Minggu, 26 Desember 2004

Batu Menjadi

Cerpen Taufik Ikram Jamil



DAERAH kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian?



Entahlah. Tapi apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat bebatuan bergulung-gulung, bergerak cepat menerjang segala yang melintang, membujur lalu setiap halangan. Gulungan batu yang terus membesar dan membesar.



Apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat batu-batu melambung dari perut bumi. Batu-batu sebesar kelapa, tak kecil tentunya, tiba-tiba berlompatan ke angkasa, membuat garis tegak lurus, kemudian seperti membanting diri dalam gulungan batu-batu. Seterusnya, seterusnya, batu-batu tersebut membaur sebagai gulungan batu-batu yang terus membesar dan membesar.



Kalian lihatlah, bagaimana batu-batu yang sebesar kelapa, batu-batu yang melambung dari perut bumi tersebut, karena begitu banyaknya, seolah-olah membentuk diri menjadi semacam tirai raksasa. Tirai raksasa yang hidup, dengan bagian-bagian yang bergerak ke atas maupun ke bawah secara tegas. Disebabkan gerakan batu-batu itu cukup cepat, pergantiannya pun aduh mak begitu deras, sudah tentu ketinggian tirai tersebut susah dipastikan. Lebarnya tak mudah diukur, cukup sulit pula untuk dikira-kira.



Sementara di belakang tirai batu yang seperti hidup itu, tak begitu jauh di belakang, kalian akan melihat gulungan batu yang juga bergerak. Batu-batu itu bergolek cepat, sehingga membentuk diri sebagai gulungan raksasa yang berguling-guling seperti mengibaskan semua kemarahannya. Oleh karena batu-batu yang melambung, yang membentuk diri sebagai tirai raksasa, pada gilirannya jatuh atau bergabung pada gulungan raksasa itu, tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana gulungan raksasa tersebut makin membesar bahkan kadang-kadang memanjat ketinggian tirai raksasa.



Berdirilah pada ketinggian, tak perlu terlalu tinggi memang. Apakah yang dapat kalian rasakan, pada bagian belakang dari batu-batu bergulung yang menjadi latar tirai batu tersebut, seperti membentang sebuah hamparan nan sayup. Kalian pasti akan menjulurkan kepala agar lebih berada di depan dari bagian-bagian tubuh kalian yang lain, seolah-olah dengan cara seperti itu, mata kalian akan dapat melihat lebih jelas --lebih terang. Mungkin ya, setidak-tidaknya kalian ingin meyakinkan penglihatan kalian. Mungkin tidak sekali, tidak dua atau tiga kali, malahan empat sampai delapan kali, kalian akan berbuat demikian. Apakah kalian akan menjadi lebih yakin atau tidak adalah sesuatu yang lain.

***

MUNGKIN diperlukan teropong, mungkin. Tentu pandangan yang terlihat akan lebih rinci. Akan kalian lihat, bagaimana hamparan batu tersebut tidaklah mulus. Tidak rata seperti hamparan biasa, sebaliknya berlubang-lubang dan bergelombang pula. Lubang-lubang dan gelombang-gelombang yang tak simetris, seperti sesukanya saja. Di pinggiran lubang tampak buhul-buhul, tampak seperti membengkak laksana pekong, laksana tokak, ya seperti kudis besar di badan manusia. Kalian kan menyadari gambaran itu, manakala di pinggiran lubang-lubang tersebut, juga di berbagai puncak gelombang batu, terdapat percikan berwarna merah dan putih. Selintas, selintas saja, kalian akan melihat perpaduan warna itu seperti mewujudkan dirinya sebagai darah dan nanah.



Tak mungkin pula mata kalian tidak berpaut pada warna gelombang, tirai, dan hamparan batu itu. Didominasi hitam, tidak begitu hitam memang, entah apa perasaan kalian melihat hal-hal itu semua. Ada pula kecoklatan yang membuat berbagai garis di dalam semua bentuk batu, sehingga pastilah mengisyaratkan sesuatu yang berat. Terkadang, warna kuning air terdapat pada beberapa bidang di hamparan batu yang tidak begitu sulit ditangkap oleh mata. Pada tirai batu dan gelombang batu, warna itu mungkin tidak setegas maupun sejelas demikian, cuma warnanya masih menyisakan perhatian pada gerak. Potongan-potongan warna kuning air mempertegas ada gerakan pada tirai maupun gelombang batu-batu tersebut.



Langit terlihat membiru seperti semua isinya secara serentak ingin menyaksikan apa-apa yang terjadi di bumi tanpa halangan sedikit pun. Sosok langit seperti ini terlihat bertaup dengan hamparan batu, membuat garis lengkung di ujung mata. Perpaduan warna biru dan kehitaman yang memuakkan, betul-betul memuakkan. Masuk akal kalau kalian merasa telah berada di mulut seekor binatang buas yang amat besar dan tinggal sekali glek, ajal pun sampai.



Kalian tentu tak mau membayangkannya lebih jauh. Tapi mata kalian masih berada pada langit yang terlihat telanjang bulat --bagai tanpa pakaian, sehingga kadang-kadang bisa saja orang tidak mengenalnya-- sekurang-kurangnya merasa aneh untuk beberapa saat. Dalam pemandangan seperti itu, mungkin kalian sadar, betapa pentingnya awan yang menunjukkan keberadaan langit. Biru semata, sehingga keindahan langit menepi, tak jarang terasa begitu kaku bahkan mencekam.



Memang, sekali dua, ada beberapa kelompok awan bergelayutan. Tetapi warnanya agak kehitaman. Tentu saja warna tersebut berpadu dengan warna tirai, gelombang, dan hamparan batu di bawahnya. Perpaduan yang dibatasi oleh suatu jarak. Cuma jangan lupa dulu, awan hitam itu pun kemudian begitu cepat sirnanya. Seperti ada yang mengheretnya setiap kali muncul; mungkin anginlah itu, tetapi yang pasti, gerakannya tampak horizontal dalam satu arah yang senantiasa bervariasi --artinya pada kesempatan tertentu menuju selatan, tetapi pada kesempatan lain ke utara. Barat dan timur, juga menjadi tujuan angin.



Ya, seperti diheret dan awan mengikutinya dengan terpaksa. Maka tak heranlah kalau bentuk awan yang semula hampir bulat -mengumpul--kemudian menjadi memanjang. Perubahan bentuk yang diikuti oleh suatu tarikan gerakan yang horizontal. Tampaklah gerakan awan itu susul-menyusul, kemudian hilang dari pandangan. Meskipun demikian, kesan yang dibuat oleh gerakan awan tersebut tentulah cukup khas. Pasalnya, bagaimana pula orang dapat melupakan gerakan pada tirai batu yang vertikal tadi, seperti melambung dari perut bumi. Apalagi mengingat gerakan pada gelombang batu yang sejajar dengan gerakan awan walau lebih cepat, kesan persilangan warna dan gerak, tentu menjadi lebih kuat.

***

APAKAH yang dapat dirasakan ketika dalam pemandangan semacam itu, hidung kalian menangkap bau yang lain, teramat lain. Mungkin bau benda yang terbakar, mungkin amis, mungkin anyir, antara busuk dan tidak. Harum? Bisa jadi ya, harum. Tapi pasti tak terus-menerus bau semacam itu menyumbat hidung. Ada kalanya bau amis saja, anyir saja, bahkan harum saja. Sekali waktu, semua bau menerpa hidung, tetapi di lain waktu, tak ada sebarang bau tercium pun. Mungkin bukan tak ada bau, lebih tepat dikatakan ada kalanya, hidung hanya menangkap bau normal dan begitu biasa kalian hirup sepanjang hari.



Angin selalu berganti arah pula, tak luput dari tugas menebar bau. Ketika udara bergerak tersebut menuju tempat kalian berdiri, sudah barang tentu bebauan begitu menusuk. Apa pun bau seperti menjelma sebagai benda yang panjang dan membentuk dirinya sesuai dengan bentuk wadah atau lembaga atau sosok yang disentuhnya. Maka jadilah setidak-tidaknya bau tersebut seperti lubang hidung, sehingga dirasakan kehadirannya secara fisik.



Merasakan kehadirannya secara fisik, mungkin kalian akan coba merabanya, memegangnya, dengan berbagai maksud. Ketika bau yang tak sedap memenuhi rongga hidung, kalian tentu bermaksud membuangnya jauh-jauh. Membantingnya di atas tanah, mengenyahnya ke mana saja asalkan bau itu hilang. Tetapi tidak, tidak. Meskipun kehadirannya dapat dirasakan secara fisik, bau tersebut tak dapat diraba, tak dapat dipegang. Sehingga harap maklum, kalau kalian tidak dapat menyingkirkannya, tidak mungkin meniadakannya. Cuma saja kalian terus berusaha untuk itu, sekurang-kurangnya menggisalkan hidung yang tak banyak membantu upaya tersebut.



Fuit... fuit...fuit...

Itu mungkin suara hidung kalian. Suara yang berkali-kali terdengar. Suara yang mungkin menambah keragaman suara di tempat itu, di tempat kalian berdiri. Memang, mana mungkin pula kalian menghindar dari suara-suara yang begitu saja --tanpa perlu bertanya-- kalian sebut sebagai suara yang diakibatkan oleh gulungan dan tirai batu.



Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Buar...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Pus... dar…

Keletas...tas...keletak...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Buar...

Pus...dar...

Siung...

Sing...

Buar...buar...buar...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Keletas...tas...keletak...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Buar...

Pus...dar...

Siung...

Sing...

Buar...buar...buar...

Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr...

Dam...

Dam...

Dam...dam...dam...

Dam...

Dam...

...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Buar...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Pus...dar...

Keletas...tas...keletak...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Siung...

hSing...

Buar...buar...buar...

Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr...

Dam...

Dam...

Dam...dam...dam...

Dam...

Dam...

...

***

YA, daerah kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian?



Sayang, kalian tidak bisa memerhatikan, mencium, dan mendengar, segala sesuatu yang terjadi di depan mata berlama-lama. Meski tidak perlu bergegas benar, tak perlu sigap benar, pastilah sekurang-kurangnya kalian begitu bimbang terhadap gulungan dan tirai batu yang akan sampai pada tempat kalian berdiri. Melapah kalian, menggulung kalian, membolak-balik kalian, mengayak-ayak kalian. Sampai semua tulang kalian hancur lumat, daging menjadi bubur cair --hampir menjadi kanji. Sampai tulang tidak bernama tulang, sampai daging tak bernama daging.



Mungkin tubuh kalian dilambung begitu tinggi, kemudian terhempas kembali ke bumi. Begitu kuatnya lambungan itu, begitu kerasnya hempasan itu, badan kalian pastilah akan terkelosop, ya seperti penanaman cerocok, jauh aduhmak jauhnya ke dalam tanah. Tak sekali, dua, tiga atau empat, entah berapa --pokoknya berkali-kali.



Kalian tak mungkin lagi dikenal, bahkan tak pasti lagi warna badan kalian yang menjadi bubur itu. Mungkin hitam, kecoklatan, kuning air, atau gabungan dari semua warna itu. Mungkin, bercak-bercak merah dan kuning air yang terlihat dari kejauhan adalah darah kalian. Hitam dan kecoklatan bisa saja bagian dari tubuh kalian yang sudah bercampur material-material lain, tak saja batu, tetapi juga tumbuh-tumbuhan, dan entah apa lagi. Lalu, dalam keadaan ini, berbagai bau tak dapat diuraikan lagi; entah busuk, entah amis, entah anyir, mungkin juga harum.



Tak mungkin kalian dapat mendengar suara itu lagi: Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...Buar...Bum, bar, keletak, keletuk... Pus... dar... Keletas...tas...keletak... Keletak, keletuk, tuk, tuk, tak, keletak...Bum, bar, keletak, keletuk...Buar... Pus... dar... Siung... Sing... Buar... buar... buar... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Keletas... tas...keletak... Bum, bar, keletak, keletuk... Buar... Pus...dar... Siung...Sing... Buar... buar.... buar... Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr... Dam... Dam... Dam... dam... dam... Dam... Dam... ... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Buar... Bum, bar, keletak, keletuk... Pus... dar... Keletas... tas... keletak... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Siung... hSing... Buar... buar... buar... Grrrrrrrrrrrrr rrrrrrrrrrrrrrrr... Dam... Dam... Dam... dam... dam... Dam... Dam... ...Mana mungkin lagi kalian mendengar suara semacam itu karena suara tersebut mungkin saja berasal dari badan kalian yang berguling-guling dan terlambung-lambung.



Mana mungkin pula kalian tahu secara persis bagaimana gaya gerakan badan kalian yang bergulung-gulung atau melambung-lambung, juga mengenai warna, bau, dan bunyi, akibat itu semua. Apalagi benda-benda yang ikut bergulung-gulung dan melambung-lambung tersebut dapat dipastikan bukan saja bersumber dari badan kalian, tetapi sesungguhnya begitu banyak benda-benda lain. Hutan dengan berbagai isinya, sungai dengan berbagai isinya, bahkan alam dengan berbagai ragamnya, pun dilanggar bebatuan. Rumah, sekolah, jalan, kebun, kantor-kantor, tak luput dari terjangan batu-batu. Aduhai, sejumlah orang juga menjadi korban batu-batu.

***

ADUHAI, apakah yang dapat kalian rasakan ketika mendengar cerita tentang sejumlah orang digulung-gulung dan dilambung-lambung bebatuan? Kalian tak percaya?



Mungkin kalian akan mengatakan, bukankah masih ada upaya untuk menghindar dari serbuan batu-batu tersebut. Suara gerakannya terdengar keras, bahkan dari jarak satu kilometer --di tempat kalian berdiri sekarang. Baunya tercium amat menyengat, apalagi dibawa angin. Pun waktu yang terbentang sejak kejadian batu-batu itu diketahui orang, tidak pula pendek. Semuanya dapat dijadikan tanda akan adanya ancaman.



Masih banyak alasan yang memungkinkan bagaimana ancaman tersebut dapat dihindari. Gulungan batu itu cepat memang, lambungan batu itu tinggi dan cepat sudahlah pasti. Tapi satu hal yang pasti juga, daya tempuh batu tersebut tidak laju, cukup lambat. Maka kawasan yang dilanda batu juga tidak segera meluas. Paling dalam satu atau dua jam, lahan yang dilanggar batu tidak sampai bertambah lebih dari lima meter. Gerakan dalam gulungan dan tirai batu itu seperti lebih dahulu memamerkan kekuatan dan kebuasan, baru kemudian melakukan tindakan dengan cara menutup lahan dengan dirinya sendiri.



Jadi, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Tidak seperti terjangan air bah atau tanah longsor. Tidak seperti sambaran angin puting beliung di tengah lautan. Tidak, sekali lagi tidak. Masih tersisa begitu banyak waktu untuk menghindar. Dengan ketersediaan waktu itulah, kesigapan dan ketangkasan tidak dituntut benar untuk menghindarkan diri dari sergapan batu-batu tersebut. Itulah pula sebabnya mengapa kalian tidak perlu begitu cemas menyaksikan bebatuan tersebut dari jarak tertentu dengan kepastian tidak sebagai pelancong. Ya, kalian menyaksikan sesuatu yang unik, tetapi karena mengandung begitu besarnya ancaman, pemandangan tersebut tidak menempatkan dirinya sebagai obyek wisata.



Kalian tidak percaya, bagaimana sejumlah orang seperti dengan sengaja menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu. Seperti pada senja yang muram itu, keluarga Atan --ia dan istri, juga tiga anaknya-- digulung dan dilambungkan batu. Kami tak sempat menolongnya, bukan menolong karena keluarga Atan tidak pada posisi yang mengharuskan pertolongan, sehingga lebih tepat dikatakan tidak mampu mencegah mereka. Tapi masih sempat kami tangkap kalimat yang keluar dari mulut Atan:



Batu belah batu bertangkup

Telan kami sekali tangkup

Kami kempunan harta negeri




Aduhai, kalimat berlagu yang kami sebutkan keluar dari mulut Atan itu, memperlebar ketidakpercayaan kalian tentang bagaimana sejumlah orang, bahkan sekeluarga seperti menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu tersebut. Bukankah kalimat itu pernah ada dalam apa yang kalian sebut dongeng; bagaimana seorang ibu begitu kecewa dengan anaknya yang memakan habis telor tembelang pencarian si ibu. Begitu kecewanya, kempunan --tak dapat memenuhi keinginan terhadap sesuatu yang amat diinginkan-- sehingga perempuan tersebut menuju sebuah batu besar di ujung kampung sambil berucap: Batu belah batu bertangkup, telan aku sekali tangkup, aku kempunan telor tembelang.



Tak sampai di situ saja. Kalian akan menghubung-hubungkannya dengan berbagai cerita mengenai batu yang sempat kalian dengar ketika kecil dulu, menghantar tidur kalian sampai terlelap. Ada hamparan batu yang menyerupai berbagai peralatan rumah tangga, termasuk alat kelamin lelaki dan perempuan, sebagai lambang cinta abadi di pinggir Selat Melaka. Akan kalian ingat seorang lelaki yang disumpahi ibunya menjadi batu. Mungkin kalian teringat bagaimana burung-burung ababil menyerang Abrahah, juga bagaimana kota-kota yang dibangun dari lipatan batu-batu. Tak mustahil kalian terkenang sejumlah cerpen mengenai batu, di antaranya "Menjadi Batu" karya Taufik Ikram Jamil.



Kesimpulannya, kalian tidak percaya tentang keluarga Atan yang seperti menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu. Kalian akan katakan kami mengarut, mengada-ada tanpa maksud apa-apa. Lalu amat memungkinkan sekali kalian menafikan penglihatan, pendengaran, dan penciuman kalian terhadap gulungan maupun tirai batu; terhadap hal-hal yang kalian saksikan dengan alat indera kalian sendiri, bahkan saat kalian berada pada sebuah ketinggian --mungkin tidak begitu tinggi; terhadap apa yang kami sebut dengan istilah "batu menjadi". Kalian akan katakan bahwa apa yang baru kalian lihat, kalian cium, dan kalian dengar tentang batu sekarang merupakan endapan kisah di benak kami dari rangkaian peristiwa serupa pada masa yang begitu jauh dan tak mungkin terjadi kini maupun di sini.



Kalau sudah begitu, mana mungkin cerita ini dilanjutkan. Mana mungkin lagi diceritakan asal-muasal gulungan dan tirai batu itu. Mana mungkin kan? ***

Sabtu, 18 Desember 2004

Lelaki dan Sekuntum Kamboja

Cerpen M. Arman AZ



Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?



Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana. Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman. Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu. Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.



Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya.



Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.



Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.



Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.

***

Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas.



Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.



Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?



Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih keras lagi.



Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.



Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.



Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu.



Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih.

***

Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan.



Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus.



"Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.

"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.



Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.



"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Sunu mengikuti langkahku.



Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.



Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.



"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."



Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Aku harus waspada.



Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal halal.

***

Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.



Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.



Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.



Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya.

Bandar Lampung, April 04

Sabtu, 11 Desember 2004

Nyonya Alvi dan Mawar Hitam

Cerpen Iwan RS



Nyonya Alvi tentulah ia seorang yang baik, ramah, dan boleh jadi sangat perhatian. Suatu kali ia pernah mengingatkan kerah bajuku yang kurang pas. Hal kecil sebenarnya tapi amatlah berarti semestinya ditaruh dalam hati. Itulah barangkali yang membuatku kerasan ngobrol dengannya. Obrolan kami tidaklah lebih dari soal bunga, lain dari itu secuil saja. Sesekali pernahlah kami ngobrol selain bunga, tapi bicara selain bunga hanyalah bumbu untuk ngobrol soal bunga. Hmm, Nyonya Alvi ia begitu tergila-gila akan bunga.



Begitulah, setiap Minggu pagi jam delapanan, aku musti mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia membeli bunga-bunga yang kubawa untuk dipeliharanya di pekarangan atau di belakang rumahnya yang karuan luas. Entah berapa banyak koleksi bunga hias yang dimiliki dengan beragam jenisnya. Sudah hampir tiga tahun setiap Minggu ia membeli bunga. Sepertinya membeli bunga merupakan suatu kemutlakan baginya. Itu yang Nyonya Alvi beli padaku. Sebelum aku, ia pernah punya penjual bunga, tapi penjual bunga itu telah pindah ke kota lain. Dicarilah penjual bunga baru. Dan akulah penjual bunga itu hingga kini.



Sorot mata Nyonya Alvi menunjukkan ia perempuan cerdas. Dan, pastilah ia akan teliti sekali kalau sudah memperhatikan bunga, berbinar. Bukan hanya itu, ia sentuh bunga-bunga tidaklah dengan alakadarnya, melainkan juga melibatkan perasaannya.



Alih-alih soal Nyonya Alvi yang begitu sangat mencintai bunga: sekiranya kuranglah pas untuk seorang Nyonya Alvi jika harus selalu kelihatan sendiri dan hanya berkutat dengan bunga-bunga saja. Setiap aku mampir, jarang terlihat suaminya, padahal menurut Nyonya Alvi suaminya sedang ada di rumah. Tapi kenapa jarang kelihatan berdua-duaan layaknya suami-istri. Ya, duduk bersama sambil minum teh sekadar mengisi waktu senggang, misalnya. Atau jalan-jalan pagi menikmati Minggu yang cerah, seperti keluarga pada umumnya. Setidaknyalah rumah besar itu tak berkesan hanya dihuni oleh bunga, pembantu, dan nyonya saja.



Beberapa kali saja kulihat, itupun dua tahun yang lalu. Dua kali tepatnya. Ya, aku ingat betul. Pertama, ketika lelaki itu menutup garasi setelah memasukkan mobil saat pembantunya lagi mudik. Kedua, waktu aku dan Nyonya Alvi asyik ngobrol di beranda seorang tamu menyatroni lalu menanyakan keberadaannya, masuklah Nyonya Alvi ke dalam: memanggil suaminya itu. Tak lama, keluarlah lelaki itu --suami Nyonya Alvi- pun hanya sebatas di ambang pintu saja guna mempersilahkan tamunya masuk. Setelahnya tak lagi aku melihatnya. Aku tak tahu persis, selain hari Minggu apakah mereka --Nyonya Alvi dan suami-- begitu akrab, suka jalan-jalan, ya setidaknya bertegur sapalah.

***

Minggu ini aku datang lebih pagi. Jam tujuh. Konon Nyonya Alvi punya acara --dikabarinya aku lewat telepon kemarin lusa. Maka dari itu kedatanganku diajukan. Ah, Nyonya Alvi, ia selalu terlihat cantik seperti Minggu biasanya. Ini kali rambut sebahunya berbasah-basah, usai keramas tentulah, diurainya berkali-kali dengan jari-jari lentiknya yang kukunya dicat merah, merah jambu jelasnya. Ah, tapi kenapa Nyonya Alvi kali ini sendu begitu? Hmm, sendu tapi masih nampak cantik. Justru perempuan akan nampak sempurna jika berona sendu-merayu seperti itu. Ah, Nyonya Alvi, pastilah lelaki beruntung yang dapat menyangkarkannya. Ya semacam anugerahlah.



"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin tapi agak kecil, dibawa?" Ya, gaya bicaranya. Aku suka gaya bicara Nyonya Alvi yang khas itu. Intonasinya enak disimak. Bibirnya berkecumik sedemikian rupa jika sedang bicara, tapi tidaklah terkesan direka. Wajar, indah dan tepat.



"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil, dibawa?"

"Ya, ya, aku bawa. Tulip yang indah, Nyonya Alvi pasti suka."

"Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil. Bukan Tulip. Kalau Tulip kemarin juga sudah ambil."



"O, maaf," aku gugup. "Ya, anggrek. Ah, anggrek yang Nyonya pesan itu, kan? Saya bawa tiga dengan jenis yang berbeda. Silahkan Nyonya ?"

"Hmm, merah, jingga, kuning?Yang ini saja, jingga."

"Baik, Nyonya."



"Letakkan di selasar sebelah sana. Saya ambil uang?"

"Iya, Nyonya."

Nyonya Alvi masuk ke dalam. Memalukan! Pastilah tadi ia kentarai kekikukanku yang aku sendiri tak memahami. Langkah sepatunya mendekat. Ah, sebaiknya aku menguasai diri dari ketololan.



"Ini uangnya?"

"Terima kasih, Nyonya."

"Untuk Minggu besok, bawakan saya Mawar Hitam."

"Mawar Hitam?"



"Ya. Kenapa?"

"Eem, tidak apa. Berapa Nyonya?"

"Sebanyaknya."

"Sebanyaknya?"

"Kenapa?"



"Tidak. Baiklah. Minggu besok saya bawakan Mawar Hitam. Sebanyaknya?"

Nyonya Alvi masuk, sedikit terburu, mungkin karena segera bersiap untuk pergi.

***

Sesuai pesanan, aku bawa Mawar Hitam sebanyaknya. Pesanan aneh sebenarnya. Soalnya setiap ngobrol soal bunga, luputlah Nyonya Alvi menyinggung Mawar Hitam, apalagi memesan. Ah, tapi itu bukan urusanku. Aku sekadar penjual bunga. Jadi mengekor sajalah soal selera. Tapi?



Nyonya Alvi menyuruhku menunggu di ruang tamu, sebelum ia ngeluyur ke dalam tadi. Megambil sesuatu mungkin, entah apa. Baru kali ini aku singgah di ruang tamu. Bersih juga nyaman. Dari sini, leluasalah ke mana pandangan hendak diedarkan. Sesuka hati.



Keluar sana? O, tentulah akan menerobos bentangan kaca yang menyungkup ruang tamu ini, kemudian dapatlah kita mengintai pekarangan dengan gamblangnya. Pekarangan yang dicokoli warna-warni bunga yang bergerombol indah.



"Berapa banyak Mawar Hitam yang dibawa?" Nyonya Alvi mengujar setelah duduk di sofa.

"Semua Mawar Hitam yang saya punya," jawabku segera.

"Terima kasih. Letakkan semuanya di ruang tengah."

"Semua, Nyonya?"

"Ya."



Aku keluar untuk menjemput seabrek Mawar Hitam di mobil pengangkut bunga yang kuparkir di luar pagar. Nyonya Alvi masuk ke ruang tengah, pastilah hendak menata ruang di mana ratusan Mawar Hitam akan diposisikan.



"Di mana, Nyonya?" tanyaku dengan beberapa Mawar Hitam di tangan.

"Di sini. Letakkan semua di sekitar sini?"

Ah! Aku terhenyak lantas tertegun. Tentulah melihat peti itu. Peti di tengah ruang tengah ini. Peti yang dikelintari banyak lilin. Ya, peti mati yang telah disemayami seorang lelaki membujur dangan wajah pucat pasi serta mata mengatup rapat. O, lelaki itu?



"Minggu kemarin ia pulang. Livernya tak tertolong," ujar Nyonya Alvi dengan mata yang tiba-tiba sedikit berkaca.

Aku masih tertegun. Kulihat mata Nyonya Alvi berlinang. Ah, ia seperti mengharap kesudianku mendengar kalimat-kalimatnya yang sesekali terpatah oleh seniknya. Sekadar mendengar, tak apalah. Sedikitnya dapatlah melegakan hatinya yang mungkin tengah berjelaga, seperti mawar: Mawar Hitam.



"Saya membenci lelaki ini," lanjut Nyonya Alvi sambil memandang isi peti. "Ia kasar. Tapi entah kenapa saya begitu mencintainya. Jika ia tak pulang berhari-hari, berbulan-bulan lamanya keliling kota, saya tahu yang dilakukannya hanyalah menuntaskan bergelas-gelas alkohol dan berburu perempuan. Keraplah ia pulang dengan sempoyongan. Ya, duapuluh tahun pernikahan kami, tanpa anak, hambar, tanpa tegur-sapa yang berarti kecuali di atas ranjang usai mereguk seks. Seks kadang membuat segalanya menjadi mudah. Tapi, entahlah saya sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang saya lakukan ini. Ketololankah? Sungguh saya tak tahu. Saya hanya tahu bahwa saya selalu merasa ingin terus bersamanya. Itu sebabnya kenapa saya terus bekutat bersama bunga-bunga. Semata, agar saya selalu terus berada di rumah. Bersamanya, meski tak bersapa. Menunggunya, meski tak pulang. Tak apa, saya setia. Setia macam apa? Ah, saya juga tak tahu. Orang pasti akan mencibir nyinyir: ah! Nyonya Alvi tak lebih dari seorang perempuan tolol! Tak apa. Saya mencintainya. Ia telah pergi sekarang. Dan entah kenapa pula saya ingin meletakkan Mawar Hitam di sekeliling petinya, sebelum ia diusung ke pusara guna tetirah di kedamaian surga."

***

Minggu pagi yang cerah. Seperti biasa aku berkelintar ke setiap rumah membawa aneka bunga merekah. Ah, kali ini, aku tak mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia memang tak lagi memesan bunga. Ia tak lagi mencintai bunga setelah suaminya tetirah di kedamaian surga? Mencintai siapakah Nyonya Alvi kini? ***

Sanggar Suto, 2004

Sabtu, 04 Desember 2004

Perempuan Ditingkap Purnama

Cerpen Satmoko Budi Santoso



Bukankah sudah lama kita duga

di loteng ini tak ada surga

dan kau, aku, mereka, tak mencarinya *




1.

IA melirik ke dalam makam, begitu sampai di pintu keluar. Angin berkesiur, meruapkan bebauan bunga kamboja. Cahaya petang berkeredap. Nisan yang ia lirik dari kejauhan telah berganti nama dirinya. Ia lega. Sudah bertahun-tahun ia tak menziarahi nisan itu, sampai ditandai dengan rambut yang memutih, bercak recak pada pipi bulat-bulat menghitam, dan sorot mata yang dirasakannya tambah merabun.



"Ada yang layak ditebus dalam perjalanan usia, tanpa berterus-terang," demikian ia mengigau, begitu sampai di tepi persimpangan tiga danau, menyalakan obor, kembali menaiki sampan. Tak boleh sampai gelap-pekat ia mesti tiba di tepi seberang, tak alpa menyalakan lentera di dalam rumahnya yang kumuh, berloteng penuh hilir-mudik keriut suara tikus.



Dulu, ia memang mengutuk diri sebagai perempuan laknat, karena setiap kali hamil tua sengaja mandi di bawah bulan purnama, di pinggir sumur, di luar kamar mandi. Orang-orang kampung di tempat bermukimnya tahu, jika ada perempuan hamil tua yang mandi di bawah bulan purnama, pasti bakalan kehilangan bayi. Setidaknya, bayi yang dilahirkan akan cacat. Pokoknya, siallah. Namun, ia tak menggubris keyakinan itu, dan benarlah, tiga anaknya menjumpai mala selama hidup. Anak pertama, lahir tanpa menangis, malah mendesis, seperti ular. Tak sampai tali pusarnya putus, mati pula. Anak kedua, hanya mampu hidup empat bulan, terserang diare dua minggu, dan menyusul mati seperti kakaknya. Anak ketiga, tentu lebih mengerikan nasibnya, mati mengenaskan dimakan buaya ketika sedang sendirian mandi di tepi danau. Agak lumayan, waktu itu usianya sempat sampai sepuluh tahun.





2.

DI masa tua, seperti yang terlalui dalam hari-hari dua tahun terakhir ini, kesibukannya yang rutin hanyalah keluar-masuk hutan, mencari kayu bakar dan berkebun, di sepetak tanah belakang rumah. Ia menghindar dari keramaian orang-orang kampung. Ia tak mau menghadiri acara apa pun yang digelar orang-orang kampung di paseban. Bahkan, tempat bermukimnya pun ia pilih menjorok, di dekat hutan. Bolehlah orang-orang kampung menyebut dirinya sebagai nenek yang menyelimpang dari jalan yang lazim, paling tidak dari kewajaran hidup sehari-hari.



Jangan tanya, tak pernah ada surat yang datang, yang dulu bisa sebulan sekali. Entah dari kerabat, entah dari sanak-keluarga. Karena surat-surat yang datang tak pernah dibalas, lumrahlah jika ia didiamkan saudara-saudaranya.





3.

PADA suatu malam, bulan purnama kembali bersinar. Cahayanya berkilau memutih, seolah-olah memantul di kelengangan air danau, tempat anak bungsunya dimakan buaya. Ia tepekur menatap danau, tanpa harus mengingat-ingat kematian anaknya, yang tinggal kepalanya tersungkur di tepian, sempurna dengan matanya yang melotot, mengalirkan sisa sembab air mata.



Aneh, ia malah bermain mata dengan buaya-buaya yang ada di danau itu. Ia tahu, mata buaya akan menyala jika malam hari, seperti lampu neon sepuluh watt. Tak sampai hitungan enam pasang, biji-biji mata buaya itu berjajar rapi. Tentu, bukan salah satu dari buaya itu yang telah membunuh anaknya, karena buaya yang membunuh anaknya sudah lama mati. Namun, memang buaya-buaya itulah yang beranak-pinak, sengaja tak dibunuh meskipun mereka selalu sigap membunuh.



Ia bersitatap dengan para buaya, di tepi danau yang elok indahnya. Dingin merajam jangat kulit. Kalau siang sampai sore hari ia masihlah berani menyeberangi danau itu, sekalipun ada buayanya. Ia merasa bisa menyiasati buaya-buaya yang baginya tak begitu membahayakan. Tapi, kalau malam telanjur menggelap-pekat, ia tak mau melawan kehendak alam. Ia sadar, pada saat-saat tertentu alam bakalan keji. Tak terduga, tak tertebak.





4.

FOTO-FOTO anaknya begitu lucu, terutama yang bungsu. Berkalung tulang sapi berbentuk tengkorak, berbaju kelombor tak pernah dikancingkan, bercelana gombrong, demen membawa ketapel. Ia akan memandangi foto-foto itu kalau pas kangen, di malam hari sebelum merebahkan diri, setelah berlama-lama mengaca-wajah, mengurut pipi kanannya yang penuh recak, bekas luka akibat ditampar dan dipukul ganas tangan lelaki. Sembari menyibakkan geraian rambut ke kanan dan ke kiri, ia termangu, tanpa tersedu-sedan. Masih ada sisa kelucuan yang menggerakkan kelenjar saraf ketuaannya, apalagi jika foto-foto yang ia lihat pas anak bungsunya berkacak pinggang. Atau, ketika menenteng burung hasil buruan dengan ketapel. Hmmm, seakan tak ada jarak dengan waktu yang silam, karena kangen terlampau menunjam dada.



Ia mendesah, mengucek mata, mengantuk. Malam seperti kelebat malaikat berjubah hitam. Lentera kamar ia matikan, ia tak dapat tidur tanpa kegelapan.





5.

ORANG-ORANG kampung pernah mau mengusirnya ketika ia dianggap sebagai dukun, tersebab kebiasaannya tak mau bergaul. Rumahnya juga dianggap sebagai maktab ilmu hitam, karena satu-dua orang asing entah dari kampung mana sesekali bertamu. Hampir saja ia dan rumahnya dibakar, seandainya tak bisa menjelaskan secara baik-baik tentang kebiasaannya. Untunglah, pada akhirnya kecurigaan dan kemarahan orang-orang kampung mereda, bahkan memaklumi. "Biarlah, ia uzur, siap berkalang tanah, bau kain warna ganih. Sesuka hatilah ia gembira, sebagai bekal maut," demikian sesepuh kampung berujar, bernilai jimat agar tak mengobarkan amarah.



Ia bersyukur. Tuhan berpihak kepada pendiriannya. Ia bersimpuh, tanpa harus kerepotan berjalan tertatih, memasuki tempat ibadah.





6.

MALAM yang ke sekian. Bulan purnama gagal berkilau, terhalang mendung semenjak sore. Purnama kesekian yang mengingatkannya pada ringis tangis anak-anaknya yang memecah keheningan rumah. Purnama yang dulu selalu ditandai lolong anjing yang memanjang, sebelum ia mandi tepat ketika pergantian malam, pergantian hari.



Sesekali ia malah berdendang, jika mengingat semuanya yang telah berubah. Dendang yang ia alunkan seirama seorang tua yang sedang menimang-nimang, menidurkan anaknya sembari digendong. Ada saat-saat untuk menujah/ Jejak tapak pada luka lama/ Kilah maksud teringinkan/ Pada rajam kecewa yang menganga //



Bedanya, kini ia mendendangkan syair tersebut jika pas mengaca-wajah, seperti malam itu, karena gagal mengharap purnama. Ah, sebentar lagi hujan...





7.

DINGIN njekut benar-benar mengabarkan hujan. Membasahi hutan, membasahi tanah. Memperbanyak rawa, mengeruhkan danau. Ia cuma berharap, semogalah hujan tak sampai pagi, bahkan siang hari. Semogalah hujan turun sebentar saja, asal basahlah tanah, asal terguyurlah bumi. Kalau berlama-lama, pasti ia juga yang kerepotan. Jalan ke hutan yang becek bakalan membuatnya terpeleset.



Begitu. Begitulah dari hari yang satu ke hari yang lain, semau-mau ia menapak. Berkali-kali telah ia robek ingatan atas sosok seorang lelaki. Telanjur ia kutuk sang lelaki dengan menyantet, kemampuan yang ia dapatkan ketika sebulan pernah berguru kepada seorang kakek, dulu, pada suatu masa, di lereng sebuah bukit. Jika tahan, karena kuat puasa mutih empat puluh hari empat puluh malam, tentulah siapa pun dapat melihat benda-benda yang ia terbangkan untuk menyantet. Paku payung, silet, gunting, maupun pisau dapur bukanlah benda-benda yang mengejutkan jika suatu saat bersliweran.



Benda-benda itu adalah benda-benda intim yang kapan pun bisa ia sarangkan ke dalam perut. Yang menggembirakan, kesemua benda itu telah bersarang di perut lelaki yang nama nisannya telah ia ganti. Dulu, lelaki itu mempecundanginya dengan berbohong tak pernah menggumuli perempuan selain dirinya. Padahal, secara sembunyi-sembunyi, ternyata telah beranak-pinak dengan salah seorang perempuan buruh ladang pemetik daun teh. Hmmm, tanah-ladang miliknya sendiri, yang juga telah ia lupakan, seiring kemauan mengubur kenangan atas wajah seorang lelaki. Entah siapa pun orang kampung yang melanjutkan merawat ladang teh itu ia rela. Entah mungkin saja hanya jadi bongkahan tanah kosong. Entahlah.....





8.

DESIR angin malam merambati celah pori-pori tangan dan wajahnya. Ia menguap. Mengatupkan mulut. Memejamkan mata. Mimpi? Sudah berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun ia tak pernah lagi bermimpi. Ah, mungkinkah ia sengaja mengganti nama nisan suaminya karena diam-diam tetap merasa berdosa? Atau, justru melengkapkan kesalahan dengan sama sekali tak peduli akan surga? Begitukah gugatannya terhadap ingatan usia? ***

*) Petilan sajak Hiroshima, Cintaku karya Goenawan Mohamad dalam antologi Asmaradana (Grasindo, 1992).

Sabtu, 27 November 2004

Kekasih Seorang Lelaki

Cerpen Maya Wulan



Ini kesekian kalinya aku ingin pergi. Dari rumah yang lima tahun lalu kubangun sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi tempat berteduh bagiku dan Maya, istriku. Tapi kemudian aku tidak lagi merasa nyaman, ketika peristiwa itu terjadi di suatu malam, setelah aku kelelahan menulis. Aku berjumpa dengan kekasihku, dan kami saling jatuh cinta. Ia bilang telah menungguku begitu lama. Hingga tergurat luka rindu yang merentang panjang di antara aku dan dia. Waktu itu aku menatapnya tajam dan ia tertunduk malu. Kukatakan padanya aku akan datang menujunya. Ia bertanya, "Kapan?", seolah tak percaya pada perkataan dan janjiku. Kujawab, "Segera."



Tetapi setelah itu aku selalu gagal. Sepuluh kali aku mencoba pergi, tak pernah ada yang berhasil. Aku masih di sini, di rumahku bersama Maya, istriku. Saat itu Maya tidak tahu tentang rencanaku untuk pergi. Ia hanya sesekali bertanya dan merasa curiga padaku. Katanya sikapku semakin aneh di matanya. Biasanya aku meredam kecurigaan istriku itu dengan memeluk tubuhnya erat-erat. Mencium keningnya dan berkata, "Tidak ada yang aneh. Semua biasa saja." Setelah itu Maya diam. Dan aku tidak merasa bersalah sama sekali karena ketidakjujuranku.



Beberapa kali kekasihku datang menemuiku. Terutama ketika Maya tidak sedang berada di sampingku. Kulihat wajah kekasihku kian mengkerut dan tampak kelelahan.



"Kau kenapa?" tanyaku ragu-ragu karena cemas. Aku laki-laki pencemas. Terutama terhadap seorang yang kucintai.

"Terlalu lama aku menunggumu. Terlalu lama aku memetiki penanggalan hanya untuk menghitung waktu kedatanganmu yang palsu. Kau lihat, jari-jariku telah kaku dan membiru. Tubuhku beku tak terjamah pelukanmu. Kepulan asap putih yang menerbangkan rindumu padaku semakin mengabur. Melemah. Dan aku mulai tak sadarkan diri di kesendirianku yang panjang. Tapi kau tak datang juga padaku. Bahkan semakin jarang mengintip dan mengetuk pintu rumahku. Kau mengurung diri dalam kematian singkatmu yang menyedihkan. Bersama jiwa-jiwa yang tak benar-benar hidup. Kau menduakanku dengan kesementaraan. Sedang penantian dan cintaku adalah abadi bagimu. Aku menunggumu dalam kehidupan, tapi kau mengubur diri di makam yang kau lihat subur itu. Kita terlampau lama terpisah."



Aku melihat jelas mata kekasihku meredup. Kuulurkan tangan dan kukatakan padanya aku merasakan hal sama. Rindu yang menuntut penuntasan yang segera.



"Aku akan pulang. Untuk bersamamu," kataku.

Tetapi tubuh kekasihku berguncang. Seperti tertiup angin malam, ia berangsur menghilang dari hadapanku. Aku makin mencemaskannya yang pergi tanpa sempat berkata apa-apa lagi padaku.



Tanpa pikir panjang, esoknya aku memutuskan pergi. Sengaja aku tak membawa apa pun dari rumahku, karena aku tahu Maya akan membutuhkannya jika aku tak ada di sisinya lagi. Namun baru sampai teras rumah, Maya melihatku. Nafasnya naik turun menangkapku yang berniat pergi. Ia marah padaku.



"Kau mau pergi? Meninggalkanku?" tanyanya dengan ketus.

Aku menjawab dalam hati. Ya, istriku. Aku akan pergi. Dan kau tahu itu, pergi berarti meninggalkan. Tapi aku bukan mau meninggalkanmu. Aku akan meninggalkan kesementaraan ini. Kekasihku menungguku dalam kehidupan abadi. Maka aku akan pergi, jauh dari kematian ini.



Maya, istriku, memasang wajah kecewa. Dilipatnya gurat-gurat kebahagiaan yang selama ini menghiasi tulang pipinya yang merona. Sinar matanya meremang. Seperti mata kekasihku yang lelah menungguku. Aku mendadak cemas. Bukan pada Maya, tapi kekasihku. Rasanya aku akan gagal lagi, untuk pergi dari sini. Maya, istriku, menahanku. "Jangan pergi," katanya. Langkahku terhenti. Bayangan kekasihku hilang di benakku.



Maya memenjarakanku dalam peluknya yang berbau kematian. Nafasku sesak mengingat kekasihku yang jauh. Jangan kemari, kekasihku. Batinku. Kalau tidak, kau akan terbakar cemburu dan menangisiku yang bercengkerama bersama jiwa yang tak abadi ini. Kubiarkan Maya terus memelukku erat. Peluklah aku sekuat yang kau mampu perempuanku. Tapi kau tak akan pernah memeluk jiwaku. Karena jiwaku telah pergi terbawa rindu kekasihku. Dan kau tak pernah tahu itu.



"Katakan. Kenapa kau ingin meninggalkanku?" tanya Maya di antara pelukan panjangnya.

Aku harus pulang, Maya. Menemui kekasihku yang abadi. Kau hanya jiwa yang terkurung dalam makam kesementaraan. Kematian singkat yang menyedihkanku. Dan kekasihku sudah terlampau lama menungguku. Seperti aku juga merindukannya sejak dulu. Kini kami telah bertemu dan saling jatuh cinta. Menyatukan cinta yang terpisah lama dalam rentangan dua kejadian. Kau dan aku, di sini hanya sebuah kematian. Seperti pelukan ini yang kau tawarkan padaku. Membuatku mual oleh aroma kehinaan. Aku harus pulang, Maya. Dan aku tak perlu meminta maaf karena semua ini. Jangan menahanku dalam kedukaan ini, istriku. Mengapa tak kau temui saja kekasihmu seperti aku menjumpai kekasihku? Tidakkah kalian juga saling merindu? Dan kita tinggalkan pemakaman ini. Terbang menuju rumah cinta kekasih-kekasih kita.



"Mengapa kau diam? Sudahkah tidak ada yang berharga lagi di sini bagimu?" Maya makin erat memelukku.

Ayolah, Maya. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya menjadi rumput liar yang tumbuh di sela-sela batu yang kau injak. Bahkan aku tak dapat tumbuh membesar. Aku mati dalam kekerdilanku. Kelemahanku. Kesementaraanku yang sangat singkat. Melindungimu pun aku tak dapat. Lepaskan genggamanmu yang melukaiku, istriku. Atau lemparkan saja aku ke arus sungai yang beriak dan menampar wajahku dengan kasar. Agar aku tersadar, dan tak lagi menyurutkan diri ke dalam lubang kematian yang memanggilku berulang-ulang. Melarangku untuk pergi, dan memelukku dengan aroma kematian yang mencekat. Maya, aku akan pergi. Pulang menuju kekasihku. Dan aku tak perlu minta maaf padamu.



"Kau tidak mencintaiku lagi?"

Maya, istriku, membentengiku dengan pagar-pagar ketakutan dan kesedihan miliknya. Ia menyalahkan dirinya atas kepergianku. Sungguh, perempuan yang mengajakku pada kematian, aku tak berani mencintai yang lain selain kekasihku. Tidakkah kau tahu aku begitu bahagia bisa bertemu dengannya lagi dan merajut percintaan abadi? Lalu kenapa kau ingin menarik kedua tanganku untuk kembali jatuh terguling-guling di dasar kesedihan? Mengapa kau minta dadaku hanya untuk menangisi kesementaraan? Maya, kau buat dadaku hancur tertusuki duri-duri bening yang mengesalkanku. Aku mulai tak tahan.



"Jangan katakan kau punya seorang yang lain," Maya mengisak.

Aku bertemu dengannya di suatu malam yang terang. Ya, aku mempunyai seorang yang lain. Kekasihku dari kehidupan yang abadi.



"Aku takkan melepaskanmu."

Maya, istriku, ini ancaman darimu? Apakah kesementaraan dapat mengancam sebuah penujuan keabadian? Aku akan pulang bersatu dengan kekasihku. Maya, sudahlah. Biarkan aku pergi.



Dan Maya tetap memelukku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Semalaman aku dikuburnya dalam-dalam.

Kekasihku datang menemuiku dalam satu kesunyian. Maya tengah terlelap dalam mimpi malamnya. Lagi-lagi kekasihku mengajakku untuk bersatu dengannya. "Apa yang kau tunggu? Sampai kematian itu memanggil dan merebutmu lagi untuk tenggelam dalam kesedihan ini?" Kekasihku mengulurkan tangannya kepadaku.



"Maya adalah kematian yang ingin selalu mengurungku di sini. Ia adalah kematian yang memiliki warna kesedihannya sendiri. Yang dapat membuatku selalu jatuh dan kembali padanya."



"Pulanglah. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Kematian itu sudah terlalu lama melakukannya padamu dan jiwa-jiwa lainnya. Mengapa kau masih ingin memelihara tangisan yang merugikan?"



Kutatap kekasihku yang begitu lama kurindu. "Aku pulang bersamamu," kataku. Dan aku bangkit meninggalkan rumahku, menuju rumah cinta bersama kekasihku.



Dan ini adalah yang kesekian kalinya Maya mencoba menahan kepergianku. Tubuhnya hanya terbalut pakaian tidur tipis ketika mengejarku. Tidak, jangan lagi. Pikirku.



"Baiklah. Kau boleh pergi. Bukankah kau selalu ingin pergi? Seperti dulu, saat kau berkeras ingin menjadi seorang penulis. Kau juga mengatakan itu sebagai kepergian atas sebuah panggilan. Kau bilang aku tak sampai untuk mendengar panggilan itu. Seperti itukah kali ini yang kau lakukan? Dan kau menyuruhku untuk melepasmu lagi, seperti dulu kubiarkan kau pergi di jalan kepenulisanmu yang nyata-nyata nyaris membunuhku? Betapa egoisnya kau."



Suara Maya menjadi petir di malam itu. Benarkah? Batinku. Mungkinkah kematian ini menemui mati yang kedua kali karena sebuah kepergian? Peninggalan? Maya, istriku, kali ini kau memanggilku dengan cara yang berbeda. Kesedihan yang lain. Tapi mengapa aku harus menoleh dan mendengarkan? Mengapa aku harus melupakan kekasihku dan menemuimu kembali? Mengapa aku harus menemanimu dalam kematian ini untuk terus bersedih dan tenggelam dalam kesementaraan? Bagaimana dengan kekasihku yang menungguku begitu lama? Aku demikian cemas. Terhadap kekasihku yang mulai melenyapkan dirinya di benakku.



Maya mendekat. Menghampiriku yang mencari bayang kekasihku yang hilang. Setengah sadar, aku sudah berada dalam pelukan yang sangat kukenal. Pelukan beraroma kematian. Maya mendekapku erat. Jiwaku terus memikirkan kekasihku yang entah ke mana. Tunggu aku, kekasihku. Aku akan datang. Segera.



Aku berduka. Karena penyatuan yang sekali lagi harus tertunda. Tapi pikiranku memberiku jalan lain. Mungkin kelak aku mesti mengajak Maya, istriku. Untuk meninggalkan kematian ini. Berkenalan dengan kekasihku yang abadi. Tetapi Maya memelukku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Malam itu, dan malam-malam yang lain. ***

Sidoarjo 2004

Minggu, 21 November 2004

Ikan-ikan Mati dalam Akuarium

Cerpen Hamdy Salad



IKAN-IKAN dengan penuh warna di tubuhnya, mati kelaparan dalam akuarium di ruang tamu. Sesosok bayangan melintas di sana. Mengitari kotak kaca itu dengan cara yang belum dikenal oleh pemiliknya. Lalu muka mendelik. Menyalangkan kedua matanya lebih tajam dari sinar lampu. Bayang-bayang itu kemudian bergerak dan mengepalkan tinju ke dinding air persegi lima.



Pyaaarrrr !!!

Akuarium di ruang tamu itu pecah. Tubuh air bergulingan. Kaca-kaca berantakan. Bau anyir lekat di lantai, karena gagal sembunyi ke tanah. Bayang-bayang menghilang. Tubuh ikan dan kematian juga menghilang. Entah ke mana. Tapi pecahan-pecahan kaca itu, tak bisa lenyap dari pandangan mata. Lalu berbiak dan melayang-layang. Memenuhi udara di ruang tamu. Menembusi pintu-pintu yang terkunci. Memasuki ruang keluarga, kamar tidur dan kerja, juga dapur dan kamar mandi.



Pecahan-pecahan kaca itu bergerak sangat cepat. Melingkar bagai surya benggala. Memantulkan sejarah dan riwayat para penghuni rumah. Seperti kisah dan dongeng, seperti mimpi dan kenyataan yang diceritakan malaikat kepada para nabi dan wali; dunia dapat berubah setiap saat tanpa sebab yang diketahui oleh akal budi.



"Jika Tuhanmu menghendaki, tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi."

"Maka, terjadilah apa yang terjadi."

"Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-tulang ikan itu sebagai saksi terhadap segala peristiwa yang telah terjadi?"



Tak ada yang menjawab. Tak juga aku atau engkau. Kecuali ikan-ikan lain yang masih hidup dan membawa telur-telurnya di air tawar atau asin. Sebab ikan merupakan bentuk kehidupan paling awal sebelum manusia diciptakan. Ikan-ikan menggunakan sirip dan ekornya untuk berenang melintasi samudra. Menggunakan mulutnya untuk menghirup oksigen dalam air sebagai cara memurnikan darahnya. Ikan-ikan juga merupakan amsal para pengembara yang berjalan sendirian. Menembusi dinding-dinding udara padat dengan cara yang lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, kecuali jika ia ingin menuju ke tempat itu.



Pada saat air menjadi keruh dan kotor, ikan-ikan muncul ke permukaan untuk menghirup oksigen dari udara yang menghidupi manusia. Tanpa oksigen, ikan dan manusia tak bisa bernafas untuk mengenali keberadaannya. Oksigen adalah zat api yang dilimpahkan Tuhan ke muka bumi. Lalu dialirkan alam ke dalam sel-sel darah merah sebagai panas yang membakar makanan dalam tubuh semua makhluk yang bernyawa. Namun begitu, sebagaimana manusia tak bisa hidup di dasar laut, ikan-ikan juga tak bisa hidup di daratan.



Ketika Yunus terlempar ke laut, dan kemudian ditelan ikan Hiu, tentu ia akan mati juga di sana. Karena oksigen yang dihirup ikan tak bisa dihirup kembali oleh manusia. Jika saja ia tak pernah dicatat oleh malaikat Raqib sebagai makhluk berakal yang banyak mengingat pada pencipta-Nya; pastilah ia akan tetap tinggal dalam perut ikan itu sampai air berkerak dan berubah menjadi lumpur minyak; lalu api berkuasa untuk melenyapkan segalanya. Dan itulah sebabnya, Yunus masih bisa menggerakkan kedua kaki. Untuk sujud dan berdoa sebagaimana manusia lain yang masih memiliki harapan di dekat limpahan rahmat-Nya.



"Tiada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Ya Allah. Keluarkan aku dari tempat ini. Sungguh! Aku ini termasuk orang-orang yang dhalim."

Lalu air mengencangkan otot dengan garam. Mengubah diri jadi gelombang. Para perompak dan penjahat tertawa ngakak, minum wisky dan arak dari botol separuh geladak. Sementara para malaikat menengadahkan kedua telapak tanganya, memohon keselamatan bagi orang-orang yang lemah dan dilemahkan oleh kekuasaan. Ikan-ikan bertasbih dengan insang dalam paru-parunya. Ikan Hiu membuka mulutnya di tepi pantai yang jauh, menyelamatkan Yunus ke daratan. Menebarkan kisah-kisah ajaib di bawah pohon palma, di antara bukit-bukit pasir, sebelum Isa dan Muhammad dilahirkan.



Sedangkan ikan-ikan lain yang lebih kecil dan tidak berdaya, hanya bisa membuka matanya untuk menjadi saksi berbagai kekejaman manusia yang disembunyikan ke dasar laut. Hingga mereka kehilangan jalan saat laut menjadi muak dan membesarkan ombaknya dalam kecemasan. Mengarak gempa dan badai. Melongsorkan batu dan tanah. Merubuhkan pohon dan rumah-rumah.



Dan ketika laut menjadi gelap, kosong, ikan-ikan kehilangan tempat untuk bersembunyi dalam rumah sejati. Sebagian lenyap jadi mineral. Sebagian lagi berpaling menuju instink yang luar biasa untuk menghindari para pemangsa. Ikan belut dan pari melindungi diri dengan cara mengeluarkan energi listrik, sekaligus menjadi tanda untuk menemukan jalan pulang di kedalaman samudra. Ikan-ikan salem mencari keselamatan bagi anak cucunya dengan menempuh perjalanan jauh; tanpa peta dan petunjuk; menuju tempat di mana mereka dilahirkan; melewati arus terjal, air terjun dan tanggul; dari laut ke sungai, dari sungai kembali ke laut. Sedang ikan yang masih berlari dalam mimpi, akan menjelma makhluk sempurna. Membangun benteng di balik batu karang. Mengalahkan raksasa air dengan penampung dan selokan-selokan di bawah dermaga, di sepanjang kota atau jalan raya.



"Maka, hidupkanlah kisah-kisah ikan itu dalam darah dan dagingmu. Jangan biarkan mereka mati dan membusuk dalam akuarium yang telah kau bangun dengan tanganmu sendiri."



Sesosok bayangan muncul kembali dengan wajah yang tidak berubah. Memberi nasehat pada penghuni rumah. Lalu pergi meninggalkan ruang tamu tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Kemudian lampu seperti menyala untuk yang kedua kali. Langit-langit dari asbes berkilatan di atas kepala. Dinding air persegi lima masih juga di situ. Membeber keindahan dalam selimut biru. Ikan-ikan dengan warna di tubuhnya saling bertemu dan bercakap tanpa kata. Membuka tabir penuh pesona.



Seseorang yang telah lama mengaku sebagai pemiliknya, bangkit dari sofa. Menggerakkan kedua kakinya ke arah pintu, dan keluar menuju taman yang sempit di sisi halaman. Wajah bunga membuka kelopaknya ke angkasa. Menjadi saksi keberadaan. Bintang-bintang menebarkan cahaya di langit malam. Memberi tanda bagi siapa saja yang sedang tersesat di jalan gelap.



"Engkau boleh berkhayal untuk mendapatkan bagian dari dunia, tapi engkau tak boleh lupa dan terjerumus ke dalamnya."



"Karena itu aku sedang berkhayal untuk menurunkan bintang ke dalam kepalaku."

"Bintang-bintang telah ada dalam kepalamu sebelum engkau terlahir dari rahim ibu."



"Aku tahu. Karena aku punya otak. Tapi aku belum juga mengerti, kenapa bayang-bayang ikan yang kelaparan dan mati itu selalu muncul dalam ruang gelap di kepalaku."



"Engkau telah menjawab pertanyaanmu sendiri."

"Tapi aku belum mampu memahaminya."

"Tak ada kemampuan yang dapat diperoleh, kecuali membaca! Memahami ayat dan tanda-tanda."

Pemilik akuarium itu termangu. Lalu duduk di atas bangku yang terbuat dari semen dan pasir. Ingin rasanya berdiam diri dan menghilang di antara tumpukan tanda tanya. Namun otak yang bersembunyi di ruang gelap dalam kepalanya, tak mau diam walau sementara. Kumpulan syaraf-syaraf itu terus berderak dan mendesak. Menyalangkan mata ikan dalam sunyi. Menyaksikan batang cahaya menembusi langit dan bumi. ***

Minggu, 07 November 2004

Tamu Yang Datang Menjelang Lebaran

Cerpen Rachmat H. Cahyono



1

Malam itu, di kamar mereka, Arman menunggui istrinya dengan pandangan bertanya. Sorot matanya menuntut penjelasan. Sebagai suami --predikat yang telah disandangnya selama bertahun-tahun-- ia cukup peka untuk bisa ikut merasakan, Alia sesungguhnya tak menghendaki kehadiran ayahnya sendiri di rumah mereka. Setelah tiga hari berlalu, terasa kehadiran orang tua itu telah menyerap semua kehangatan suasana yang tadinya selalu mewarnai rumah mereka menjelang datangnya Hari Lebaran. Ia tahu siapa sesungguhnya sumber penyebab perubahan itu. Bukan orang tua itu, tetapi Alia, istrinya sendiri.



"Ceritakan semuanya, Alia, ceritakan," pinta Arman dengan lembut sambil memeluk istrinya.

Alia memejamkan matanya. Kalau boleh memilih, ia justru ingin tetap bungkam dan mencoba mengubur kenangan masa silam itu. Wajahnya tampak berat. Alangkah sukarnya menghapus kenangan buruk itu. Alia memandang wajah suaminya. Dari sorot mata Arman, Alia tahu suaminya kali ini tidak ingin dibantah.



2

Lebaran. Tanah boleh basah. Udara boleh lembap. Angin menyelusup di sela-sela daun gugur. Awan kelabu. Matahari sembunyi di baliknya. Hujan tiba-tiba rajin membasahi bumi. Kota menjadi basah. Terus-menerus basah. Juga jalan-jalan dan halaman rumah. Orang-orang bergegas menghindarinya. Genteng-genteng coklat di perumahan yang tumbuh merapat, berubah warna menjadi lebih tua dari biasanya.



Lebaran. Bau rumput dan dedaunan basah. Di halaman. Di taman-taman kota. Itu kemewahan tersendiri dalam kehidupan metropolitan yang akrab dengan debu dan polusi. Ya, tak ada alasan untuk tidak mencintai hari Lebaran. Ketika bumi sejenak istirah, dan matahari terasa lebih ramah. Ya, ya, bukan hanya matahari. Karena orang-orang juga berwajah lebih ramah daripada biasanya. Ada senyum di bibir. Di mata. Di hati. Ya, inilah hari Lebaran. Pada hari Lebaran, langit boleh kelabu, tapi tidak hatimu. Ini hukum tak tertulis yang seharusnya diyakini setiap orang ketika hari yang fitri itu datang. Seperti yang selama ini Alia yakini. Diam-diam.



Tapi tidak kali ini. Karena hantu dari masa silam itu telah datang. Lorong kelabu yang dalam dari masa silam itu muncul kembali dan siap menenggelamkannya. Padahal telah lama ia berupaya menghapus bayangan itu agar lenyap dari hatinya. Upaya itu sia-sia belaka, sama sia-sianya mencoba mencegah matahari terbit dari timur. Ya, setiap orang punya masa silam yang mungkin terlalu pahit untuk dikenangkan kembali. Alia percaya, selalu ada sebuah kamar rahasia dalam hatimu, tempat kaubisa menyimpan semua cerita dukamu, dan menguncinya rapat-rapat karena kau enggan berbagi dengan orang lain. Atau kau tak menghendaki cerita itu tiba-tiba meluncur dari mulutmu. Dalam hati kau berharap waktu bisa menyembuhkan luka masa silammu. Tapi ternyata tidak mudah. Karena waktu ternyata memiliki luka dan dukanya sendiri.



Diam-diam, terbayang kembali di benaknya peristiwa beberapa hari lalu. Rintik hujan gerimis dan bumi yang basah saat itu mempercepat terbukanya kembali luka-luka itu. Saat itu seorang lelaki tua tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu rumahnya. Alia pangling. Namun, ia masih bisa mengenali lekuk-lekuk wajah lelaki tua itu yang tersimpan rapat-rapat di lubuk hatinya.



"Bapak?!" Suaranya terkesiap dan terkesan gamang.

Ah, alangkah cepat tahun-tahun berlari. Lebih 30 tahun sudah, semenjak terakhir ia bertemu dengan orang tua itu.



"Siapa, Alia?" Arman muncul dan berdiri di belakangnya, ikut menatap dengan pandangan bertanya kepada tamu yang datang tanpa diundang. Hening sesaat. Hanya suara hujan yang asyik menari di atas genteng yang pucat coklat. Di antara daun-daun tanaman penghias halaman.



Alia masih terkesima, tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu, dengan suara pelan, memperkenalkan dirinya kepada Arman. Dengan sebat Arman mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumah mereka.



Begitulah, tiga hari berlalu semenjak kehadiran ayahnya yang begitu tiba-tiba di rumah mereka. Tiga hari yang meletihkan sekaligus menyakitkan. Karena Alia --tanpa diinginkannya-- terpaksa mengingat kembali luka-luka kehidupan masa silamnya. Ia harus mengakui dengan getir: semua ceritanya kepada keluarganya selama ini dusta!



3

Masa kecil Alia sesungguhnya tidak terlalu buruk. Memang tidak bisa dibandingkan dengan anak-anak sekarang yang terbiasa dengan berbagai permainan elektronik dan komputer. Namun, tetaplah bukan masa kecil yang buruk. Justru ia merasa masa kanak-kanaknya lebih berwarna dibandingkan anak-anak sekarang. Ia dapat menikmatinya secara wajar bersama teman-teman di desanya. Bermain di bawah sinar bulan, membuat sendiri permainannya, atau berlarian di pinggir sungai mengejar capung yang beterbangan. Alia kecil juga cukup bangga dengan ayahnya yang pernah ikut berjuang pada masa revolusi kemerdekaan dulu sehingga memperoleh bintang gerilya yang terbuat dari perunggu. Ayahnya selalu memamerkan bintang gerilya itu dengan bangga kepadanya.



Keadaan berubah menjelang Alia menamatkan sekolah dasar. Alia kecil tentu belum paham mengenai krisis ekonomi dan krisis politik yang terjadi di negaranya waktu itu, pada tahun 1960-an. Yang ia tahu hanyalah, makanan dan pakaian semakin sulit didapatkan. Jenis makanan favoritnya yang biasa dihidangkan ibunya menghilang dari meja makan. Bahkan ada orang mati kelaparan di desanya. Yang lebih mujur bergentayangan seperti mayat hidup berperut bengkak karena busung lapar.



Samar-samar, terdengar berita bahwa kaum komunis mencoba melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan. Di Jakarta, terjadi pembunuhan terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat. Meskipun tidak paham, Alia kecil menyadari, ada sesuatu yang menakutkan menguasai sekitarnya. Ayahnya semakin sering menghadiri rapat-rapat umum dan jarang pulang ke rumah. Sikapnya semakin keras terhadap siapa pun. Bahkan terhadap keluarganya sendiri.



"Sayangku, semua itu terjadi lebih 30 tahun lalu. Banyak orang menderita karena pertarungan politik waktu itu, bukan hanya keluargamu," Arman menyela cerita istrinya. Ia mencoba menghibur Alia yang berlinangan air mata ketika mulai menceritakan masa lalu keluarganya.



Alia terdiam sejenak dan membersihkan matanya yang berkabut. Batinnya membenarkan apa yang dikatakan Arman. Politik? Ah, siapa yang tidak tahu. Politik tidak hanya mampu mengubah wajah sebuah negeri. Politik juga mampu menembus relung-relung kehidupan paling pribadi, mengubah perjalanan hidup seseorang, sebuah keluarga. Dan menghancurkannya.



"Kurasa sudah saatnya kau mengubur semua itu dan menata kembali hidupmu. Kau masih memiliki kami, aku dan anak-anak. Please, honey. Jangan biarkan masa silam memerangkapmu," Arman terus mencoba membesarkan hatinya.



Dengan mata berkaca-kaca, Alia memandang suaminya tercinta. Suasana kamar tidur mereka mendadak senyap. Ia tahu tidak semudah itu. Apa yang terjadi pada keluarganya adalah tragedi. Seperti juga dialami banyak keluarga lain pada waktu itu.



Seperti setengah bermimpi, dengan lirih Alia berkata, "Kau tahu, sayang. Permainan politik dan kekuasaan bukan hanya mampu mengubah wajah sebuah negeri, tetapi juga mampu mengubah seorang ayah menjadi makhluk kejam yang dibenci keluarganya sendiri."



"Apa maksudmu, Alia?"

Alia terdiam sejenak. Bahunya bergoncang. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Ia merasa, sekaranglah saatnya. Ya, sekaranglah saatnya menceritakan semuanya. Berbagi beban itu dengan suami dan keluarganya tercinta.



Waktu merambat pelan. Dengan takjub Arman mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut istrinya. Diam-diam timbul kesadaran dalam dirinya: betapa selama ini ia tak cukup mengenal siapa istrinya, dan luka macam apa yang diderita dalam hati perempuan yang dicintainya itu.



Ah, siapa menyangka masa silam istrinya begitu pahit. Itu dimulai ketika ayahnya berubah sikap menjadi keras dan revolusioner. Tidak hanya terhadap orang-orang sedesa yang dinilainya berbeda aliran politik, tetapi juga kepada keluarganya sendiri.



"Ketika Ibu membanting tulang untuk menghidupi keluarga, Bapak malah menghabiskan waktunya untuk kepentingan partai. Aku malah pernah melihat Bapak memukuli seorang sepupunya sendiri bernama Sapardi, sampai babak belur dan pingsan, hanya karena berbeda pandangan politik. Kau bisa membayangkan kalau ayahmu berubah menjadi seorang algojo yang siap mengganyang siapa saja yang berbeda pandangan dengannya? Aku pernah mengalaminya. Aku pernah melihatnya langsung beraksi dengan tongkat kayu jati kesayangannya. Kau bisa membayangkan perasaanku sebagai anak-anak waktu itu, Mas Arman?"



Arman menggeleng. Masa kanak-kanaknya jauh lebih beruntung daripada Alia. Ia tahu trauma semacam itu tentu akan membekas bertahun-tahun di benak seorang anak. Terukir seperti lukisan kuno di dinding goa yang gelap.



Puncaknya adalah ketika sang Bapak memutuskan meninggalkan keluarganya untuk mengawini seorang perempuan muda aktivis partainya, dekat menjelang peristiwa pemberontakan yang akhirnya membawa sang Bapak dan orang-orang partainya ke balik tembok penjara.



"Kami --termasuk almarhum Ibu-- lalu meninggalkannya. Kami hapuskan nama Bapak dari hidup kami," suara Alia terdengar begitu dingin.

"Oh, sayangku," Arman memeluk istrinya. "Maafkan aku karena tidak pernah mengetahui masa lalumu yang begitu pahit. Kenapa tidak dari dulu kau berbagi cerita dan kesedihanmu denganku dan anak-anak kita?"



"Aku tidak tahu. Kucoba melupakannya, ternyata tidak mudah melakukannya."

Dengan mata berkaca-kaca Arman memandang istrinya yang tampak begitu kusut dan letih.



"Apa yang harus kulakukan?" Nada suara Alia terdengar begitu putus asa.

Hening sejenak. Waktu berlalu tanpa suara, sebelum lelaki berwajah sabar itu kembali memeluk istrinya, berbisik dengan lembut ke telinganya, "Aku tahu apa yang harus kau lakukan, Alia. Berdamailah dengan dirimu sendiri. Kau pasti bisa melakukannya. Aku dan anak-anak akan mendukungmu sepenuhnya."



4

Fajar mulai merekah di ufuk timur. Suara takbir terdengar bersahut-sahutan dari pengeras suara masjid. Dunia mulai terbangun. Bapaknya tampak terperanjat begitu menyadari kehadirannya. Suasana taman di depan rumah Alia menjadi sunyi sesaat. Alangkah sulitnya bagi Alia memulai percakapan di antara mereka.



Awalnya, yang muncul hanyalah kalimat-kalimat pendek, percakapan yang tersendat-sendat mengenai hal-hal remeh. Sampai akhirnya justru orang tua itu yang lebih dulu menyinggung masa lalu mereka.



"Bapak mengira akan tahan menghadapi semua ini, Alia. Ah, kesepian itu, alangkah mengerikan. Semoga kau tidak akan pernah mengalami di masa tuamu nanti."



Alia diam, berharap orang tua itu menyelesaikan kalimatnya.

"Bapak telah banyak melakukan kesalahan dalam hidup, sampai dimusuhi anak-anak sendiri. Itu mimpi paling buruk bagi setiap orang tua."



Orang tua itu menyinggung keinginannya yang telah disimpan bertahun-tahun. Ia bercerita bagaimana sedikit-sedikit ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menemui anak-anaknya.



"Bertahun-tahun keinginan bertemu kau dan adik-adikmu Bapak buang jauh-jauh. Bapak merasa kehilangan muka. Kesalahan Bapak terlalu besar kepada kalian dan kepada almarhum ibumu."



Kebekuan di hatinya mulai mencair seperti kotak eskrim terkena sinar matahari. Ia menangkap getar kepedihan dari suara bapaknya.

"Pada akhirnya Bapak datang juga ke sini. Mengapa?"

Sejenak orang tua itu terdiam. Suara burung menyapa pagi bergema di halaman.



"Maaf dari anak-anak di hari Lebaran. Itu yang mendorong Bapak menemuimu. Bertahun-tahun Bapak berdoa agar bisa diterima kembali oleh anak-anakku. Sebelum Tuhan?," sang ayah menunduk, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.



Terang tanah. Namun, Alia masih dapat merasakan kehadiran embun di halaman, membuat batinnya ikut merasakan kesejukan. Mendadak ia terdiam, kehilangan kata-kata, masih terkesima dengan apa yang baru saja didengarnya.



Entah apa yang menggerakkannya, tiba-tiba saja Alia menghampiri orang tua itu. Ia mencoba tersenyum dan menarik tangan orang tua itu ke dalam genggamannya. Tanpa kata. Alia tidak tahu, apakah sekarang ia sudah bisa memberi maaf sepenuhnya kepada orang tua itu. Namun, jika ada pertanyaan dari suaminya nanti, ia akan menjawab: ia telah siap terlahir kembali sebagai manusia baru yang mencoba berdamai dengan diri dan masa silamnya sendiri.



Jakarta, Ramadhan 1425 H

Minggu, 31 Oktober 2004

Perempuan Kecil Bermata Belati

Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda



Mulanya hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkeraman yang begitu kuat. "Ana miskin...ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku.



Ketika itu aku benar-benar kehabisan uang kecil, karena terlalu banyaknya pengemis di sepanjang jalan setapak itu --konon mereka datang dari daerah-daerah miskin di Asia Tengah. Kalaupun masih ada uang receh di dompetku, paling kecil 10 dinar dan ini pecahan yang tidak lazim dibagikan kepada pengemis. Tetapi, ternyata tidak gampang untuk menolak pengemis-pengemis yang rata-rata masih di bawah umur itu. Mereka akan menggelayuti tangan, ujung baju, sarung, sajadah, atau apa saja, untuk memaksa pendaki memberi mereka uang receh.



Begitulah dengan gadis kecil yang menggelayuti ujung sajadahku, sehingga aku sulit untuk meneruskan perjalanan. Barkali-kali aku mencoba menolaknya dengan halus, dengan bahasa Inggris campur Arab, "No money... no more... no more.... La... la... Ana laisa fulus... laisa fulus...Halas...halas!" kataku sambil menggerakkan tangan dengan isyarat menolak, dengan harapan ia mengerti maksudku dan segera melepaskan ujung sajadahku.



Tapi, gadis kecil itu masih menggelayut begitu kuat di ujung sajadahku, sampai terjadi tarik-menarik sajadah antara aku dengan si kecil yang punya "daya juang" tinggi itu. Maka, dengan agak marah, kutarik sekeras-kerasnya sajadahku, lepas dari cengkeramannya. Dan, ketika gadis kecil itu tetap memburuku untuk meraih ujung baju kokoku, kuhempaskan dia dengan kasar, sehingga terhuyung-huyung jatuh terduduk ke atas gundukan batu-batu. "Ana miskin... ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata cokelat yang makin mengiba ke arahku.



Dan, tatapan itulah yang terus memburuku, terus menusuk-nusuk ulu hatiku, sampai aku kembali ke hotel. Saat makan malam, tiap menjelang shalat, dan terutama menjelang tidur, mata cokelat perempuan kecil itu seperti hadir kembali dengan seluruh dirinya. Wajahnya yang oval dengan hidung mancung, alisnya yang tebal dengan mata cokelat bulat lebar --wajah khas Afghanistan-- dengan rambut panjang hitam kemerahan dikepang dua, seakan hadir seluruhnya dengan begitu nyata. Dan, suaranya seperti terngiang-ngiang kembali di telingaku, "Ana miskin... ana miskin...."

***



Perempuan kecil itu sebenarnya sangat cantik. Setidaknya, di atas rata-rata anak perempuan Indonesia. Usianya mungkin baru sekitar 10 tahun. Posturnya yang tinggi-padat dengan kulit kuning bersih sebenarnya kurang pas dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Apalagi di bukit terpencil yang terik di siang hari dan menggigilkan di malam hari. Hanya rok hijau lusuhnya yang kumal dan robek-robek, dan rambutnya yang tidak terurus, yang memberi kesan dia sebagai gembel.



Sejujurnya, ketika itu kami juga sedang merindukan anak perempuan, untuk melengkapi dua anak laki-laki kami. Dan, doa inilah yang berulang-ulang kuucapkan di multazamm --tempat berdoa yang paling mustajab-- sehabis wukuf. "Kamu merindukan anak perempuan....Kamu terus berdoa memohon anak perempuan. Tetapi, kenapa kau tolak kehadiran anak perempuan, bahkan kau sakiti hatinya?" Sebuah suara tiba-tiba menyambar batinku.



Ya, perempuan kecil itu memang cukup mewakili sosok anak perempuan yang kurindukan, cantik, sehat, dan cerdas. Namun, tentu bukan pengemis. Jelas aku takkan ikhlas anakku jadi peminta-minta. Anakku harus mandiri dan banyak memberi. Bukan banyak meminta. Tapi, mengapa wajah perempuan kecil itu terus memburuku dan tatapan mata ibanya terus menusuk-nusukkan belati ke ulu hatiku?

***



Keesokan harinya aku benar-benar kembali mendaki Jabal Noor (Bukit Cahaya) untuk menemukan gadis kecil bermata belati itu. Kuingat betul wajah kekanakannya, mata bulat cokelatnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir merekahnya, dan rambutnya yang hitam kemerahan dan dikepang dua. Juga kuingat baju hijau lusuhnya yang robek lengan dan ujung kanannya, kaki telanjangnya yang ramping, dari kelompok pengemis mana ia muncul dan di mana ia kuhempaskan.



Tetapi anehnya, sesampai di lereng yang kuyakini sebagai tempat perempuan kecil bermata belati itu kuhempaskan, tak ada satu pun pengemis yang mencegatku. Beberapa pengemis kecil, kebanyakan perempuan, tetap asyik bermain di dekat bebatuan atau duduk-duduk santai di atas gundukan batu. Kusapukan pandanganku berkali-kali ke seluruh penjuru lereng itu, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati itu. Akhirnya, anak-anak gembel itulah yang kupanggil untuk mendekat sambil berharap perempuan kecil yang kucari itu segera muncul dari balik bebatuan atau dari dalam gubuk kayu beratap kain-kain lusuh tidak jauh dari jalan setapak itu.



Beberapa kelompok pengemis kecil sudah mendekat dan segera pergi lagi setelah semua mendapat uang receh dariku, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. "Ah, mungkin anak itu sudah pindah ke lereng yang agak ke atas," pikirku.



Aku sudah hendak melangkahkan kaki untuk mendaki lagi, namun ujung sajadahku tiba-tiba terasa berat. Aku menengok ke belakang, dan kulihat seorang perempuan kecil menggelayut di ujung sajadah tipis yang kuikatkan di pinggangku. "Ini dia!" teriakku dalam hati. Aku yakin, dialah perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. Kurogoh saku baju kokoku, dan kuberi dia beberapa dinar. "Syukron... syukron!" katanya sambil menghitung-hitung uang itu dan meloncat-loncat kecil menjauhiku.



Melihat kegembiraan itu, dadaku terasa plong, seperti baru saja melunasi hutang pada kawan sekantor yang begitu mengganjal perasaan karena ia sering menagihnya. Maka, dengan perasaan lega akupun meneruskan perjalanan ke puncak, sebab masih terlalu siang untuk kembali ke hotel. Setidaknya, aku bisa shalat Ashar di puncak Jabal Noor atau di Gua Hira --tempat Nabi Muhammad SAW dulu menerima wahyu pertama.



Tetapi, baru sekitar 50 meter melangkah, aku melihat gadis kecil yang sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kucari. Penampilannya masih seperti kemarin. Rambutnya masih dikepang dua, dan ketika kudekati, tatapan ibanya yang mengandung belati masih tajam menusuk ulu hatiku. "Ah, jangan-jangan ini yang benar," pikirku. Dan yang bersamanya, aku ingat, adalah pengemis-pengemis kecil yang kemarin juga. Hanya warna bajunya, lagi-lagi, yang berbeda. Kemarin hijau lusuh, kini kuning kecoklatan. Maka, kurogoh lagi saku bajuku lalu kuberi dia lima dinar. Dengan wajah terbengong-bengong gadis kecil itu menerimanya.



Namun, ketika aku hendak melangkah lagi, tiba-tiba ada yang terasa menggelayuti tangan kiriku, dan ternyata seorang perempuan kecil yang wajahnya sangat mirip dengan gadis kecil bermata belati yang baru saja berlalu. Rambutnya pun hitam kemerahan dan dikepang dua. Bajunya juga hijau lusuh seperti baju gadis kecil yang kucari itu. "Ana miskin... Ana miskin...," rengeknya sambil menadahkan tangan kanannya, persis seperti rengek perempuan kecil yang kemarin kuhempaskan ke atas gundukan batu.



Ini yang benar, pikirku. Inilah perempuan kecil yang kucari. Maka, segera kurogoh lagi saku celana jinku, dan kuberikan beberapa dinar kepadanya. Tetapi, bersamaan dengan itu, seperti serentak muncul pengemis-pengemis kecil dari balik bongkahan batu, dari celah bukit, dari dalam gubuk-gubuk beratap kain lusuh, lima, sepuluh, lima belas, tiga puluh .... dan banyak di antara mereka yang wajahnya sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kemarin kuhempaskan itu. Mereka melangkah serentak ke arahku, seperti mumi-mumi hidup, dengan pakaian compang-camping, sambil menadahkan tangan dan koor, "Ana miskin... ana miskin...."



Dengan begitu cepat pengemis-pengemis kecil itu mengepungku, sehingga aku tak dapat menghindar dari mereka. Dengan agresif tangan-tangan kecil mereka pun menadah di sekelilingku, bertempelan di dadaku, di lengan kanan-kiriku, di punggungku. Dan, dengan tatapan-tatapan iba yang menghunjamkan puluhan pisau belati ke ulu hatiku, mereka memaksaku untuk menguras seluruh isi saku bajuku, saku celanaku, dan dompetku. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu, kubagikan semua sisa recehan satu dinar, lima dinar, dan bahkan sepuluh dinarku.



Satu demi satu mereka pun pergi meninggalkanku, kembali ke balik bongkahan-bongkahan batu, ke dalam gukuk-gubuk beratap kain lusuh dan ke celah-celah pebukitan tandus Jabal Noor. Dengan tubuh lemas dan perasaan tak menentu, akhirnya aku turun, dan langsung menuju Masjidil Haram. Usai shalat Ashar aku meninggalkan masjid untuk kembali ke hotel. Tapi, di pintu keluar aku masih dicegat seorang perempuan kecil bermata belati itu. Dan, ini yang paling persis di antara gadis-gadis kecil bermata belati yang kutemukan di Jabal Noor tadi. Rambutnya masih dikepang dua, dan roknya juga masih hijau lusuh dengan robekan kecil pada lengan kiri dan ujung bawah kanannya.



Maka, tanpa pikir panjang kurogoh dompetku dan kucari sisa uang receh yang ada. Tapi, tak ada lagi uang receh di sana. Yang kutemukan tinggal selembar 50 dinar. Dan, tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, uang itu kuberikan begitu saja padanya. Sampai di kamar hotel aku baru sadar, yang kuberikan pada perempuan kecil bermata belati itu ternyata satu-satunya sisa uang sakuku. ***



Makkah-Jakarta, 1994-2004

Sabtu, 30 Oktober 2004

Tiga Sekutu Setan

Cerpen Muhidin M Dahlan



KAU orang muda Jawa-Arab yang pergi ke tanah haram. Mungkin mengikuti jejak spiritualitas para nabi. Atau berharap mendapatkan barakah kesempurnaan hidup dan kecemerlangan pandangan jiwa dalam menangkap lenggak-lenggok kehidupan. Seperti para nabi. Seperti orang-orang suci yang pernah lahir dan tertempa di sana. Kau ingin mengikuti jalan mereka.



Dan sepuluh tahun sudah. Ya, genap sepuluh tahun kau belajar kepada syekh itu atas rekomendasi syekh ini. Sebuah pola pemberian ajar berantai panjang khas tanah haram. Pelbagai ajaran kau timba. Segala cerita perjalanan sang abid kala safar di jalan-Nya telah kaudengarkan. Dan pelbagai pengalaman telah kau cerap dalam lakumu.

Dan kini, sesuai niat dan janji dan perjanjian pada para wali sepuh di tanah kelahiranmu, yakni belajar 10 tahun, kau pun akhirnya memutuskan untuk bersegera pulang. Meninggalkan gurun dengan angin Sahara yang ganas itu. Ah, betapa tak banyak yang tak tahu hakikat sahara itu. Juga mungkin kau salah satunya, walau kau telah menggali sedalam-dalamnya pengetahuan di balik lipatan pasir-pasir ini selama satu dasawarsa menurut perhitungan Masehi. Bahwa Sahara yang begitu sederhana, padat, tanpa ornamen sedikit pun itu terselip gugusan kekosongan dan kehampaan. Juga kemurnian dan kesucian. Mirip Atlantis dan Shangri-La. Di tanah inilah lahir dan membiak orang-orang suci yang mendaraskan dan mengubah wajah padang pasir yang begitu sengat, luas, hampa, dan bisu, menjadi sepenuhnya wajah Allah, cermin keterhempasan dalam kemegahan. Dalam kesunyiannya yang menciutkan nyali itu, seorang insan dilenyapkan dan sekaligus dihadirkan. Setiap insan ditunjuk -atau tepatnya dipaksa- untuk hidup dalam sikap berjuang. Bukan usaha menaklukkan, melainkan bertahan melintasi nasib Sahara untuk mendapatkan oase-oase kedamaian. Gurunlah membuat penghuninya ramah-ramah yang kemudian melahirkan ribuan kuplet kisah, pengalaman-pengalaman spiritual, dan kerendahan hati, sekaligus sikap teguh diri dan insan-insan yang hidup sederhana.



Di tengah jalan pulang menuju dermaga kau berpapasan dengan seorang lelaki. Ia menghampirimu. Tubuhnya dibaluti jubah putih yang tak lagi baru karena telah disikat usia. Demikian juga kepalanya. Terbalut rapat oleh balutan kain. Kulit wajahnya legam disepuh oleh panasnya matahari dan disergap bara pasir-pasir yang berkilat-kilat seperti hamburan ngengat butir kristal.



Kau sedikit gugup atas kedatangannya. Namun kegugupan itu kau sembunyikan rapat-rapat. Ia tersenyum. Mungkin itu senyuman manis. Dan kau membalasnya juga dengan senyuman. Tak kalah manisnya.

Kau tanya siapa ia. Ia hanya tersenyum. Kau ulangi pertanyaan serupa. Ia tersenyum lagi. Setelah tiga kali kau mengulangi pertanyaan yang serupa, ia kemudian membuka suara. Suaranya tampak berat dan seperti suara seorang pewejang di atas mimbar khotbah. Anggapmu begitu.



Ia memperkenalkan diri. Pelan dan tertata ia merangkai setiap patahan kata kalimat. Seperti diatur rapi.

"Aku bukan dari tanah ini, tuan. Aku orang jauh. Sisa keturunan Hamor yang dibantai oleh keturunan Yakoov."

Kau terkejut. Coba meminta konfirmasi. "Maksud tuan, ah, maksudku apakah Nabi Yakub yang tuan maksudkan?"

"Ya, ya," jawabnya. Matanya menatap matamu. Kalian beradu mata.

"Tuan, bagaimana mungkin itu terjadi. Tidak mungkin seorang nabi bisa membantai orang. Mereka adalah orang terpilih dan memiliki pengecapan cinta yang tak ada bandingnya. Hati mereka telah dijagai oleh Allah. Terlindunglah mereka dari segala angkara dan perbuatan-perbuatan jahili," kau coba mempertahankan dasar cerita yang pernah kaudengarkan. Sekuatnya kuda-kuda pengaman kau pasang di sepasang pacak kakimu. Apalagi di hadapan orang asing seperti yang ada di depanmu saat ini.



"Tapi aku punya cerita lain tentang hakikat kesucian. Ya, kalau mengingat cerita itu lagi, ah... ah...."

Kau melihat ia agak terguncang dengan ingatan kesilamannya. Terlihat dari raut wajahnya yang tiba-tiba saja bermendung. Tampak ada tekanan mahaberat yang sudah berbiak lama dalam pusat golak hidupnya.



"Cerita apa yang telah membuat tuan begitu tertekan. Tampaknya cerita itu tajam sekali menusuk uluhati tuan."

"Ya, ya, sebuah cerita. Sebuah pengalaman yang menusuk. Benar kata tuan, tajamnya menusuk-nusuk uluhati. Tapi, tapi, oh, jangan di sini. Di sana. Ya, di sana. Mari kita duduk di sana. Di bawah danau itu. Angin Sahara sebentar lagi akan berhembus kencang."



Kau bertanya-tanya dalam hati sambil madah saja mengikuti ajakannya. Kalian menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin disiapkan bagi pengembara yang ingin menyanggrah sejenak melepas penat atau tempat perhentian ketika badai pasir menghajar perjalanan.

Kau mengambil tempat di ujung kayu sambil punggungmu kausandarkan di sebuah bilah. Mungkin pelepah kurma. Sementara ia duduk di depanmu sambil tangannya mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama kemudian ia membuka cerita kepadamu. Cerita yang ia janjikan tadi. Cerita tentang Nabi Yakub dan keluarganya. Cerita yang sebetulnya biasa karena sudah seringnya kaudengarkan di surau. Bahkan sejak kau mengenal huruf hijaiyah.

Lalu apa istimewanya kisah yang diwejangkan sosok asing yang mencegatmu di tengah perjalanan pulang ini?

Alkisah Dina berkunjung ke negeri yang diperintah Hamor. Syahdan, putra Hamor, Shekkem namanya, melihat gadis ini dan hati anak muda itu tergerak. Disergapnya Dina, dan diperkosanya gadis itu.

Tapi apa hendak dikata: Shekkem ternyata tidak hanya melampiaskan napas. Tapi ia jatuh cinta. Kepada Dina ia sampaikan kata-katanya yang menghibur dan tulus. Kepada ayahnya sendiri Shekkem berkata: "Aku ingin menjadikan perempuan ini istriku."

Maka Hamor pun datang ke orangtua Dina, Yakoov. Ia meminang. "Mari kita bentuk perseku tuan perkawinan: tuan berikan putri tuan, dan kami berikan putra kami, dan kita selesaikan persoalan kita."

Namun perdamaian tak terjadi dan persoalan tidak tuntas. Putra-putra Yakoov masih merasa marah bahwa Shekkem telah menggagahi adik perempuan mereka. Inilah jawaban mereka kepada Yakoov: "Kami tak bisa memberikan adik kami kepada kaum yang belum disunat."

Dan mereka pun memberi syarat, dan dengan itulah mereka mengatur akal. Lamaran Hamor dan Shekkam akan diterima jika semua laki-laki di negeri itu memotong kulup kelaminnya -sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang Yahudi-.

Syarat itu diterima oleh Hamor dan anaknya dengan senang hati. Maka segera saja semua laki-laki di tanah yang diperintah Hamor pun disunat. Tetapi pada hari ketiga -ketika orang-orang itu masih menanggungkan rasa sakit di ujung kemaluan mereka- dua orang putra Yakoov menyiapkan sesuatu yang tak disangka-sangka. Dengan pedang terhunus, mereka memasuki kota. Mereka temui tiap lelaki kota itu yang sedang dalam keadaan tak berdaya itu. Mereka bunuh. Lalu tak lama kemudian anak-anak Yakub yang lain menyerbu. Mereka menjarah kota itu. Domba, lembu, keledai semua yang ada di rumah, juga anak-anak dan para istri, disita.



Kau mengernyitkan dahi atas sepotong kisah mengerikan itu. Nabi Yakub, sekejam itukah? Disebabkan heran dan seperti tak mau terima kau bertanya, "Untuk apa semua itu tuan ceritakan kepadaku? Jangan jangan kau, kau.... kau... meng...."

"Maksud tuan, aku mengarang-ngarang cerita, begitu? Oh, sungguh cerita kekejaman keluarga Yakub itu menghantui kehidupanku dan orang-orang Hamor. Tapi... tapi, terserah kaulah tuan, percaya atau tidak. Percaya silakan. Tidak juga tak apa."

"Maaf, maaf, bukan aku ingin menyakitimu. Tapi untuk apa tuan menceritakan kisah itu kepadaku. Apa manfaatnya?"

"Agar tuan tahu bahwa kesucian pun adalah tipuan." Kau tahu ia hanya mengulang kalimat pertamanya. Seperti menegaskan sesuatu.

Dan kau mengulangi lagi sikapmu. Terbingung-bingung kau bertanya pada diri sendiri. "Sasmita apalagi yang menghadang pengembaraan menuju pintu pulang ini setelah bertahun-tahun ilmu kutimba dan kuukur-ukur?"

"Pernahkah tuan mendengar apa kata Syekh Al-Warraq?"

"Hmmm, jujur aku belum pernah mendengarnya. Tentang namanya, aku sudah mendengarnya karena Syekh tempatku berguru selalu menyebut-nyebut namanya. Tentang apa tuan?"

"Tentang ketaksucian yang bermata di mana-mana."

"Ho-oh. Aih, kalau tak keberatan, sudilah tuan tunjukkan mata-mata yang macam-macam itu," katamu meminta penjelasan.

Dan ia menunjukkan warisan mutiara kebijaksanaan Syekh Al-Warraq itu kepadamu:

Manusia terbagi dalam tiga kelompok: ulama (cendekia), umara (penguasa), dan fuqara (sufi). Korupsi para ulama itu melalui ketidakpedulian. Korupsi para penguasa melalui ketidakadilan. Dan korupsi kaum sufi adalah kemunafikan.

Kau tersentak. Sebentar tercenung. Kata-kata yang barusan meluncur seperti mencambukmu. Kata-kata yang masih asing di indra dengarmu. Khususnya kalimat yang terakhir. Kalau yang pertama dan kedua, walaupun tidak sama persis seperti yang kau dengarkan, tapi masih lumrah. Tapi yang ketiga itu? Sufi? Bukankah mereka adalah manusia suci pilihan?

Tanpa mengindahkan kau yang sedang berada dalam simpang teka-teki, dengan tenang ia berkata bahwa ketiga sosok itu adalah sekutu setan.

"Aku tahu tuan orang terpelajar. Pekerja keras. Abid yang tekun dan sabar. Tapi hati-hatilah, jangan sampai tuan jadi sekutu setan. Abdinya."

"Aku? Abdinya?"

Ia bilang ia tak menuduhmu. Hanya memperingatkan agar jangan sampai terperangkap dalam jaringan kerja setan. Menjadi teman dan sekutunya.

"Sudah kuingatkan ancaman itu. Penguasa tanpa pengetahuan, ulama tanpa budi, seorang sufi dengan keimanan buta. Kebusukan dunia terletak di pundak orang-orang itu. Seorang penguasa tidak menjadi korup hingga mereka berpaling dari para ulama, dan ulama tidak menjadi korup hingga mereka bergaul dengan penguasa, dan sufi tidak menjadi korup hingga mereka mencari pamer, dan ketamakan ulama karena keinginan akan kesalihan, dan kemunafikan sufi karena keinginan percaya kepada Allah. Tlah kuingatkan. Hati-hati!’’

Setelah berkata demikian, lelaki itu kemudian pamit lalu. Tanpa menengok sedikit pun. Dari belakang kau melihat langkahnya begitu mantap. Sesekali terantuk. Sesekali berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya lelaki itu dari pandangan matamu.

Lama kau berdiri di situ sebelum memutuskan untuk berjalan ke arah sebaliknya. Kau menurunkan kain ke wajahmu untuk mencegah butiran pasir menggasak muka dan matamu. Kau berjalan lambat melintasi lumpur pasir sahara yang menanam langkah-langkahmu. Kau sedang menuju dermaga. Menaiki kapal-kapal dagang yang menuju daratan tenggara. Jawa! ***



*) Muhidin M Dahlan, lahir di Sulawesi Tengah. Bukunya Trilogi Mencari Cinta; Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur!; dan Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (ketiganya diterbitkan pada 2003). Saat ini menjadi perangkai bunga di RumahBunga, Yogyakarta.

Sabtu, 23 Oktober 2004

Lelaki yang Mengkhianati Ibu

Cerpen Susialine Adelia



Seperti biasa, Ibu sudah berdandan cantik ketika menemani dan meladeni kami sarapan. Sambil berangkat ke kantor (Ibu pegawai negeri di Taman Budaya) dia akan mengantar kami semua ke sekolah. Sementara Ayah meneruskan mimpinya karena menjelang pagi baru pulang. Apalagi mendekati pentas (Ayah aktor sebuah grup teater ternama di kotaku dan biasanya ia menjadi pemain utama). Tetapi meski malam tak ada latihan, Ayah tak pernah bangun pagi. Begitu setiap hari. Jadi kami tak pernah bertanya kenapa Ayah tidak ikut sarapan, atau merasa kehilangan.



Belum selesai sarapan Ayah muncul dari ruang depan. Seperti biasa wajahnya nampak kuyu, lelah dan ngantuk. Baru aku tahu bahwa ternyata Ayah baru pulang.

"Halo semuanya," Ayah menyapa tanpa mendekati dan mengecup kening kami.



"Nggak sarapan sekalian?" Ibu bertanya.

"Nggak, nanti saja," dan Ayah pun berlalu masuk ke kamarnya.

Kulihat Ibu menghela napas sambil memandang Ayah yang berlalu. Sesaat aku berhenti menyuap, memperhatikan Ibu.



"Kenapa? Selesaikan sarapannya," merasa kuperhatikan, Ibu menegurku.

Aku menggeleng dan cepat-cepat menyuapkan nasi ke mulutku.

***

Tiga hari Ayah tak pulang. Kutanya pada Ibu, katanya Ayah sibuk. Hari pementasasan sudah sangat dekat. Tetapi bukankah dia pentas di dalam kota? Kenapa sampai tak sempat pulang? Ada istri dan anak-anaknya di rumah yang menunggu. Perjalanan pulang banyak memakan waktu sementara Ayah butuh cukup istirahat. Ibu coba menghiburku.

Sorenya Ayah pulang dengan wajah berbinar dan segar.



"Apa kabar sayangku?" sapanya sambil mengecup keningku.

"Kok nggak pulang-pulang, Yah?" aku bertanya.



"Ayah kerja keras, jadi harus hemat tenaga," jawabnya sambil merangkul pundakku. Lalu kusandarkan kepalaku di pinggangnya. "Nanti malam ikut ya, udah mulai run through."



"Tapi jangan ajari dia pulang pagi, ya," kata Ibu sambil menyiapkan kopi untuk Ayah.

"Oh jelas, kita akan pulang siang," jawab Ayah, melirikku sambil tersenyum. Kami bertiga pun tertawa.



Menjelang senja kami berangkat.

"Berapa lama kita nggak jalan-jalan berdua?" Ayah bertanya setengah pada dirinya sendiri.



"Hampir satu semester, Yah. Ayah sih sibuk teruusss," aku berlagak merajuk.

Ayah mengacak rambutku sambil tertawa, "Memang kamu nggak? Rapat ini, pelatihan itu, hmm?"



Kami berdua tertawa.

"Eh, Ayah kok tambah genit sih sekarang?" tiba-tiba aku berkomentar.



"Apa?" tanya Ayah.

"Tiap keluar rapi dan wangi terus gitu," tambahku.



"Lho, memang nggak bangga punya Ayah ganteng dan wangi?"

Kami tiba di tempat pertunjukan saat para kru masih membereskan panggung, sementara beberapa pemain memainkan adegan mereka di sela-sela kru yang sedang merampungkan pekerjaannya.



Ayah meninggalkanku di deretan depan kursi penonton. Dia datangi seorang perempuan yang sedang memberi instruksi pada peƱata lampu. Mereka berbicara sebentar. Lalu Ayah berjalan ke arahku diikuti perempuan itu.



"Sayang, kenalkan ini sutradara Ayah."

Perempuan itu mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya, "Tati."



"Citta," kataku menyambut uluran tangannya.

Tante Tati meraih sebuah kursi dan meletakkannya di depanku. Kami ngobrol berdua sementara Ayah meninggalkan kami menyiapkan pementasannya. Tak lama, Tante Tati meninggalkanku, kembali pada pekerjaannya.



Aku tetap duduk di kursiku, mengamati kesibukan orang-orang itu. Sebagian besar di antara mereka sudah kukenal. Maka kulambaikan tangan ketika kebetulan mereka menoleh ke arahku.

***

Berhari-hari Ayah tak pulang lagi. Padahal pementasan sudah selesai.

"Mungkin masih menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin," jawab Ibu sambil mengusap keringat adik bungsuku. Sekalipun jawaban Ibu tak masuk akal, aku tak membantahnya.



"Ibu bertengkar sama Ayah?" aku memberanikan diri bertanya.

Tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hanya itu jawaban Ibu. Melihatku yang tak juga beranjak dari ranjangnya, Ibu pun bangkit setelah memastikan si bungsu terlelap.



"Sudah selesai belajar?"

Pertanyaan yang lucu. "Kok kayak nanyain Tres yang masih SD aja."



Tampak Ibu agak gugup, tetapi segera ditutupnya kegugupan itu. "Memang kalau udah kuliah nggak perlu belajar?"

Berdua diam.



"Kenapa?" Ibu bertanya.

"Citta yang mestinya tanya, Ayah dan Ibu kenapa," jawabku.

Kudengar desah napas Ibu. Panjang. Diraihnya tanganku dan diletakkan di pangkuannya. "Dua bulan lagi kamu ulang tahun kan. Umurmu akan genap dua puluh dua," berhenti sejenak, menatapku. "Berarti kamu sudah dewasa, sudah tidak harus dibimbing Ayah dan Ibu lagi. Bahkan sudah bisa membantu kami membimbing dua adikmu."



"Maksud Ibu?" aku mengerutkan dahi.

"Tentunya kamu tidak akan terlalu terganggu jika Ayah dan Ibu tidak bersama lagi," kata Ibu lirih tanpa melihatku. Suaranya bergetar.



"Ibu dan Ayah mau pisah?" Pertanyaan yang kuharap tidak diiyakan oleh Ibu. Tetapi keliru. Ibu mengangguk dengan berat. Berat sekali. Seketika kepalaku terasa pening.

"Ibu mau bercerai?" ulangku sekali lagi.

***

Enam tahun berikutnya. Seorang laki-laki duduk di depanku. Tertunduk layu.

"Aku yang mengajarimu berpikir dan bersikap. Tapi sekarang tak kutemukan apa yang kuajarkan dulu," katanya pelan sambil menerawang ke luar jendela.



"Sama. Aku juga tidak menemukan hal yang membuatku kagum dulu," jawabku, juga dengan perlahan.

"Kau tak pernah memaafkan aku," katanya lagi.

"Maafku tak akan menghapus luka kami," jawabku sambil menangkupkan kedua tangan ke mukaku.



Kepalaku tiba-tiba terasa berat begitu teringat masa itu. Teringat Ibu. Sekuat tenaga dia berusaha tabah menghadapi perpisahannya dengan Ayah. Tetapi tak sesederhana itu. Pasca perceraian, Ibu seorang diri harus menanggung hutang Ayah atas namanya. Hutang untuk proses kesenian yang kemudian justru mempertemukan Ayah dengan Tati. Ironis sekali. Ibu pun menjual rumah yang kami tempati, mengajukan pensiun dini lalu membawa kami hijrah ke kota kecil ini. Terlalu banyak luka di kota besar dulu.



Sejak itu hampir tak pernah kudengar berita tentang Ayah. Kota kecil ini terlalu damai untuk mengenangkan cerita lama. Lagi pula kami harus berjuang keras merintis kehidupan di sini dan memikirkan Ibu yang ternyata mengidap kanker payudara.



"Tidakkah penyesalan dan rasa berdosa cukup untuk menebus kesalahanku?" laki-laki itu bertanya lagi.

"Tetap saja kehidupan kami tak kembali," terasa mataku mulai basah.



"Maaf," seorang perempuan muda masuk, mengulurkan secarik kertas dengan tangannya yang tak sempurna dan segera keluar lagi.

"Pulanglah," kataku setelah membaca pesan yang tertera, "Aku ditunggu rapat. Ibu tak akan menemuimu."



Laki-laki itu memandangku. Kecewa, sedih, geram, dan entah apa lagi tampak di matanya. Tapi aku tak begitu peduli. Dia mengangguk lalu bangkit. "Aku masih berharap menjadi walimu di pernikahan nanti," katanya.



"Entahlah. Membayangkan pun aku tak berani."

Dengan lunglai, dia berjalan ke pintu. Sebelum dia menarik pegangangnya, aku memanggil.



"Yah..."

Laki-laki itu menoleh. Tersenyum. Aku hendak mengatakan sesuatu padanya, tetapi tak mampu. Maka hanya anggukan yang kuberikan untuk mengantarnya pergi.



Dalam hati aku berjanji, nanti malam akan kutulis surat untuk laki-laki itu. Isinya: Aku berterima kasih telah dibimbingnya menjadi pribadi yang percaya diri, sehingga menemukan jalan untuk berani mengajak orang lain menempatkan diri sejajar dengan kami dan bukan justru mengasihani. Satu hal yang tak pernah diajarkannya adalah menerima kehilangan. Baru belakangan almarhumah Ibu mengajarkannya padaku. Aku bangkit. Meraih kruk yang kusandarkan di samping kursi. Tentunya teman-teman terlalu lama menanti. ***