah tidak menangis saat itu. Tetapi beberapa teman dekatnya --hal ini pernah dikatakan Ngian Suk4, seorang teman baik ayah kepadaku-- tahu kalau hatinya remuk redam. Cintanya pada ibu, kata Ngian Suk, tak terbayangkan. Begitu besar. Hingga ia rela mengorbankan segala-galanya demi ibu. Termasuk keluarga dan hak warisnya. Melawan adat dan pantangan turun-temurun leluhur yang sama sekali tabu dilanggar, menurut kakek sama saja dengan menentang Thian5. Ayah diusir dari rumah.



"Aku tak peduli dengan apa pun, selain dapat menikah dengan Ngiat Ngo!" Syahdan ayah berteriak-teriak lantang di depan kakek-nenek dan saudara-saudaranya sebelum pergi.

* * *

NGIAT Ngo! Berarti angsa bulan, betapa nama ibu itu begitu meresap dalam batinku. Namanya sebagai salah seorang anak angkat dewi bulan Song Ngo. Dari ayahlah aku mengetahui semua riwayat mengenai hal itu. Cerita ayah, sewaktu kecil ibu selalu sakit-sakitan. Hingga nenek kemudian membawanya kepada seorang sinsang6. Berdasarkan petunjuk dari kitab sam se su7, sinsang itu kemudian menyimpulkan kalau jiwa ibu tidak selaras dengan nenek sebagai orangtua dan anak, tidak sang sen8 istilahnya. Maka tiada cara lain yang lebih bijak, kata sang sinsang, selain ibu harus diangkat anak oleh dewi bulan dan berganti nama.9 Maka melalui sebuah ritual kecil di kelenteng, digantilah nama ibu dari Kim Ngo yang artinya angsa emas menjadi Ngiat Ngo. Sesudah itu ibu tidak lagi sakit-sakitan. Namun sebagai seorang anak angkat Song Ngo, pada setiap tanggal lima belas bulan ke delapan Imlek, ibu atau keluarganya harus mengadakan sembahyang bulan di halaman rumah sebagai bentuk kebaktian kepada sang dewi.



Dewi yang karena kesucian hatinya telah menyelamatkan bulan dari tangan pemanah sakti, Hou Yi yang tak lain adalah suaminya sendiri. Syahdan cerita, ribuan tahun yang lalu pada tanggal lima belas bulan delapan Imlek, kaisar memerintahkan Hou Yi untuk memanah jatuh rembulan karena cemburu pada permaisurinya yang setiap malam purnama cerah lebih senang duduk memandang bulan daripada melayaninya. Untuk melindungi bulan dari panah sakti suaminya, Song Ngo yang mengetahui perintah rahasia sang kaisar tersebut pun rela menelan sejenis pil dari tumbuh-tumbuhan hingga tubuhnya menjadi seringan kapas dan terbang ke bulan. Karena cintanya yang begitu dalam kepada sang istri, maka Hou Yi dengan terpaksa melawan perintah kaisar. Berulang-ulang ayah senang sekali mengisahkan dongeng itu kepadaku dulu, sambil memandang rembulan yang terang benderang di teras depan rumah.



Ah, barangkali selama dua atau tiga minggu, aku akan berada lagi di rumah. Rumah tua yang dulu dibeli ayah dengan jerih payahnya selama puluhan tahun sebagai tukang jahit dan kini hanya ditunggui oleh Fuk Suk, bujangan tua kawan karib ayah. Pertama-tama, seperti biasanya yang akan kulakukan sesampai di Belinyu tentu saja berziarah ke makam ayah dan ibu di pemakaman Kung Bu Jan. Sesudah itu barangkali aku akan mengunjungi beberapa teman sekadar berkabar, juga menyaksikan ritual Lok Thung10 di pelataran kelenteng Kuto Panji, kemudian melaksanakan sembahyang bulan.



Tanggal lima belas bulan ke delapan, tinggal empat hari lagi. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menata kue-kue bulan di atas meja sembahyang, membakar hio, dan duduk di teras rumah dengan secangkir teh pahit sambil menikmati keindahan purnama Pat Ngiat Pan. Siapa tahu Song Ngo muncul bersama ibu, menaburkan kembang setaman�batinku getir.

* * *

AKU kembali memandang asap hio yang meliuk-liuk liar dibawa angin malam seperti seekor naga yang nakal itu. Seolah-olah mengajakku menari seperti waktu kecil, di mana aku selalu berjingkrak-jingkrak setiap kali melihat asap hio yang meliuk-liuk pada saat sembahyang bulan digelar di halaman rumah. Biasanya ayah akan menegurku: "Duduklah yang tenang Jong, kalau ingin melihat Song Ngo dan ibumu!" Maka aku pun terdiam, duduk memeluk lutut di teras sambil memandang bulan, dengan sesekali melirik berbagai jenis kue bulan, buah-buahan segar, batang tebu, kembang tujuh rupa, tiga sloki teh, kelapa muda, bedak, sisir, cermin dan lain-lainnya yang diletakkan sebagai sesajian di atas meja sembahyang. Kemudian perlahan-lahan harum hio akan mulai merasuki pernafasanku, membuatku serasa melayang-layang. Kadang-kadang aku menumpang awan seperti Sun Go Kong, adakalanya pula aku duduk di punggung seekor naga. Hanya ketika itulah aku dapat mendengar lagi suara ibu yang begitu merdu menembangkan pantun-pantun di samping tempat tidurku. Tetapi hal ini tidak pernah berlangsung lama, sesaat kemudian aku sudah menemukan diri kembali di hadapan meja sembahyang. Dengan embun yang turun perlahan mengusap sesajian yang tergelar di atas meja dan batang-batang hio yang semakin pendek dengan abu berjatuhan.



Langit begitu bersih tanpa awan. Sejauh mata memandang, hanya bintang-bintang yang berkerlap-kerlip dan purnama lima belas Imlek yang tergantung di atas langit bagaikan lampion. Bulan yang begitu jernih dan terang. Mungkinkah kali ini aku dapat melihat Song Ngo muncul melayang-layang diiringi ibu dengan keranjang penuh kembang-kembang? Lagi-lagi pikiran liar itu membuatku kecut sendiri. Pikiran kanak-kanak yang membatu abadi. Ai!



"Ibumu menjadi dayang Song Ngo di bulan, Jong," desis ayah sambil menatap purnama. Dimainkannya rokok kretek di tangannya berputar-putar, lalu dihisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya yang pekat ke udara. Asap itu meliuk-liuk naik seperti gumpalan asap hio. Tinggi membubung hingga hilang pandang. Menyampaikan pesan dari alam mayapada.



"Setiap kali kita sembahyang dan mengucapkan doa, asap hio akan mengantarkan doa kita kepada Thian, para dewata, dan orang yang kita tuju," ujar ayah penuh keyakinan. Karena itu aku harus berdoa dengan khusyuk, penuh takzim agar para bidadari dan dewata mau berbalas tabik. Memberikan berkah perlindungan dan rezeki semusim. Tapi sebagai anak nakal, setiap kali berdoa bersama ayah di depan meja sembahyang, diam-diam aku suka mengintipnya. Melihat bagaimana kekhusyukannya mengangkat hio di depan wajah dengan sepasang mata terpejam rapat sementara bibirnya berkomat-kamit mengucap doa untuk ibu.



Begitulah kenangan-kenangan itu selalu mengantarku pulang ke Belinyu pada setiap tanggal lima belas bulan delapan Imlek. Pulang untuk mengadakan ritual sembahyang bulan buat ibu. Agar ibu senantiasa berbahagia di bulan bersama Song Ngo, tukas ayah. Sampai akhir hayatnya, selama berpuluh tahun ayah memang tidak pernah sekali pun lalai mengadakan sembahyang bulan untuk ibu. Betapa kesetiaan dan cintanya itu membuatku terharu.



"Bagi ayahmu, ibumu adalah perempuan yang sempurna. Tidak ada perempuan yang sepadan dengan dia di dunia ini," tukas Fuk Suk yang tahu-tahu sudah berada di sampingku. "Padahal sembahyang bulan sebenarnya tak perlu lagi dilakukan bila orang yang menjadi anak angkat sang dewi sudah meninggal."



Aku hanya tersenyum, lalu menuntun lelaki tua itu ke bangku panjang di teras rumah. Kemudian menuangkan secangkir teh pahit untuknya dan menawarinya rokok. Dia meraih bungkus rokok yang kusodorkan, mengeluarkan isinya sebatang dan menanyakan korek api. Namun baru saja dua hisap, dia sudah terbatuk-batuk.



"Fuk Suk batuk? Ah, saya tidak tahu. Lebih baik jangan merokok kalau batuk, Suk. Sudah berobat?" tanyaku tidak enak. Tetapi dia hanya menyeringai.



"Ai, kau ini Jong, tak usahlah repot mencemaskan orang tua ini. Beginilah kalau sudah tua, badan celaka ini dingin sedikit saja sudah bertingkah macam-macam. Tak perlulah berobat segala!" Dia tertawa, "Hay, padahal dulu A Suk bersama ayahmu keluar masuk kampung berjualan kain. Puluhan kilo kami berjalan kaki, tidak ada sepeda, apalagi motor kayak orang-orang sekarang."



"Padahal ayahmu itu fu lo chai...11 Tetapi demi ibumu, ia rela hidup susah. A Suk sungguh salut padanya!" Fuk Suk terus berkisah. Sepasang matanya yang sudah rabun berbinar-binar, tak berkerdip menatap rembulan. Seakan-akan ingin meneropong semua kenangan.



Aku jadi termangu. Perempuan sehebat apakah ibu sesungguhnya, sehingga ayah yang begitu lembut dapat menjadi demikian keras melawan kakek? Aku memang telah terobsesi untuk mencari sosok seorang perempuan seperti ibu yang selama ini diceritakan ayah. Dan sampai usia yang sudah melewati tiga puluh ini, aku masih tetaplah melajang. Dulu, aku memang pernah dekat dengan seorang perempuan bernama Diana (Ah, nama yang berarti gadis bulan dalam bahasa Inggris). Tetapi alangkah jauhnya perempuan matrealistis itu bila harus aku sandingkan dengan sosok ibu.



Fuk Suk kembali menghirup teh yang kutuangkan. Cerita-cerita terus mengalir deras dari mulutnya. Konon, orang yang bershio ular tidaklah boleh menikah dengan orang bershio ular lainnya, demikianlah sudah kepercayaan yang turun-temurun. Manakala ada yang berani melanggar, alamat bala akan jatuh menimpa. Karena sepasang ular akan saling mematuk. Keluarga yang dibangun tidak pernah akan harmonis dan tenteram, penuh oleh percekcokan. Itulah yang disebut dengan sat sen.12 Dan bila ternyata pernikahan itu berjalan bahagia, itu pertanda kelangsungannya tidak akan lama. Bukan pula ketidakmungkinan, bila bala itu menjalar-jalar hingga kepada keluarga masing pihak. Itulah pokok persoalannya, ketika ayah jatuh cinta kepada ibu. Sama-sama bershio ular!



Ah, dua orang muda yang malang. Tentu bukanlah salah mereka, tetapi takdir langit semata. Tetapi yang membuat kakek lebih terperangah, ayah justru membuat kesalahan semakin besar karena ibu ternyata adalah putri musuh bisnisnya! Bukan sembarang musuh, tetapi Bong Hai Khin adalah musuh besar dengan dendam berkarat. Konon, sebagai sesama pendatang dari Kwan Tung, kedua-duanya sama-sama membuka toko kelontong di pasar. Sama-sama beruntung besar. Namun Bong Hai Khin --yang notabene adalah kakekku juga--tak puas berbagi untung dan bertindak culas. Diam-diam dijalinnya kongsi dengan Belanda, hingga dapat beroleh beras-gula-gabah lebih murah dari syah bandar. Dan dijualnya pula dengan harga di bawah harga resmi pasaran. Kakek kelimpungan. Berbondong langganan berpindah ke toko besar Bong Hai Khin. Dendam pun menetas.



Dan meskipun Bong Hai Khin kemudian jatuh bangkrut oleh entah sebab musabab --barangkali karena soi13, lalu meninggal, dendam itu tak juga terpadamkan. Maka sungguh lancang dan celaka, jika ayah berkehendak meminang putrinya! Perempuan yang sama-sama bershio ular, pantangan temurun yang jangan sesekali coba dilanggar.



Bulan Pat Ngiat Pan semakin terang, berkilau keemasan. Fuk Suk kembali menengadah. Aku mengalihkan pandang kepada batang-batang hio yang semakin pendek terbakar dengan jelaga berjuntaian mengotori meja sembahyang, lalu kembali mengangkat wajah.



"Seperti apakah sebenarnya Song Ngo itu, Ayah?" Aku teringat pada pertanyaan polos yang pernah kulontarkan itu. Ayah hanya mengusap-usap kepalaku. "Dewi amat cantik, Jong. Sehingga setiap orang yang melihatnya pasti akan terpesona seumur hidupnya."



"Cantik mana dengan ibu?"

"Ibumu secantik Song Ngo, Jong�," jawab ayah dengan lemah lalu merangkul bahuku. Aku tidak pernah melupakan wajahnya yang begitu kuyu saat itu di bawah terang cahaya purnama lima belas bulan ke delapan.



Jauh di masa kuliah kemudian aku baru tahu kalau tradisi sembahyang bulan ini berasal dari jzman Dinasti Yuen dan mempunyai makna yang amat dalam bagi bangsa Han sebagai suku mayoritas di Cina daratan. Menurut literature yang pernah kubaca, tradisi ini lahir di tengah kehidupan orang Han yang sangat sengsara di bawah pemerintahan Kerajaan Yuen yang zalim dan sewenang-wenang. Sehingga Jenderal Zhu Yuan Zhang, seorang pejuang bangsa Han, mengajak masyarakat untuk melawan Kerajaan Yuen. Dan pada malam hari perayaan Pat Ngiat Pan yang sengaja diciptakan sebagai kedok, dibagikanlah kue bulan yang bagian dalamnya telah disisipi dengan selebaran yang isinya mengajak masyarakat mengangkat senjata di malam hari untuk menyerang Kerajaan Yuen. Sampai akhirnya Jenderal Zhu Yuan Zhang dan masyarakat Han dapat mendirikan Kerajaan Ming.



Aah� Harum hio meruapkan aroma yang gaib, semakin santer menusuk pernafasan. Membubungkan keliaran alam pikiran. Pikiran kanak-kanak yang naif menisik malam, yang diam-diam masih menjadi sebuah harapan. Harapan dapat melihat Song Ngo dan ibu melayang-layang di atas permukaan bulan dengan sekeranjang kembang�tak mampu kusingkirkan! ***

Prancak Dukuh-Yogyakarta , Juni 2004





Catatan Kaki



* Pat Ngiat Pan: Perayaan Pertengahan Bulan Delapan, atau dikenal juga dengan Chung Ciu Ciat (Perayaan Pertengahan Musim Gugur) dirayakan pada setiap tanggal 15 bulan 8 Imlek. Disebut pula sebagai Ngiat Sin Ciat (Pesta Dewi Bulan).



1. Song Ngo (dialek Hakka) atau Chang ’ge (dialek Mandarin) adalah dewi bulan dalam mitologi China.

2. Bulan begitu terang, anjing begitu riuh menggonggong

Daun nyiur melambai-lambai, langit memerah rejeki

Daun nyiur melambai-lambai, embun turun dari langit

Kakak berdandan, bidadari pun datang.

3. Bulan delapan Imlek, yang dirayakan sebagai bulan dewa-dewi.

4. Paman (adik ayah), atau dapat digunakan juga untuk menyapa orang yang lebih muda dari ayah.

5. Langit, kata pengganti Tuhan bagi orang Cina.

6. Dukun Cina.

7. Kitab Tiga kehidupan, semacam buku primbon.

8. Keselarasan Jiwa.

9. Bila seorang anak diberikan kepada seorang dewa sebagai anak angkat, maka ia harus menggantikan namanya dengan nama yang mengandung unsur dewa tersebut. Misalnya dalam kasus cerita ini, tokoh Ngiat Ngo yang dipersembahkan kepada dewi bulan, nama depannya memakai kata Ngiat (bulan).

10. Ritual kerasukan dewa.

11. Anak orang kaya.

12. Orang Cina mempercayai setiap jiwa manusia memiliki naluri bawah sadar untuk saling menyakiti bila unsur (entah itu shio atau hongsui) yang menaungi mereka tidak cocok.

13. Sial.

Minggu, 11 Juli 2004

Burung Terbang dari Kuburmu

Cerpen Hamdy Salad



BURUNG-BURUNG terbang meninggalkan musim dingin menuju tempat yang lain. Melintasi laut dan hutan. Menggaris cakrawala di langit keabadian. Sebagian pergi menaikkan derajatnya menuju tingkat yang lebih tinggi. Sebagian dilepas dan diberi angka pada sayapnya, agar mudah dikenali kemana pun mereka pergi. Sebagian lagi hanya bisa menghabiskan waktu untuk bernyanyi dalam sangkar tirani.



Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah bosan untuk bersiul. Mengajari burung bernyanyi dengan irama yang tidak pasti. Setiap sore dan pagi hari, ia berdiri di depan rumah. Memberi makan dan minum melebihi anaknya sendiri. Ketan hitam, buah pisang dan gabah, juga air yang telah direbus dengan daun jambu, selalu ada di kepalanya. Tapi burung tak juga pandai bernyanyi, kecuali beriak dengan suara serak. Memaki-maki pita suara dalam tenggorokan lalu amarah merasuk di dada pemiliknya. Mengajak anggota badan untuk bertindak. Menggerakkan kedua lengannya yang kokoh untuk membanting sangkar sampai roboh ke tanah. Dan burung pun terbang, tergopoh-gopoh, mencari kebebasan yang telah lama dirindukan.



Pada saat yang kurang tepat, tetangga itu datang ke rumahnya. Mengumbar basa-basi dalam dunia burung. Di dekat mereka mengobrol, seekor beo masih bertengger dengan rantai di kaki kanan. Matanya melotot, menatap tetangganya tanpa ragu. Sepertinya beo itu hendak bicara, mengabarkan luka yang diderita oleh majikannya.



"Aku tetanggamu. Tak mungkin bisa menutup telinga."

"Ya. Pada minggu terakhir sebelum kepergiannya, burung itu telah membuat sarang dalam sangkar. Dan ketika sangkar telah rusak, sarang itu berpindah tempat ke dalam tubuh majikannya. Hingga tubuh sang majikan terasa sesak. Penuh jerami yang berserak."



"Lalu, pergi ke mana?"

"Mencari musim di tempat yang lain. Sebab burung yang tinggal dalam sarang tertentu, dengan mudah akan ditangkap orang, setiap musim setiap waktu."



Tetangga itu bangkit. Lalu pamit dan kembali ke dalam rumah sendiri. Sunyi tanpa kata-kata. Memahami bahasa burung dengan lidah manusia. Menerbangkan khayalan menuju kenyataan. Membawa mimpi ke dalam kehidupan. Burung pelatuk mencari makanan; mematuki pohon yang keras sebanyak 20 kali dalam 2 detik tanpa cedera; pendarahan otak atau sakit kepala. Burung ababil membawa kerikil dan batu api tanpa terbakar tubuhnya; juga sayap dan bulu-bulunya.



Burung-burung selalu dipuja karena suara indah yang keluar dari tenggorokannya. Perkutut jantan yang terkenal itu, mendapat sertifikat yang lebih mahal dari kemerdekaan. Kutilang berjengger biru ditukar orang dengan mobil terbaru. Cucakrawa berbulu putih dikeramatkan sebagai bangsa burung yang terpilih. Sementara elang, makhluk pemakan daging itu, tetap setia menggaris laut. Menunggu mangsa yang luput.



Elang bermata merah mengepakkan sayapnya menuju tempat fajar merekah. Kemudaian berdandan, menjelma makhluk paling serakah; meminum nanah; memakan daging-daging busuk sampai muntah. Sedang elang bermata hitam, terbang ke arah matahari tenggelam. Lalu bernyanyi, mabuk dan gila sampai mati. Sayap-sayapnya yang patah jatuh ke bumi. Menjadi pena. Menuliskan sejarah sendiri tanpa tinta.



"Bukankah bumi juga memiliki mata pena?"

"Ya. Tapi langit yang menyimpan tintanya."



"Jadi?"

"Jadi bumi tak bisa menulis sejarah sendiri. Kecuali langit mengirimkan tinta yang lebih murni."



"Ah!!"

"Lelaki juga punya burung. Tapi perempuan yang menyimpan sayapnya. Jadi lelaki tak bisa terbang sendirian, kecuali perempuan mengepakkan sayapnya."



Dan ini juga burung. Walau hari sudah sore dan petang, walau angin ribut selalu datang, sekelompok merpati itu tak mau pergi dari tempat kebebasannya. Mereka habiskan waktu untuk bersendau-gurau sembari mengais sisa-sisa makanan orang. Hingga sayap-sayapnya menjadi malas terbang dan kembali ke dalam sarang. Makhluk-makhluk bertelinga kecil itu lebih suka tertidur dan menunggu pagi di taman-taman kota. Para pemburu yang kebetulan lewat dan melihatnya, tanpa perintah atau komando, langsung menembaki mereka tanpa aturan. Merpati-merpati kelimpungan. Lalu roboh ke tanah. Tak bisa lagi terbang, berkicau atau berdendang, kecuali menangis dan merintih dalam perut si-gendut. Perut pemakan daging yang sedang ribut di balik dinding.



Kalau saja Daud dan Sulaiman masih hidup, tangisan itu dapat digubah sebagai nyanyian dalam telingamu. Dan engkau pun menjadi bebas merdeka untuk terbang menemui diri di atas langit yang tinggi. Sebab burung telah menjadi amsal ruhani untuk membawa pesan-pesan rahasia ke dalam bahasa manusia.



"Maka, pujilah nama Tuhanmu yang telah menerbangkan burung-burung semesta dari sangkar derita. Dan burung-burung pun menjadi bahagia dalam istana yang sesungguhnya."



Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah peduli pada kenyataan di luar angkasa. Pada burung-burung cahaya yang menerbangkan manusia sempurna menuju surga. Serupa sayap-sayap jibril, mereka berkepak membawa bahtera, mengangkat ruh para nabi menuju singgasana yang abadi. Sementara wali dan orang-orang terpilih yang teraniaya atau disiksa para penguasa, memperoleh sayap dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dari burung-burung putih untuk terbang dan kembali ke dalam istana sejati.



Simurgh, burung merak dengan sayap-sayapnya yang indah, telah dinobatkan sebagai mahkota yang mesti dicinta. Sedang bul-bul menggantikan sayap-sayap manusia sebagai anugerah para pecinta. Lalu hud-hud, burung yang paling beruntung di dunia, menurunkan rahasia Tuhan kepada Sulaiman. Hingga Balqis, perempuan ratu yang terkenal itu, menjadi tunduk dan berserah diri di hadapan raja Yang Maha Suci. Lalu duduk dan berdiri; membaca syahadat sampai kembali ke dasar bumi.



"Telah kuingat semua nama yang indah. Dan kulepaskan semua burung yang mati dari sangkar resah." Seekor gagak menggali tanah; mengajarkan cara pada anak adam dan hawa untuk mengubur dan menutup aib saudara.



"Oh. Celakalah aku. Mengapa aku tidak bisa berpikir seperti burung gagak itu, sehingga saudaraku Habil dapat dikubur di bumi ini." Qabil menyesal. Lalu bergerak dan mengantar kepergian saudaranya dengan cara burung gagak. Menutup jasadnya dengan tanah, melepaskan jiwanya dengan penuh rahmah.



Tangan doa menengadah ke angkasa. Mendedah sebutir pasir di tengah mutiara. Seperti juga tetangganya, orang itu bersusah-payah untuk menjadi diri sendiri. Setiap hari, dari pagi sampai petang, dari petang sampai pagi lagi, tak pernah lupa untuk mengaji. Memahami bahasa burung dengan kalimat-kalimat suci yang lebih abadi. Kecuali tertidur dan mati.



Tapi hidup telah membawa jiwanya untuk menolak rasa kantuk, tertidur atau mati dengan sia-sia. Selain rindu yang luar biasa untuk bertemu dan terbang bersama burung-burung bersayap sutra. Burung-burung kesaksian yang mengangkat ruh alam menuju langit keabadian. Sampai selaput yang tipis di cekung matanya menjadi terkikis. Dan cahaya berkilau, memancarkan sinar dunia ke wajah bumi yang hijau. ***

Sabtu, 03 Juli 2004

Aku dan Perempuan Anganku

Cerpen Lan Fang



11.54 malam hari, aku baru menyelesaikan sebuah naskah dan mengirimkannya melalui email ke sebuah media. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, sebotol obat tukak lambung, dan sebuah asbak dengan satu, dua, tiga, hmm….tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku.



Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Sementara perempuanku sudah sejak tadi lena berpelukan dengan gulingnya. Buat aku, tidak terlalu penting, apakah aku harus tidur di sofa atau di ranjang yang sama dengan perempuanku.



Sebetulnya, perempuanku tidak terlalu suka tidur seranjang denganku. Begitu pula aku. Menurutku, ia terlalu banyak aturan. Sedangkan menurutnya, aku terlalu jorok. Ia selalu menyuruhku mencuci muka, tangan dan kaki, menggosok gigi, memakai kaos dan celana tidur, lalu mengecupnya dan mengucapkan "Have a nice dream, honey…" Bah! Ia memperlakukan aku seperti anak lima tahun! Bukankah lebih nyaman menyelonjorkan tubuh dengan posisi seenaknya di atas sofa, dengan perasaan puas karena aku telah menyelesaikan sebuah naskah yang baik, walaupun itu tanpa menggosok gigi dan mencuci muka, tangan, kaki, lalu mengucapkan "Selamat tidur, sayang…" kepada angan-angan?



Angan-angan?

Hm…aku meletakkan kedua lenganku di belakang kepala.

Angan-angan?

Hm…aku memasuki sebuah café di sebuah plaza di tengah kota Surabaya di sepotong senja kelabu yang bergerimis. Hanya beberapa orang duduk di dalam café itu. Sepi. Sayup-sayup When I Need You mengalun dari suara Julio Iglisias.



Angan-angan?

Hm…aku melihat seseorang perempuan duduk di meja paling sudut di dekat jendela kaca. Ia memandang rinai gerimis seakan-akan menghitung jarum-jarum air yang turun satu per satu itu dengan tatapan kosong. Wajahnya cantik tetapi muram. Tubuhnya molek tetapi bahasa tubuhnya jelek sekali. Ia menggigiti ujung jari-jarinya, ia juga mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, ia juga gelisah bergantian menyilangkan kedua belah betisnya yang langsing.



Angan-angan?

Hm…aku berjalan menuju perempuan itu.

"Kenapa kau masih di sini?" tanyaku pada perempuan itu.

Ia menoleh. Tersenyum. Tetapi tetap muram. "Menunggumu. Akhirnya kamu datang juga," jawabnya gamang.

"Sudah lama?"

"Lama sekali. Bahkan hampir putus asa menunggumu."

"Lalu kenapa terus menunggu?"

"Karena aku yakin kamu pasti datang. Karena aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu. Karena aku sudah berjanji selalu berada di sisimu."

"Ah…," aku menghela napas dan kemudian duduk di depannya.

"Kenapa kau lakukan itu? Aku sudah dimiliki seorang perempuan," kataku sambil memandangnya lekat-lekat.



Ia mengangkat bahu. "Kalau aku jawab karena aku cinta padamu…, mungkin akan sangat terdengar klise. Kamu sudah pasti menulis terlalu banyak untuk sebuah kata cinta. Kalau aku jawab karena aku percaya padamu, mungkin akan sangat terdengar tolol. Kenapa bisa percaya kepada laki-laki yang telah memiliki dan dimiliki perempuan lain. Lalu menurutmu, aku harus menjawab apa?" ia balik bertanya.



"Jawab saja sesuai kata hatimu. Bukankah kata hati adalah suara yang paling jujur?"

"Hm…," ia bergumam agak panjang sambil menghirup float avocado di depannya. "Karena ngeri sekali rasanya membayangkan bila harus kehilangan dirimu," jawabnya lugu tetapi menyentuh perasaanku.



"Kenapa aku?"

"Karena kamu memberikan rasa nyaman," sahutnya cepat.

"Apakah kamu merasa nyaman menungguku sekian lama?"

"Tidak."

"Lalu?"

Ia menikam manik mataku dengan tatapannya yang murung. "Tahukah kamu, kalau kangen itu adalah luka yang paling nikmat?"

"Ah, sejak kapan kamu jadi puitis?"

"Sejak bersamamu."

Aku tertawa kecil. Bersama perempuan ini memang mengasyikkan.

Jeda sejenak ketika aku memesan fruit punch kesukaanku.

"Fruit punch? Cold? Tidak kedinginan? Di luar hujan. Apakah tidak lebih baik memesan cappuccino?" sergah perempuan itu.

"Kamu selalu membuatku merasa hangat," sahutku.



Olala, benarkah kata-kata pujangga bahwa dunia bisa terbalik kalau sedang jatuh cinta? Panas jadi dingin dan dingin jadi panas? Malam jadi siang dan siang jadi malam? Ah, itu kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang tepat! Sergahku dalam hati. Bagaimana kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang salah? Alamak, mungkin siang malam akan menjadi panas dingin.

Telepon selularnya yang tergeletak di atas meja mendadak mengeluarkan bunyi ’mengeong’.



"Siapa?" aku bertanya tanpa mampu menahan tawa. Jarang sekali aku mendengar ring tone mengeong seekor kucing.



Ia bergerak menekan tombol view lalu memperlihatkan message di layar kepadaku: ’elu di mna, honey? Gw lagi di Palem café Plaza Senayan. Kpn mo ke jkt? Gw yg atur semuanya deh. Kgen mo refreshing ma elu :)’

"Seekor kucing yang kesepian…," sahutnya dengan nada sumbang.

"Seekor kucing?"

"Seorang laki-laki yang kesepian," ia mengulangi kata-katanya.

"Tadi kamu bilang seekor kucing yang kesepian."



"Laki-laki sama seperti seekor kucing. Licik," sahutnya enteng. "Seekor kucing yang mengeong-ngeong minta dipangku dan dielus-elus tengkuknya. Lalu ia merem melek tidur di pangkuan. Tetapi ketika tetangga sebelah menawarkan seekor pindang, dengan mudahnya ia mengeong, mengendus, dan menjilat kepada tetangga sebelah," sahutnya sejurus setelah menghirup float avocado lagi.



Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Masa sampai seperti itu?"

Ia mengangguk-angguk. Lidahnya yang merah terlihat seksi ketika ia menjilati bibirnya yang indah. "Ya, semua kucing seperti itu. Entah itu kucing Persia, kucing Siam, kucing angora, atau bahkan hanya kucing kampung. Kucing mudah tergoda dengan pindang, empal, hati, atau apa saja. Bahkan kalau tidak ada yang menawari, maka sang kucing akan mencari-cari kesempatan untuk mencuri di atas meja makan, di lemari dapur, atau bahkan mengais-ngais tempat sampah!" ujarnya pelan tetapi terasa ketus.



Aku ikut mengangguk-angguk. Ketika fruit punch-ku datang, kuhirup dulu. Rasa asam dan kecut terasa menyegarkan lidah dan tenggorokanku. Walaupun ujung hidungku juga membias dingin seperti embun yang mengkristal di badan gelas. Lalu aku menyalakan sebatang rokok kretek. Menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskannya kuat-kuat. Rokok selalu membuatku merasa lebih tenang. Terlebih lagi jika aku berhadapan dengan perempuan ini.



"Hm…itu laki-laki ya. Laki-laki seperti kucing. Bagaimana kalau perempuan?" tanyaku sejurus kemudian.

"Perempuan seperti anjing…"

"Anjing?!" aku terpana.



"Ya, setia seperti anjing. Apa pun anjing itu. Anjing herder, anjing peking, anjing cow-cow, atau anjing kampung sekalipun, ia akan tetap duduk setia menunggu pintu sampai tuannya pulang ke rumah. Ia tidak akan makan pemberian tetangga sebelah. Anjing hanya memakan yang disodorkan tuannya. Ia tidak akan mencuri-curi kesempatan. Bahkan terkadang, tuannya sudah bosan dan mengusirnya sambil melemparnya dengan sepatu, sang anjing masih kembali menjaga pintu rumah tuannya," ia bicara panjang sambil tertawa.



"Ada sebuah cerita yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak. Seekor anjing setiap pagi mengantarkan tuannya ke stasiun kereta dan setiap sore menjemput tuannya di stasiun kereta. Suatu hari, tuannya meninggal di jalan dan tidak pulang kembali. Sang anjing tetap menunggu tuannya di stasiun kereta itu sampai mati pula di dalam penantiannya di stasiun itu."



"Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik.

"Hm, menurutku ironis!" sahutku.

Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang. Tawa panjangnya memenuhi ruangan café, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokan-selokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di sepanjang lorong hatiku.

"Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau dan aku."

"Kita?"

"Ya. Kita. Kau dan aku."

"Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti.

"Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau."

"Hah?"



"Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di café. Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu. Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu."



"Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini cuma halusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi."

"Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu."

"Deja-vu?!" seruku tidak percaya.

"Kau siapa?" aku masih bertanya.

"Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada."

"Aku siapa?" tanyaku lagi.

"Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita."

"Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu. Sekarang kita ber-deja-vu?"

"Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunia lain.



"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?"

"Bagaimana dengan perempuanmu?"

"Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku."

Dia tertawa manis. "Dasar kucing."

"Meonggg…," sahutku.



Lagi-lagi ia tertawa. "Hai, alangkah baiknya kalau perempuan tidak lagi menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’anjing kau!’. Bukankah semestinya perempuan menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’kucing kau!’. Bagaimana menurutmu?"

"Meonggg…," sahutku lagi mengeong seperti seekor kucing yang sedang birahi.

"Kamu birahi ya? Horny, darling?"

"Meonggg…"



Aku menariknya ke dalam pelukanku di dalam angan-angan.

Dan aku orgasme ketika menyelesaikannya di dalam sebuah tulisan.

Akhirnya aku beranjak menuju kamar mandi untuk melakukan ritual perempuanku; mencuci tangan, kaki, muka dan menggosok gigi. Bah!

Ketika selesai kubasuh wajahku, aku tengadah melihat pantulan diriku di cermin di atas toilet.

Olala!

Aku separuh perempuan, separuh laki-laki.

Astaga!

Wajahku separuh anjing , separuh kucing.

Alamak!

Aku separuh menggonggong , separuh mengeong.

Ber-deja-vu-kah aku? ***



Surabaya, 2004

(I believe in you at all, oke?)