Selasa, 22 November 2005

Langit Menggelap di Vredeburg

Cerpen Sulialine Adelia
Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi. Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.*

Minggu, 06 November 2005

AIDA ”KREOL”

Cerpen Raudal Tanjung Banua

INI kepulangan yang mendebarkan, setelah lama ia bayangkan bakal menuntaskan kunjungan ke sebuah kota "yang dibangun dari menara sekaligus terowongan bawah tanah". Ya, ini akan menjadi kepulangan yang menuntaskan segala sesak di dada Aida, tentu bukan lantaran ia punya sedikit gejala asma. Meski ia sendiri, sungguh celaka, tak sanggup merumuskan sesak karena apa. Aneh memang, tiap kali ia mencari tahu apa yang bergolak dalam batinnya (yang sesungguhnya tidak menyenangkan), yang muncul justru debar. Seolah ia menunggu sesuatu entah apa, tapi dengan membayangkannya saja semuanya terasa menyenangkan.
Ah, semoga benarlah semua bakal menyenangkan, ia berharap. Ya, mestinya memang demikian. Ini kepulangan yang kedua kalau dihitung sejak ia bertunangan dengan Kudal, laki-laki perantauan yang dicintainya. Serta kepulangan pertama sejak Aida menikah dan punya seorang anak yang gemar melukis bis. Seharusnya pernikahan mereka di kampung juga, tapi malaria yang menulari mereka di kapal, membuat mereka memasang nawaitu, membulatkan tekad untuk segera menikah jika sembuh --padahal baru saja datang dari kampung yang jauh.
Maka begitu sembuh, jadilah mereka "pengantin malaria", berkah yang menuntaskan pertunanganan menjadi perkawinan seketika, mengenyahkan sekian rumus rumit berumah tangga. (Mengapa tak malaria di kampung saja kalau ternyata membuat kami menikah sekarang juga? Kata Kudal garuk kepala. O, inilah rahasia jodoh, kata petugas nikah yang arif-bijaksana). Batal menikah di kampung, tak apa, toh semuanya rampung dengan cepat, di mana mereka sebagai pengantin pun kaget mendapatkan diri saling pandang di ranjang rumah kontrakan. Sepasang mata mereka basah. Tapi lalu terbiasa. Termasuk menyiapkan kepulangan kali ini, sebutlah "membayar hutang" kepulangan yang tertunda --o, mereka pun arif-bijaksana!
Benarkah pulang dengan persiapan yang matang membuat semuanya terasa menyenangkan? Aida menduga lagi. Menimbang-nimbang. Di sisinya, anak semata wayangnya tengah bermimpi, dan suaminya terpejam dalam dengkur yang bebal, terbenam empuk bangku beludru. Ia menatap suaminya, jatuh iba, betapa laki-laki itu teramat penat didera beban hidup. Hanya beberapa jam lalu saja mereka bercakap-cakap di atas taxi bandara, yang membawa mereka ke kantor travel. Dan ketika pintu minibus dihempaskan, Kudal segera pula menghempaskan tubuh dan jiwanya ke alam lain -tidur-- dengan berbisik sesempatnya, "Kita tidur saja, Aida. Kau terutama. Wajahmu tampak lelah sekali." Aida tersenyum, tadi, lalu ia pun memejamkan mata tapi tidak tidur, tidak bermimpi. Sampai minibus travel yang membawa mereka entah memasuki jam dan kilometer berapa, melaju, cepat dan cekatan melewati jalan-jalan sempit di kaki bukit, ia malah terjaga. Menikmati hijau bukit, dan biru laut di lain sisi. Perihal kendaraan ini sendiri sesuatu yang menyenangkan, pikirnya. Seingatnya, dulu tak ada pilihan lain dari kota propinsi ke kampung suaminya, kecuali bis-bis tua yang sesak. Tapi, benarkah ini membuatnya merasakan rasa senang yang berlebih?
Memang, kepulangan sekarang tidak seperti pulang lima tahun yang lalu di mana mereka tak punya cukup uang. Meski kepulangan itu penting bagi perkenalan calon mertua dan menantu. Karenanya, mereka tak peduli biaya perjalanan. Bahkan untuk ongkos kembali ke Yogya --tempat di mana mereka kuliah-- terpaksa ia menerima pemberian uang dari saudara-saudara calon suaminya yang jika ia kenang sekarang sangat tidak menyenangkan.
Sebenarnya Aida enggan menerima waktu itu, dengan menyikut tulang rusuk Kudal sambil bicara dalam bahasa Bali, satu-satunya bahasa daerah yang mereka kuasai, itu pun sebatas bahasa pergaulan. Toh, orang-orang itu tidak akan mengerti, saat ia mengingatkan Kudal bahwa sekadar ongkos bis atau kapal, masih bersisa sedikit piis yang mereka persiapkan buat jaga-jaga. Tapi Kudal bilang, tidak apa-apa. Dan menambahkan (dengan bangga!) bahwa suasana yang melebihi seperti saat itu pernah terjadi ketika ia merantau untuk pertama kali. Dengan dramatis tergambarkan, bagaimana saudara-saudaranya mengumpulkan uang, sekadar membantu ongkos Kudal ke rantau tujuan, Bali, tempat yang mempertemukan mereka sebagai dua sejoli, dan kemudian sama-sama memutuskan studi di Jawa.
Dan untuk kepulangan kali ini, mereka memang menabung cukup baik. Setamat kuliah, mereka bekerja keras meski hasilnya tentu sulit dikatakan cukup. Apa yang dianggap cukup, coba, di tengah harga-harga mencekik, kebijaksanaan pemerintah yang dingin, dan hidup kian kuwalik? Hik! Tapi setidaknya Aida bisa membawakan oleh-oleh kain batik yang terbaik untuk mertua, paman dan adik-adik --yang ia kumpulkan dengan cara membeli satu per satu sejak dulu-- kaos Dagadu Asli, bahkan satu stel surjan dan blangkon Jawa yang dipesan khusus si ponakan, Amri, waktu ngomong di telpon. Dan semua ini sangat menyenangkan.
***
TAK kalah menyenangkan tentu saja berwisata ke kota lama. Ke sejumlah tempat yang dulu sempat Aida singgahi dengan berkendara motor tua bersama laki-laki yang dicintainya. Tapi kunjungan itu sungguh tidak sempurna, serba kilat, sebab minimnya biaya perjalanan. Padahal, ia ingin sepuasnya menikmati Jam Gadang yang menjulang kokoh dan kuno, masuk Lobang Japang dan memandang ngarai yang biru.
Menyesal karena mesti bergegas waktu itu, memacu motor tua yang dipinjam dari Paman Markis. Tapi soalnya adalah, semalam-malam hari mereka mesti sampai di Payakumbuh, agar dapat menginap di rumah sahabat lama Kudal, dengan dua pertimbangan --tanpa pilihan: tak ada biaya penginapan, dan mereka belum lagi sepasang suami-istri. Kata Kudal, laki-perempuan yang hendak menginap di hotel mesti menunjukkan surat nikah jika tak ingin ditolak atau tidur terpisah.
Ya, ya, Aida mengangguk mahfum. Maklum daerah para buya dan ulama, dulu, bisiknya. Meski kemudian Aida merasa tertipu ketika sahabat lama Kudal di Payakumbuh yang blak-blakan itu, dengan enteng bercerita bahwa pemeriksaan surat nikah bagi tamu menginap hanya omong kosong, setidaknya tinggal cerita. "Buktinya, kalau saya ke Padang sama si Nora (yang kemudian menjadi istrinya), pasti menginap di losmen dekat Muara," katanya. Terkekeh.
Laki-laki perokok itu pula yang merekomendasikan tempat menginap murah-meriah untuk mereka, lancar dan hapal di luar kepala, seolah mereka akan menginap pada saat itu juga. "Buat jaga-jaga, kalau kalian pulang lagi," katanya menyadari. Dan Kudal menjawab mantap, "Pulang besok, kami sudah jadi suami-istri, Bung!" Sahabat baik itu terbahak. Sementara Aida menyesal tak bisa menyusuri kota itu, sebagaimana ia membayangkan dirinya sebagai seorang gadis dengan kisahnya yang manis!
Dulu, itu berlebihan, bisiknya. Tapi sekarang pun, sebenarnya Aida tetap merasakan demikian. Apa yang istimewa dari sebuah kota wisata dan seorang gadis? Bukankah sebagai gadis Bali sebenarnya ia tak asing dengan pariwisata, dan dalam sejumlah hal bahkan terasa membosankan? Kalau mau jujur, ia justru sangat terkesan dan takjub dengan daerah suaminya, sebuah kabupaten yang memanjang di pantai barat Sumatera, terpencil, mungkin terkucil, hanya dihubungkan satu jalan utama, dan dengan itu keberadaannya seperti malu-malu muncul di peta Ranah Minang. Jika ada jalan yang longsor atau jembatan putus, putus pula hubungannya dengan dunia luar. Menghadap keluasan Samudera Hindia, dan diapit deretan Bukit Barisan, pemandangan bagai mencipta kegaiban. "Daerah pantai yang tak punya pelabuhan, daerah pebukitan yang hanya punya satu jalan," begitu suaminya pernah bilang, dan Aida rasakan nada keterhimpitan di situ, rasa disisihkan.
"Semestinya kau yang jadi bupati," Aida pernah menggoda. "Tidak. Anak kita yang nanti jadi gubernur," jawab Kudal, nadanya sukar diduga. Mereka tergelak, dan bagi yang mendengar, susah juga menduga maunya. Bagaimanapun, Aida tak bisa melepaskan pautan hatinya pada alam daerah ini yang masih terjaga, penuh pesona. Ya, Aida telah jatuh cinta sejak pandangan pertama, melebihi apa pun yang dikatakan kamus wisata. Ini hanya mungkin dibandingkan dengan perjumpaan pertamanya dengan Kudal di rumah panggung Nenek Syaodah di kampungnya --yang juga ia kenang dengan nada ketersisihan.
Lalu di atas semua itu, seorang gadis, apa yang istimewa? Apa artinya?
Ia mencoba berkelit. Beruntung, di saat yang sama ia tiba-tiba ingat nasi kapau dan sate piaman, yang entah bagaimana cocok belaka dengan lidahnya. Tentu, karena ia dari keluarga "kreol", ibu Jawa, ayahnya campuran Bugis, Makasar, dan Madura. Ia sendiri seharusnya asli seorang Bali, karena lahir dan besar di pulau itu, di sebuah kampung tua yang sudah ada sejak berabad-abad silam. Namun selalu ada yang tak ia mengerti, sesuatu yang membuatnya sukar merumuskan diri sebagai seseorang yang "asli". Dari segi bahasa misalnya. Ia tidak fasih berbahasa Bali, karena kampungnya berbahasa Melayu dengan dialek yang kental, serupa lidah Malaysia. Rumah-rumah di kampungnya tak berbale-bengong, tak bersanggah, seperti rumah Bali, tapi rumah panggung bertiang tinggi. Tidak ada pura tentu saja, tapi menara masjid yang tua.
Aida tahu, semua itu tak mungkin membuatnya tertolak sebagai orang Bali, karena kampungnya sendiri sudah menjadi bagian dari sejarah tanah dewata. Tapi secara pribadi, tentu saja ia memiliki pengalaman-pengalaman tertentu yang membuatnya canggung, susah-payah merumuskan jatidiri. Ia pun tahu, pengalaman personal itu sangat subjektif sifatnya, semisal kemiskinan keluarga yang membuatnya tidak percaya diri, tapi ia tak bisa pula melepaskannya dari pengalaman bersama. Maklum, kemiskinan mendera sebagian besar keluarga di kampungnya, dengan jalan raya yang dibiarkan rusak dan lapangan kerja yang sulit, pendidikan anak-anak yang terbengkalai, padahal letaknya hanya berapa ratus meter dari pasar induk kabupaten.
Bertahun-tahun kampungnya dikenal sebagai kampung udik, dan anak-anaknya yang sedikit bersekolah itu sering diejek, jika tidak malu sendiri. Ada yang mencoba menyembunyikan diri sedemikian rupa agar tidak kentara sebagai "anak kampung", tapi tetap saja mereka berbeda dengan "anak kota", setidaknya penampilan yang kusam. Dan hal dasar yang tak bisa disembunyikan adalah bahasa ucap mereka. Ya, bahasa Melayu yang kental. Meskipun bahasa mereka telah menyerap kosa kata dari berbagai bangsa (bukan suku-bangsa!) seperti Bali, Jawa, Madura dan seterusnya, tetap saja mereka melafalkan vokal "a" sebagai "e", pada setiap akhir kata.
Inikah yang membuatku terobsesi pada kota itu, dan ingin menjadi gadis lain? Aida bertanya pada dirinya, dan mulai menyusuri kenangannya sendiri….
***
DALAM komunitas kampungnya yang "udik", Aida tumbuh sebagai gadis pemalu, sedikit gagap dan tidak percaya diri. Meski diterima di sekolah unggulan, yang ia rasakan lebih banyak siksaan.
Ia kerap iri melihat kawan-kawannya punya sepeda, atau paling tidak lancar-lancar saja naik angkutan kota. Sedang ia, jangankan punya sepeda, naik angkot pun tak selamanya bisa. Uang dari bapaknya pas untuk satu keperluan, padahal Aida membutuhkan sedikitnya dua keperluan setiap hari: ongkos angkot dan jajan. Maka, kalau ia mau jajan, ia mesti berjalan kaki, atau sebaliknya. Kerap pula ia tak bisa memilih karena tak setiap hari bapaknya punya uang. Seringlah ia berjalan kaki, lewat jalan pintas menempuh pematang sawah, masuk gang-gang sepi, dan tak jarang ia dikejar anjing atau diganggu orang, apalah bedanya.
Ia kemudian belajar mencari uang sendiri dengan membungkus kerupuk di sebuah usaha kecil tetangga, yang jika ia kenang sekarang sungguh keterlaluan. Bayangkan, untuk berbungkus-bungkus kerupuk, bayarannya tak cukup buat jajan. Belum lagi kalau ia ingat saat-saat belajar mengaji, yang menyita banyak waktu dan tenaganya sebab harus mengabdi sepenuhnya kepada sang guru, tak bisa menolak karena bapaknya keras dalam urusan agama. Ini tak kalah menyiksa.
Seharusnya ia bisa lebih percaya diri, kalau saja guru sekolah memperhatikan bakatnya. Aida merasa bisa menulis puisi dan mengarang cerita. Tapi dirinya luput setiap kali ada lomba. Ini menjadi masa sulit bagi Aida. Termasuk ketika ia menyukai teman lelaki, Ida Bagus Suemi. Aida pun percaya, lewat sorot mata dan tingkahnya, anak itu juga menyukainya. Tapi keduanya tak menyatakan apa pun. Satu-satunya komunikasi yang diingat Aida ialah ketika mereka naik angkot yang sama ke sekolah, dan Bagus Suemi membayarkan ongkosnya, tapi Aida menolak. Lalu, ketika mereka mulai melangkah, Bagus Suemi menginjak sepatu Aida, dan tak dinyana remaja itu membungkuk membersihkannya. "Aduh, maaf, ya, saya ndak sengaja," katanya kikuk. Yang lebih kikuk tentu saja Aida, sebab sepatu yang ia kenakan tidak lebih sepatu butut yang mulai robek di sana-sini, yang jika ia kenang kapan saja, niscaya wajahnya akan sama merahnya seperti saat itu!
Kenyataan-kenyataan ini, menghilangkan separoh masa remajanya…..
Tapi aneh! Masa-masa yang hilang itu serasa Aida temukan dalam masa lalu suaminya. Salah satunya, tentang kota lama itu, Bukittinggi, yang digambarkan Kudal sebagai "Kota yang dibangun dari menara sekaligus terowongan bawah tanah," lantaran di sana kisah-kasihnya dengan seorang gadis bermula, meski bertahun-tahun kemudian, di sana juga mereka berpisah! Rosalina, Rosalina Parete, gadis bahagia sekaligus malang itulah, yang terus membayangi Aida…
Entah kenapa Aida sangat tertarik pada kisah kasih sederhana itu, barangkali ia membayangkan dirinya sendiri terlibat di dalamnya. Sering Aida menanyakan mengapa Kudal meninggalkan gadis itu, namun Kudal tak pernah sungguh-sungguh menjawab. "Bukan aku yang meninggalkannya, dialah yang meninggalkan aku," katanya. Padahal Aida tahu, tak lama setelah Kudal sampai di Bali, surat si gadis datang tak putus. Aidalah yang mengumpulkan dan menyimpan surat-surat itu. Hanya beberapa saja dibalas Kudal, tentu dengan menyebut nama Aida sebagai perempuan yang telah mengisi hidupnya. Aneh, Aida malah balik sedih kepada gadis itu.
Tapi, tiap kali Aida bertanya kenapa Kudal tega meninggalkan si gadis, Kudal malah menceritakan yang lain, yang konyol. "Sore itu kami berdiri di atas tebing Ngarai Sianok, dengan tangan tak lagi saling genggam karena semua sudah kami tuntaskan. Kemudian aku berjalan ke semak-semak, lebih dekat lagi ke jurang, dan secepat itu pula ia mengejarku, nyaris berteriak minta tolong. Tentu saja ia takut menyaksikan aku bunuh diri, meloncati tebing dan remuk di dasar jurang. Tapi siapa yang mau bunuh diri? Wong, aku hanya mau kencing kok!" Ia lalu akan tertawa, membuat Aida kian penasaran saja, dengan suatu bisikan halus dalam hati, "Huh, mentang-mentang punya banyak masa lalu untuk dikenang, lalu dibuang-buang.…"
Lantas, pikirnya, "Tapi perlukah aku memungutnya?"
***
AIDA meluruskan kaki, menekan debar, dan bertanya sendiri, letih: Apa iya masa lalu seseorang bisa dimasuki seorang lain, sekalipun itu orang yang dicintai?
Dengan latar budaya hibrida dan kreol, yang terbiasa merangkai segala yang silam, mungkin saja Aida bisa. Tapi….untuk apa?…perlukah? Tidak, tidak, aku harus merumuskan masa laluku sendiri! Cukup bagiku meminang lelakiku, tak perlu masa lalunya!
Ajaib, begitu memasuki kampung suaminya, yang tenang dan sunyi, Aida merasakan sesuatu memapah dirinya pada kesadaran murni. Ia mendengar suara ombak berdesir di pantai. Ia melihat cakrawala. Melihat matahari. Dengan desir yang aneh, semua ini mengingatkannya pada silsilah, garis darah, bahasa, peta-peta, dan sejarah leluhurnya di sebuah kampung tua yang menyimpan masa lalunya. Sempurna atau retak, itulah milikku! Bisiknya, seperti luluh.
Minibus jalan perlahan, bagai kapal hendak menepi. "Kalau pun besok atau lusa aku ke kota lama, mungkin bukan untuk mengingat siapa-siapa," ia berbisik di dalam hati, lalu membangunkan anak dan suaminya. Sebab mereka telah sampai.
/Yogyakarta, Bulan Bahasa, Oktober 2005