Senin, 31 Januari 2005

Laki-Laki

Cerpen Abidah El Khalieqy



"Selingkuh? Hanya laki-laki tak bermoral yang selingkuh. Jangan samakan aku dengan mereka dong," Prakoso mendorong halus tubuh istrinya, membujuk mulutnya untuk tak lagi berkata-kata.



"Tetapi dua di antara tiga. Ini penelitian paling mutakhir!" sambung Melati, terus bernyanyi.



"Iya??paling tidak, akulah yang satu itu," ia mengerdipkan matanya nakal, sekali lagi dengan harapan, istrinya sudi menggembok mulutnya.



"Laksono selingkuh. Wicaksono selingkuh. Bramantyo juga selingkuh. Sekarang tunjukkan padaku, mana letak perbedaan antaramu dan mereka, teman-temanmu itu," kian teliti Melati mengkritisi.



Sial! Pikir Prakoso. Bukankah semua nama yang disebut Melati adalah para guruku? Adalah profesor ahlinya dalam hal perselingkuhan? Mereka adalah rujukan, referensiku paling lengkap dalam seluruh perjalanan dan lika-liku, strategi pertempuran di ranjang, strategi menyerang dan bertahan, strategi berbohong dan berlagak pilon.



"Kau jangan mengada-ada, Mam? Jelas aku berbeda dengan mereka. Mereka berambut keriting dan rambutku lurus. Ini tandanya jiwaku juga lurus?.moralku juga lurus?..Apa kau belum pernah memperhatikan rambutku?"



"Bahwa rambutmu lurus, itu urusan Tuhan. Tetapi jika moralmu tidak lurus, itu akan menjadi urusanku, urusan kita berdua. Paham!?"

"Sesuatu yang mustahil! Aku tidak paham!"

"Oya? Rupanya kau belum paham juga jika belum menelan gambar-gambar bugilmu ini? Telan ini! Ayo! Makan permainanmu! Nanti kau akan tahu, betapa lezatnya hamburger jahanam ini, Prakoso!"



Melati membeberkan gambar-gambar aneh dari kertas-kertas licin di depan hidung Prakoso. Prakoso terkesiap. Persis maling yang tertangkap. Ia linglung dan bingung. Dari mana Melati memperoleh ini data? Bagaimana mungkin semua terekam dengan begitu gamblangnya? Villa dan merk celdamnya? Aduh! Ini bahaya! Tetapi bukan Prakoso kalau gampang menyerah.



"Tidak, Mam? Ini hanya rekayasa. Kau tahu? Akhir-akhir ini banyak pihak yang berusaha menjatuhkan namaku. Aku ini produser kenamaan. Jika saja aku mau, aku bisa mengambil para bintang pendatang baru itu untuk begituan. Tetapi aku bukan termasuk laki-laki yang dua persen itu."



"Masih juga menyangkal? Kau tahu bahwa hakim menjatuhkan hukuman atas dasar bukti-bukti?"

"Tetapi sejak kapan kau menjadi hakim?"

"Sejak kamu mulai jadi maling!"

"Kamu suka bercanda deh, Mam," Prakoso mencoba melunakkan situasi dengan meraih Melati. Tetapi Melati bukan Melati kalau tidak Melati. Bertameng duri, ia mulai menyerang Prakoso dengan bukti dan kata-kata. Ia tahu bahwa kata memiliki kekuatan gandewa jika tepat mengarahkannya. Musuh di depan mata atau di ujung dunia, hanya kata yang mampu memanah dengan tepat ke arah jantungnya.



"Aku memang suka bercanda, sebab itu akan kugantung foto artistik ini di depan sinema."

Prakoso ternganga. Ia berdiri menatap Melati dengan bimbang, antara percaya dan tak. Ia menatap tajam ke arah mata Melati, ternyata mata itu lebih tajam dari belati. Prakoso ngeri. Ingin tetap membela diri tapi kehabisan nyali. Laki-laki kehabisan nyali? Apakah nyali? Adalah saudara kembar beribu cakar srigala yang siap mencabik mukamu, mulut, dan mata lancangmu.

"Kamu?"

(Ketika persetubuhan amarah dan harga diri, antara malu dan terpojok tak lagi memiliki ranjang yang nyaman. Ketika nurani raib dimangsa digdaya. Saat topengmu hendak disibak olehnya).



Meminjam mata setan Prakoso memandangi bola mata Melati. Dengan seringai harimau lapar, tanpa guntur tak ada halilintar, ia terkam Melati dengan kedua sayapnya, sayap Burung Nasar yang perkasa. Ia terkami tulang leher Melati dengan sepuluh cakarnya, cakar-cakar srigala. Dalam sekejap mata, tubuh Prakoso berubah sosoknya. Sang produser film yang intelek dan sok moralis ini, berubah bentuk menjadi raksasa gorila sang pemangsa.



"Mampus kau, lancang! Mata-mata! Belajar jadi CIA di rumah sendiri? Hhh!"

Melati limbung dan tumbang. Tetapi data-data menghilang. Ke mana itu foto? Prakoso terus mengigau. Di mana foto-foto melayang? Bukankah setiap helai dari rambutmu telah kurontokkan? Sepuluh jari yang kau miliki telah kupreteli? Duapuluh delapan gigimu telah kucongkeli dan kedua kakimu telah kuamputasi? Ke mana foto-foto berlari?



Prakoso juga berlari. Terus berlari dalam kejaran polisi-polisi, yang berbondong-bondong mencarinya atas perintah Melati. Di mana Melati? Belum jugakah ia mati? Setelah terlindas ban mobilku sebanyak duapuluh satu kali? Setelah minum racun yang kutaburkan di gelas susunya sembilan kali? Ia tidak mati. Ia semakin segar dan hidup di antara kumpulan yang menentang. Ia menjadi hantu gentayangan.



Ia menggerakkan barisan-barisan. Dua puluh orang. Tiga puluh orang. Kadang empat puluh. Kadang lima puluh. Tetapi jumlah terus membengkak menjadi empat ribu. Seperti peluru yang berseteru. Melati mengharu-biru. Ia terus maju dengan kelewang atau buku-buku. Dan buku-buku Melati besar dan tebal, sebesar kebohongan dan dosa-dosaku. Nyali Prakoso ngilu.

"Jalanku buntu," keluh Prakoso.

Di mana-mana buntu. Gang dan lorong buntu. Stasiun dan terminal buntu. Bandara dan pelabuhan buntu. Jalan raya, jalan kota, jalan desa, buntu. Bahkan pintu rumahku buntu. Lalu ke mana akan bertamu?



(Jika rumahmu menghilang oleh dosa dan penghianatan, ke mana berpaling dari terik mentari dan gempuran hujan, kawan?)



Seperti patung ia termangu. Patung batu. Tak berhala tak juga jadi obyek wisata. Lalu ia teringat selingkuhannya. Siapa tahu pintu rumahnya masih menganga. Dan Prakoso berlari mencari gerbang menganga. Ia tabrak pagar dan bendera. Ia sibak tabir dan lompati jendela. Ia jumpalitan di antara meja dan papan nama. Ia melihat di kejauhan sana, pintu gerbang masih menganga.



Hyaaaat! Prakoso loncat dengan tongkat maksiat. Seperti kilat, ia melesat dengan gairah penuh padat. Ia pun mendarat di hutan paling pekat, masuk ke dalam puri indah selingkuhannya, yang terkekeh mengerikan layaknya seekor drakula.



"Kaukah di sana?" gaung tanya sebuah suara.

"Tidak! Aku ingin pulang saja," jawab Prakoso menggigil, tanpa daya. ***

Yogyakarta, 2004

Minggu, 16 Januari 2005

Sepintas Lalu

(Paul Sintli Joyodigimin 2)



Cerpen Aribowo



Sepintas lalu Paul Sintli Joyodigimin melihat perempuan itu di pojok cafe Tunjungan Plasa, di satu siang yang panas. Dari jauh Paul Sintli Joyodigimin melihat perempuan itu ketawa manja di pangkuan seorang laki-laki hitam besar. Dia dikelilingi 4 laki-laki bertubuh besar. Para laki-laki itu sebentar-sebentar ketawa sambil mencubit manja perempuan itu. Dari jarak jauh Paul Sintli melihat perempuan itu bagai boneka Barbie yang sedang ditimang-timang 5 laki-laki. Tubuhnya seolah dilemparkan dari satu tangan ke tangan besar lainnya disertai gelak tawa yang keras. Tubuh perempuan itu bagai kapas: dilempar-lemparkan, digoyang-goyang, dicubit-cubit, dan digendong-gendong. Dalam pandangan sepintas lalu itu Paul Sintli Joyodigimin merasa seperti menonton film. Tapi entah film apa. Entah sesuatu yang lain apa, sesuatu yang riang apa, sesuatu entah apa dan di mana.



Tidak dinyana keesokan harinya Paul Sintli Joyodigimin melihat kembali perempuan itu berjalan tergopoh-gopoh di dalam Surabaya Plasa. Di antara kerumunan pengunjung perempuan itu bergerak cepat bagai bayangan ketakutan. Tubuh sintal itu seolah berkelebat-kelebat menyalip setiap orang. Lalu di pojok ruang perempuan itu menyaut gagang telepon umum dan akhirnya dia berkata habis-habisan. Matanya yang besar bulat melotot seperti sedang dicukil ketika berkata-kata di depan gagang telepon. Tidak lama kemudian tampak air matanya muncrat-muncrat. Dalam pandangan sepintas lalu itu Paul Sintli Joyodigimin menyaksikan perempuan itu berbicara terus-menerus sambil menangis lebih dari dua jam. Suaranya menyalak-nyalak, badannya bergoyang-goyang, ludahnya muncrat-muncrat, dan tangannya berkali-kali memukul-mukul perutnya. Paul Sintli Joyodigimin tak bisa mendengar sepotong pun kata-kata perempuan itu, seperti ribuan orang yang ada dalam plasa, sehingga tak bisa dirasakan sedikit pun kata pedih perempuan itu kecuali air matanya yang terus-menerus muncrat. Terbersit sedikit oleh Paul Sintli untuk memberi kata-kata dari drama sepintas lalu perempuan itu dalam buku catatannya, tetapi mendadak dia batalkan: "ah, apa yang bisa diambil dari dunia sepintas lalu, kecuali serpihan kertas kosong jalanan?"



Dua jam perempuan itu terjerembab. Badannya lemas menggelepar di lantai. Badan sensual dan berambut panjang itu beberapa menit tersungkur di atas lantai tak bergerak sedikit pun. Bagai mayat. Setengah jam kemudian dia bangun kembali dan langsung disautnya gagang telepon. Dia bicara lagi, keras-keras, lalu kepalanya geleng-geleng, dan akhirnya nangis terguguk-guguk. Dibantingnya gagang telepon. Sebentar kemudian direnggutnya gagang telepon kembali: bicara lagi. Keras-keras. Kakinya mencak-mencak. Dengan agak kasar dia ambil botol kecil air aqua dari dalam tas kecilnya dan kemudian diminum cepat-cepat sambil mulutnya terus bicara di depan gagang telepon.



Setelah kesal bicara melalui telepon perempuan itu naik ke lantai 3. Dia masuk ke cafe. Di dalam cafe ternyata telah berkumpul 5 laki-laki bertubuh besar. Perempuan itu segera dipeluk-peluk oleh 5 laki-laki itu. Suara ketawa meledak di antara 5 laki-laki dan perempuan itu. Dari jauh, secara sepintas lalu, Paul Sintli Joyodigimin seolah-olah melihat perempuan itu bagai boneka Barbie dilempar-lempar dari satu tangan besar ke tangan besar lainnya. Dari satu pelukan ke pelukan lainnya. Sambil badan sensual perempuan itu dipijit-pijit. Tiba-tiba Paul Sintli Joyodigimin mengambil buku catatannya dan menulis pendek: "Apakah ini goa angs?" Tiba-tiba Paul Sintli Joyodigimin menyangkal sendiri. Menyangkal berkali-kali, berkali-kali. Tapi catatan pendeknya tak dihapus pula.



Seminggu kemudian Paul Sintli Joyodigimin secara tak sengaja melihat sepintas lalu perempuan itu bersama pejabat Pemerintah Kota Surabaya membuka acara amal untuk yatim piatu di Balai Kota Surabaya. Dia berbicara sangat serius dengan para pejabat Pemerintah Kota. Mereka saling hormat. Mereka saling bungkuk-membungkuk. Dari jauh Paul Sintli Joyodigimin sepintas lalu melihat perempuan itu memimpin acara dan lalu menyanyi dan menari dengan lemah lembut bersama-sama anak yatim piatu. Sebentar kemudian diikuti oleh para pejabat Pemerintah Kota menari-nari. Para wartawan memotret dari tiap sudut ketiak perempuan itu. Mereka ikut-ikutan menari dan menyanyi. Di antara pejabat Pemerintah Kota Surabaya ada ulama, pendeta, dan para pengusaha. Mereka saling doa, saling pidato, saling prihatin, saling bantu uang, saling menghibur para yatim piatu. Bahkan ada yang sampai saling menangis. Akhir acara amal itu adalah makan bersama antara pejabat Pemerintah Kota, ulama, pendeta, pengusaha, perempuan itu, dan anak yatim piatu.



Selesai menyaksikan acara amal yatim piatu di Balai Kota Surabaya Paul Sintli Joyodigimin segera membuka buku catatannya. Dia menulis agak panjang sedikit. Dia mulai dari kalimat "Dari goa angs...mengangkat batu ke atas bukit dan selanjutnya terhempas di ketiak waktu sepintas lalu". Kemudian dengan telaten Paul Sintli Joyodigimin memasukkan beberapa lembar kertas catatannya ke dalam surat. Dia kirim catatannya itu ke beberapa redaksi koran dan majalah. Keesokan harinya beberapa koran dan majalah memuat berita tentang catatan Paul Sintli Joyodigimin. Catatan tentang manusia tergopoh-gopoh. Bergerak-gerak, bergoyang-goyang, berkelebat-kelebat, dan tergopoh-gopoh. Manusia yang dipilin-pilin waktu sepintas lalu. Manusia entah dengan catatan entah apa. Tapi semua merasakan, ada di antara kita semua.



Paul Sintli Joyodigimin sendiri merasakan jarak yang jauh antara yang dirasakan dan ditulisnya dalam catatan hariannya dengan yang ditulis koran. Rasanya wajahnya dipilin-pilin oleh media massa. Bahkan dibongkar-bongkar lalu disusun kembali dari tata rak komputer media massa. Apalagi wajah perempuan itu dipilin jadi Barbie. Tapi semua itu dibiarkan oleh Paul Sintli Joyodigimin. Yang penting dia bisa leluasa menangkap dunia perempuan sepintas lalu yang pernah lalu dalam dirinya.



Tiba tiba tumbuh gairah untuk membungkus kelebatan perempuan yang sepintas lalu itu dalam pengalamananya. Dia coba susun dalam pengalamannya masa kecil, remaja, merantau, dan kesendiriannya. Dicari benang merah. Dicari akar mulai sebagai sosok sementara. Sayangnya sosok perempuan itu tiba-tiba tak pernah nampak kembali. Perempuan itu tak muncul lagi dari pandangan Paul Sintli Joyodigimin.



Selama berhari-hari Paul Sintli Joyodigimin mencari perempuan itu di mal-mal Surabaya. Mulai pagi sampai malam hari. Dari cafe ke bioskop dia cari cari. Bahkan dari toilet ke toilet mal dia masuki. Saking kesalnya, kadang-kadang dia membayangkan setiap perempuan di dalam mal adalah perempuan itu. Kemudian dia lihat dari jauh, seperti orang sedang memantau kampanye pemilu.



Tapi gagal. Perempuan sepintas lalu itu berbeda dengan semua perempuan yang ada di mal-mal. Perempuan sepintas lalu adalah perempuan sepintas lalu. Selalu dalam dunia sepintas lalu. Tidak ada perempuan mal yang berada dalam kelebatan dunia sepintas lalu, kecuali perempuan sepintas lalu itu.



Paul Sintli Joyodigimin mulai kesal. Frustrasi. Perempuan sepintas lalu itu tak secuil pun berbekas dalam mimpi-mimpinya. Mimpi Paul mulai berisi goa-goa yang kosong. Gurun-gurun kering. Dan kelengangan yang dingin. Baru kali ini Paul merasakan dirinya seperti terbang tatkala mengulum sebongkah bayangan hilang perempuan sepintas lalu. "Bagaimana catatan ini akan kuselesaikan, kalau dia berakhir dalam sepintas lalu?" keluh Paul sambil mengucak-ucak matanya di atas tempat tidur.



Akhirnya Paul Sintli Joyodigimin memutuskan untuk mengontak para pejabat kota yang pernah bikin acara yatim piatu beberapa hari lalu. Semua pejabat kota yang dihubungi merasa tidak pernah kenal perempuan sepintas lalu. Semua pejabat kota Surabaya seperti membayangkan cahaya asing setiap diminta mengingat perempuan sepintas lalu. Lubang kemungkinan apa pun dia tempuh untuk menemukan kembali perempuan sepintas lalu. Berhari-hari, berminggu minggu, dan berbulan-bulan. Sia-sia: perempuan sepintas lalu seolah telah menguap dan lenyap.



Saking kesalnya Paul Sintli Joyodigimin mulai tidak tidur di rumah lagi. Dia berjalan dari satu gang ke gang lain: hanya mengejar bayangan perempuan sepintas lalu yang lenyap. Dia panggili perempuan sepintas lalu dengan kalimat, "Sisipus...Sisipus...di mana kamu?" di setiap kegelapan malam. "Bukankah pada setiap kesementaraan kita bisa menamai apa pun?" tulis Paul dalam catatannya. Malam larut dicabik-cabik oleh suara Paul yang mulai kering. Dan tetap saja dia dimakan kesenyapan.



Paul Sintli Joyodigimin mulai menulis lagi di koran-koran. Setiap hari koran-koran Surabaya diberondongi Paul Sintli Joyodigimin tentang manusia perempuan sementara dan sepintas lalu. Anehnya semua koran meneruskan tulisan Paul Sintli Joyodigimin dengan kalimat: dunia sementara dan sepintas lalu. Macam bayangan yang berkelebat-kelebat dan akhirnya lenyap. Semua di matanya sedang dalam kelenyapan, ketiadaan, minimal sepintas lalu. Sementara. Sejenak. Sejenak ada perempuan sepintas lalu, sejenak ada mimpinya tentang tubuhnya yang ingin berubah, tapi tinggal mimpi belaka. Dan sejenak tidak ada siapa siapa, kecuali catatannya yang tak pernah utuh.



Saking jengkelnya Paul Sintli Joyodigimin mengambil pistolnya. Dia kejar bayangan lenyap perempuan itu. Di tiap jam, detik, dan hari perempuan itu dikejar-kejar pistol Paul Sintli Joyodigimin. Saat ini tak banyak yang diinginkan: hanya tampak sebentar, sebentar saja, dan kemudian disempurnakan dengan tembakan: dor! Seolah-olah setelah menembak wajah kelebat perempuan itu akan berakhir semuanya dalam keutuhan. Seolah-olah semua akhir telah dekat. Seolah-olah pistol bisa menyelesaikan dan mendekatkan ketidakjelasan menjadi kekonkretan wajah perempuan itu?



Berkali-kali pelatuk pistol ditarik: dor, dor, dor, dor! Di setiap ruang rumahnya telah ditembaki, seolah-olah menembak bayang-bayang perempuan itu. Seolah-olah darah telah mengucur dan muncrat-muncrat. Seolah-olah Paul Sintli Joyodigimin menembak sesuatu yang ada, padahal tidak ada. Setelah pelornya habis Paul Sintli Joyodigimin mulai menyadari: perempuan sepintas lalu itu tak pernah mau pergi dari bayang-bayang dirinya. Dan hanya satu cara untuk menghilangkannya: mengakhiri dirinya sendiri. Sebab yang sepintas lalu telah nyata dalam dirinya: gelisah. ***

Surabaya, 10 Agustus 2004

Sabtu, 08 Januari 2005

Senja

Cerpen Yanusa Nugroho



Sering dibayangkannya bahwa awan-awan yang putih di bentangan langit biru itu adalah pulau-pulau kapas. Kadang, awan itu membentuk bentangan air terjun yang membeku, atau gunung karang putih yang mengambang di lautan biru.



Sehari penuh dia amati setiap perubahan yang ada di langit sana. Dan ketika awan-awan itu kian memerah dan akhirnya hilang oleh gelap malam, dia pun berjalan pulang ke rumahnya. Di sapanya rumput, batu, tanah dan perdu. Disenyuminya angin yang dengan nakal menyusup-nyusup di sela rambutnya.



Sesampainya di rumah, dia disambut keheningan yang berjingkrak-jingkrak bagai kanak-kanak menyambut ibu pulang dari pasar. Gelap, beranda rumahnya, berisi kursi plastik yang jebol di sana-sini, serta selapis debu siang hari.



Disapanya mawar merah dalam pot di beranda itu dengan siraman air. Kemudian dinyalakannya saklar dan beranda menunjukkan wajahnya yang samar-samar. Beberapa serangga mengitari bola lampu, seperti bergembira menyaksikan kehidupan ada di rumah itu.



Apa yang bisa dilakukannya setelah semua pintu kantor tertutup baginya? Tak ada lagi sisa pekerjaan. Kantor tak membutuhkan seorang laki-laki kurus, apatis, dan lamban seperti dia. Kantor tak membutuhkan otak yang selalu menolak dan menilai sebuah tugas. Tidak. Pintu-pintu kantor terbuka bagi mereka yang muda, gesit, dan tak banyak tanya; kecuali jumlah billing yang akan diterima kantor. Mereka bicara hanya soal insentif.



Laki-laki itu mendesah. Sejak semuanya tersapu badai krisis 98, istrinya pun minggat bersama --entah siapa. Meninggalkan semua, bahkan juga kenangan.



Laki-laki itu duduk, setelah tentu saja mandi, memasak mi instan dan memakannya di beranda. Sebatang kretek menyala dan terselip di sela jarinya yang kurus. Entah mengapa, dia ingin sekali menengok kotak pos di pagar. Dengan lesu, dia berjalan dan membuka kotak pos itu. Tak di sangkanya di sana ada sepucuk surat.



Dengan harap-harap cemas dia segera mengambil surat itu, membukanya buru-buru, dan mencari tempat di bawah lampu untuk membacanya.

Surat itu berasal dari seseorang yang tak dikenalnya. Si pengirim menyebutkan bahwa dia mendapatkan alamat serta nama si laki-laki itu dari seseorang yang "...kenal betul dengan bakat anda..", begitu yang tertulis di situ.



Dia tertegun. "Bakat?" gumamnya. Lalu dilanjutkannya membaca. Intinya, setelah panjang lebar menguraikan berbagai hal, si pengirim meminta laki-laki itu untuk bertandang ke rumahnya di kompleks perumahan mewah di kota itu.



Aneh. Mengapa dia tak langsung saja datang. Mengapa harus berkirim surat, jika tinggal di kota yang sama? Di situ, di bawah tanda tangan si pengirim, disertakan sebuah nomor telepon.



Usai membaca, laki-laki itu duduk lagi di kursi plastik jebolnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di benaknya --entah apa, dia sendiri tak begitu paham. Dengan cepat dihisapnya rokok kretek itu. Asap mengepul-ngepul, sebelum lenyap ditiup angin.



Bergegas pula dia ke telepon, dan sambil melihat nomor yang ada di surat itu dia pun menekan-nekan angka yang dimaksud. Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, "Haloo..." dan terjadilah pembicaraan yang agak tersendat-sendat.



Laki-laki itu banyak terdiam, mendengarkan. Jika pun harus menjawab, bibirnya hanya menyuarakan "oke" atau "baik", dan paling banyak "ya". Pembicaraan itu akhirnya selesai, setelah si laki-laki menjawab, "sama-sama."



Kembali dia duduk di beranda, sambil mencoba menyatukan berbagai kilasan bayangan di pembicaraan telepon tadi. Dinyalakannya sebatang rokok lagi. Lalu, sesaat setelah hisapan ketiga baru saja dilakukan, dia seakan mendapat jawaban akan apa yang seharusnya dilakukan.

***

Hari itu adalah hari ketiga dia "bekerja" di rumah si pengirim surat. Dan bahkan sampai hari ketiga itu pun, dia tak tahu siapa si pengirim surat. Dia hanya berhubungan dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai "pembantu" si tuan rumah. Dan si "pembantu" itu pun enggan menyebutkan namanya. Laki-laki kurus itu tak keberatan. Apalah artinya dia mengetahui nama seseorang, jika hal itu tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Bukankah dunia tempat dia hidup sudah memberinya semacam ekosistem seperti itu?



Seperti dua hari sebelumnya, dia duduk dan menunggu reaksi orang yang ditungguinya. Yang ditungguinya itu adalah seorang gadis muda, jelita, namun gila. Begitulah si "pembantu" bos besar itu mengatakannya dua hari yang lalu.



"Lalu, apa hubungannya dengan saya? Kalau dia gila, bawa saja ke rumah sakit gila..."

"Sudah. Dokter mengatakan bahwa dia tidak apa-apa."



"Kok, aneh? Kok, situ bisa mengatakan bahwa dia gila?"

"Ayahnya sendiri yang mengatakan begitu. Saya cuma meneruskan ucapannya kepada Anda."



"Terus, apa saya ini dianggap dukun?"

"Saya tidak tahu, Anda dukun atau bukan. Yang penting, Sampean diminta untuk mengupayakan agar dia sembuh. Begitu kata bos."



Laki-laki itu sebetulnya tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap gadis cantik yang katanya gila itu. Dia hanya duduk dan menatapnya.

Ditatapnya sepasang bola mata yang bening namun kosong itu. Tak ada siapa-siapa di dalam bola mata itu. Gadis itu sendiri seperti telah pergi, atau mengembara ke negeri jauh, entah apa namanya.



Ini sudah hari yang ketiga. Dan laki-laki itu sendiri sudah putus asa menghadapi sesuatu yang tak jelas ini. Dia ingin mengatakan kepada si "pembantu" bos bahwa dia menyerah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya batal mengatakan maksudnya.



Secara iseng, laki-laki itu kemudian mengambil sebuah patung kuda perunggu, yang memang bagus. Diperkirakannya, itu buatan Italia. Detil pada surai, bahkan pada bungkah otot-ototnya membuat kuda perunggu itu tampak bernyawa.



"Haha... apa kabar tuan putriku? Apakah hari ini tuan putri siap berjalan-jalan?" ucapnya sambil memainkan kuda yang hanya segenggaman tangan itu. Kuda itu digerak-gerakkannya di depan wajah si gadis.



Si "pembantu" hanya mendesah. Di benaknya hanya ada satu ungkapan "gila ternyata menular".

"Kita akan membelah awan. Tahukah tuanku bahwa awan sesungguhnya adalah sebuah daratan di langit. Dia tergantung, dan tidak terdiri dari tanah dan batu. Seluruh pohon, bahkan air yang ada di sana, adalah kabut putih yang indah. Dan manakala matahari bersinar, pohon-pohon di negeri awan itu akan tembus, laksana kristal."



"Bawa aku."

"Ten...tu, tentu." Tiba-tiba si laki-laki tercekat mendengar ucapan itu. Dia seperti tak menyangka bahwa itu diucapkan si gadis.



Si "pembantu" bos pun agaknya juga terheran-heran. Bagaimana mungkin, setelah bertahun-tahun, gadis itu "pergi" dari tubuhnya, mendadak kembali hanya karena bualan si laki-laki. Dia segera menelepon bosnya melalui hp.



Sementara itu, laki-laki kurus itu seperti melihat ada cahaya kehidupan di bola mata bening itu. Dia berhati-hati mengutarakan keindahan yang dikhayalkannya. Dan untuk beberapa kali, dia sempat menyaksikan senyum kecil tersungging di sudut bibir gadis cantik itu.



"Kau harus membawaku ke sana."

"Baik. Apakah tuan putri ingin naik ke punggungku?"



"Apakah kau bisa terbang?"

"Bisa. Lihat?" Laki-laki itu mengangkat kuda perunggu itu tinggi-tinggi melampaui kepalanya sendiri.



Si gadis tertawa kecil, matanya mengikuti ke mana pun gerak tangan si laki-laki terarah. Dan ketika si laki-laki pura-pura menjatuhkan kuda perunggu itu, si gadis terpekik dan tertawa senang.



Gunung es itu telah cair dan laki-laki itu seakan menemukan beranda rumahnya terang benderang. Mawar yang ada di pot kecil di beranda itu seakan berkembang dan mengharum.

***

Seminggu kemudian, gadis itu mau berdandan dan mengajak laki-laki itu berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas. Dia dengan manjanya merangkul lengan laki-laki itu. Dan tentu saja, laki-laki itu menjadi muda kembali --meskipun usianya belumlah setua wajahnya.



"Mas pernah menikah, ya?"

"Ya...dengan seekor kupu-kupu," candanya.

Gadis itu tergelak, "Cantik, tentunya..."



"Ya. Secantik kupu-kupu. Serapuh kupu-kupu..."

"Ke mana dia sekarang?"



"Terbang. Bukankah kupu-kupu selalu ingin dikejar?"

Kembali gelak tawa si gadis terdengar. "Kok, Mas tidak mengejarnya?"



"Capek."

"Capek? Kalau begitu selama menikah Mas mengejar dia terus-menerus?"



"Ya."

"Mas tidak suka mengejar perempuan, ya?"



"Ya. Capek."

"Mas tidak mencari pacar?"



"Tidak. Capek."

"Capek terus, sih?"



"Ya. Hidupku sudah amat melelahkan. Kamu sendiri ke mana saja selama ini?"



"Jalan-jalan."

"Ke mana?"



"Ke mana saja, asal tidak di rumah."

"Mengapa?"



"Capek?," jawabnya singkat menirukan gaya bicara si laki-laki. Keduanya kemudian tertawa bahagia. Sebuah dunia yang aneh, yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.



"Kata ayahmu, kamu mau dikawinkan. Dan sejak percakapan itu, kamu ?"menghilang". Mengapa, nggak suka sama calon suamimu?"



"Tahu dari mana?"

"Tuh, dia yang mengatakan padaku?," jawab si laki-laki sambil menunjuk pada si "pembantu".



"Herder macam dia dipercaya."

"Herder? Terlalu bagus; buldog," tambah si laki-laki sambil tertawa. Si gadis pun tertawa.



Setelah itu hening. Setelah hening, "Aku capek Mas. Semuanya ditentukan dan sudah ada jalurnya. Aku nggak bisa mengatakan "tidak", ya, akhirnya aku pilih diam saja."



"Mas, mau nggak, ngajak aku ke rumahmu?"

Laki-laki itu terdiam. Dia bukan saja ingin mengajak gadis cantik itu ke rumahnya, tetapi bahkan ke atas ranjangnya. Dia ingin memeluk dan menumpahkan kegersangan jiwanya selama ini ke tubuh si gadis itu.



"Ada syaratnya...," akhirnya si laki-laki berkata.

"Apa?"



"Kau harus mau jadi istriku."

"Mengapa?"



"Ya?pokoknya harus," jawab laki-laki itu sekenanya.

"Kalau?pacar?"



"Wah..."

"Kalau pacar, gimana?"



"Ya?mmm... gimana, ya?"

"Kita pacaran dulu."



"Ah, kamu kayak kupu-kupu."

"Tidak. Kupu-kupu hanya memberi isyarat agar dikejar. Aku tidak ingin kejar-kejaran. Aku hanya ingin kenal lebih lama."



"Begini, Dinda," baru kali itu laki-laki itu mengucapkan nama si gadis, "tugasku untuk "menyembuhkan" kamu sudah selesai. Kamu, kan... sekarang sudah bisa bicara dan tertawa."



"Jadi Mas pergi? Lalu mengunciku dalam ruang kenangan?"

"Tidak. Bukan maksudku begitu."



"Kalau Mas pergi, aku akan "pergi" lagi."

"Jangan, dong..."



"Kenapa?"

Laki-laki itu diam, dalam hati dia juga bertanya, apa sebetulnya yang tengah terjadi dalam hidupnya ini.



"Mas nggak merasa bahagia bersama aku?"

"Bahagia, karena melihat kamu bisa ceria lagi. Kembali lagi seperti dulu kala."



"Sok tahu. Aku nggak mau seperti dulu. Aku mau seperti besok, seperti yang akan datang..."



"Jangan aneh-aneh."

"Aku nggak aneh-aneh. Aku cuma kepingin bisa bicara apa saja yang aku suka. Aku hanya ingin tertawa, kapan saja aku mau. Dan itu semua hanya bisa kulakukan dengan Mas. Kalau Mas nggak ada, lantas...?"



"Bapak-ibumu nggak bisu, kan?"

"Siapa, tuh?"



"Siapa, yang siapa?"

"Bapak-ibu."



"Hus. Sama orang tua, kok, begitu."

"Siapa yang orang tua?"



"Ah, anak sekarang. Dosa besar kamu mengingkari orang tua sendiri."

"Siapa yang Mas sebut orang tua?"



"Ya...orang yang mbayar aku, yang kasih honor aku puluhan juta rupiah ini. Siapa lagi?"

"Ooo?orang tua itu?"



"Hei?jangan ngawur, lho."

"Tidak, aku tidak ngawur. Orang tua itu, kan?"



Laki-laki itu menatap Dinda dengan pandangan menyelidik. Sepasang mata Dinda seperti sengaja menyambut tatapannya. Seakan mempersilakannya masuk dan membongkar setiap relung dan liku yang ada di dalamnya.

***

Laki-laki itu, yang biasanya hanya diam menatapi awan-awan berserakan di langit, yang merasa hidupnya kosong melompong, tiba-tiba kalang kabut. Betapa tidak, Dinda yang selama ini diketahuinya adalah anak seorang kaya, yang sakit jiwa dan karenanya si bapak mencarikannya dukun, dan secara kebetulan memilih laki-laki itu, ternyata hanyalah bapak angkat Dinda. Dan si bapak angkat ternyata menginginkan Dinda seutuhnya. Dia menyayangi Dinda dan memaksakan diri masuk ke dalam ruang-ruang kesucian anak angkatnya itu. Tak mengherankan jika Dinda membeku.



Laki-laki itu mendidih mendengar semuanya, dan karenanya, entah dengan pertimbangan apa, dia segera mengajak Dinda terbang mengendarai kuda terbang.



Dia mendadak merasa menjadi Pronocitro yang mengajak terbang Roro Mendut dari kungkungan Adipati Wiroguno.

Tetapi, laki-laki itu tiba-tiba merasa capek. Dia tak ingin mengejar dan dikejar. Dia hanya ingin duduk tenang di beranda rumahnya yang sepi dan berdebu. Dia hanya ingin setiap kali menyirami mawarnya, ada kesegaran yang menyiram jiwanya.



Seperti senja itu. Laki-laki itu kembali duduk di beranda rumahnya, dan merokok. Dia dengan segera melipat halaman-halaman indah buku kehidupannya --walau hanya beberapa lembar-- bersama Dinda.



Di keheningan senja, di beranda rumahnya, dia hanya bisa membayangkan Dinda berada di sampingnya, meskipun saat itu, mungkin berada dalam pelukan orang lain. Laki-laki itu benar-benar merasa lelah, bahkan sekadar untuk mengakui bahwa dirinya seorang laki-laki.

Pinang, 982.

Minggu, 02 Januari 2005

Gelombang Besar di Kota Itu

Cerpen Isbedy Stiawan ZS



MUNGKIN akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi lambungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu memulai kisah malam ini.



Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang mengatakan itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak orang mengaguminya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada penonton yang menangis histeris) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi juru cerita tetap dijaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15 cucu. Kini usia ibu sudah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang berkisah.



Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika Khidir membawa "murid"-nya menimba ilmu dari kehidupan ini. Berkali-kali "sang guru" mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal dan tak masuk akal bagi si murid. Tetapi, setiap kali sang murid hendak bertanya (mungkin menggugat), setiap kali itu pula Khidir menyatakan: "Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan, kelak kau akan memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilakoni dengan bijaksana!"



Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada orang dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit dicermati oleh kanak-kanak. "Setelah lambung perahu itu dilubangi, guru dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah. Sungguh menyiksa!"



Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita soal gelombang besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk mendengar kisahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah gelombang amat besar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu seperti dimuntahkan oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan bangunan, pohon, kapal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti kiamat.



Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penerang rusak. Mereka sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total. Di mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon tumbang menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan kapal besar pun terdampar di jantung kota.



Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu? Mati. Mereka dihempas gelombang besar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada di tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan gelombang mahadahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru.

***

KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal, sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga, tapi diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memprihatinkan. Lapar ditumpukan alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur minyak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur.



Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak. Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakutan. Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kunang. Langit pekat setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk sebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat. Penerang hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika para orang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip, takut diberondong para serdadu.



"Tidak boleh ada keriangan di kota itu," kisah ibu, mungkin inilah cerita terakhir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan kami dan cucu-cucunya. "Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara dentuman..."



Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para orang tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu. Apabila ketahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang tua diseret untuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan, pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah yang berkuasa.



Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka para orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran dibebani tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut mendapat sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke hutan. Setiap anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya tertutup hingga yang tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan menjadi makin mencekam.



Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat. Bergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili perawan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan. Anak-anak jadah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan ada yang sampai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah.

Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari seberang. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol menguar di mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga.



Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa kota dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan akan menjadi kenyataan. Sampai kapan? Tak satu pun warga yang berani menagih kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia...



Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah --tapi cuma beberapa shaf atau kursi. Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan berpaling? Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu? Adakah janji Tuhan bahwa Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha mengubahnya sendiri, adalah keniscayaan? Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku sebaliknya. Hanya saja, sampai kini tetap tak terpahami.



Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi orang-orang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab Tuhan milik orang-orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan perempuan-perempuan cantik nan menantang syahwat.



Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan perjudian. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang hendak menegakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling mempengaruhi. Dan, selalu saja, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu berkisah yang masih terngiang di telingaku.



Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal Rasulullah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga beliau pernah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah) daripada memakmurkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong. Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek. Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan.



Kota, demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi bersorban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang amat minim. Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering telepon, tapi apa artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana?



Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang meninggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan asap rokok.



Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang tua. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi melihat orang yang tengah membikin perahu di tengah kota?



Barangkali, kalau saja Khidir tak melubangi lambung perahu itu, tentulah banyak orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama meninggalkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat bergelimpangan di setiap sudut kota, bahkan sampai membusuk. Pertolongan sulit memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau bisa membayangkan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama, dan tak bertanda? Ibu mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.



Pertanyaan itu hingga kini dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku benar-benar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang telah musnah itu? Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh gelombang mahadahsyat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang sesungguhnya amat kita cintai dan kagumi, karena di sana dulu lahir banyak orang suci dan pahlawan...***



(kenangan pilu bagi Aceh, juga Diana Roswita yang menjadi korban dalam musibah itu --dan Azhari yang tentu kini merasa luka: maskirbi, din saja, dan lain-lain)

Lampung, 31 Desember 2004