Minggu, 26 Desember 2004

Batu Menjadi

Cerpen Taufik Ikram Jamil



DAERAH kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian?



Entahlah. Tapi apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat bebatuan bergulung-gulung, bergerak cepat menerjang segala yang melintang, membujur lalu setiap halangan. Gulungan batu yang terus membesar dan membesar.



Apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat batu-batu melambung dari perut bumi. Batu-batu sebesar kelapa, tak kecil tentunya, tiba-tiba berlompatan ke angkasa, membuat garis tegak lurus, kemudian seperti membanting diri dalam gulungan batu-batu. Seterusnya, seterusnya, batu-batu tersebut membaur sebagai gulungan batu-batu yang terus membesar dan membesar.



Kalian lihatlah, bagaimana batu-batu yang sebesar kelapa, batu-batu yang melambung dari perut bumi tersebut, karena begitu banyaknya, seolah-olah membentuk diri menjadi semacam tirai raksasa. Tirai raksasa yang hidup, dengan bagian-bagian yang bergerak ke atas maupun ke bawah secara tegas. Disebabkan gerakan batu-batu itu cukup cepat, pergantiannya pun aduh mak begitu deras, sudah tentu ketinggian tirai tersebut susah dipastikan. Lebarnya tak mudah diukur, cukup sulit pula untuk dikira-kira.



Sementara di belakang tirai batu yang seperti hidup itu, tak begitu jauh di belakang, kalian akan melihat gulungan batu yang juga bergerak. Batu-batu itu bergolek cepat, sehingga membentuk diri sebagai gulungan raksasa yang berguling-guling seperti mengibaskan semua kemarahannya. Oleh karena batu-batu yang melambung, yang membentuk diri sebagai tirai raksasa, pada gilirannya jatuh atau bergabung pada gulungan raksasa itu, tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana gulungan raksasa tersebut makin membesar bahkan kadang-kadang memanjat ketinggian tirai raksasa.



Berdirilah pada ketinggian, tak perlu terlalu tinggi memang. Apakah yang dapat kalian rasakan, pada bagian belakang dari batu-batu bergulung yang menjadi latar tirai batu tersebut, seperti membentang sebuah hamparan nan sayup. Kalian pasti akan menjulurkan kepala agar lebih berada di depan dari bagian-bagian tubuh kalian yang lain, seolah-olah dengan cara seperti itu, mata kalian akan dapat melihat lebih jelas --lebih terang. Mungkin ya, setidak-tidaknya kalian ingin meyakinkan penglihatan kalian. Mungkin tidak sekali, tidak dua atau tiga kali, malahan empat sampai delapan kali, kalian akan berbuat demikian. Apakah kalian akan menjadi lebih yakin atau tidak adalah sesuatu yang lain.

***

MUNGKIN diperlukan teropong, mungkin. Tentu pandangan yang terlihat akan lebih rinci. Akan kalian lihat, bagaimana hamparan batu tersebut tidaklah mulus. Tidak rata seperti hamparan biasa, sebaliknya berlubang-lubang dan bergelombang pula. Lubang-lubang dan gelombang-gelombang yang tak simetris, seperti sesukanya saja. Di pinggiran lubang tampak buhul-buhul, tampak seperti membengkak laksana pekong, laksana tokak, ya seperti kudis besar di badan manusia. Kalian kan menyadari gambaran itu, manakala di pinggiran lubang-lubang tersebut, juga di berbagai puncak gelombang batu, terdapat percikan berwarna merah dan putih. Selintas, selintas saja, kalian akan melihat perpaduan warna itu seperti mewujudkan dirinya sebagai darah dan nanah.



Tak mungkin pula mata kalian tidak berpaut pada warna gelombang, tirai, dan hamparan batu itu. Didominasi hitam, tidak begitu hitam memang, entah apa perasaan kalian melihat hal-hal itu semua. Ada pula kecoklatan yang membuat berbagai garis di dalam semua bentuk batu, sehingga pastilah mengisyaratkan sesuatu yang berat. Terkadang, warna kuning air terdapat pada beberapa bidang di hamparan batu yang tidak begitu sulit ditangkap oleh mata. Pada tirai batu dan gelombang batu, warna itu mungkin tidak setegas maupun sejelas demikian, cuma warnanya masih menyisakan perhatian pada gerak. Potongan-potongan warna kuning air mempertegas ada gerakan pada tirai maupun gelombang batu-batu tersebut.



Langit terlihat membiru seperti semua isinya secara serentak ingin menyaksikan apa-apa yang terjadi di bumi tanpa halangan sedikit pun. Sosok langit seperti ini terlihat bertaup dengan hamparan batu, membuat garis lengkung di ujung mata. Perpaduan warna biru dan kehitaman yang memuakkan, betul-betul memuakkan. Masuk akal kalau kalian merasa telah berada di mulut seekor binatang buas yang amat besar dan tinggal sekali glek, ajal pun sampai.



Kalian tentu tak mau membayangkannya lebih jauh. Tapi mata kalian masih berada pada langit yang terlihat telanjang bulat --bagai tanpa pakaian, sehingga kadang-kadang bisa saja orang tidak mengenalnya-- sekurang-kurangnya merasa aneh untuk beberapa saat. Dalam pemandangan seperti itu, mungkin kalian sadar, betapa pentingnya awan yang menunjukkan keberadaan langit. Biru semata, sehingga keindahan langit menepi, tak jarang terasa begitu kaku bahkan mencekam.



Memang, sekali dua, ada beberapa kelompok awan bergelayutan. Tetapi warnanya agak kehitaman. Tentu saja warna tersebut berpadu dengan warna tirai, gelombang, dan hamparan batu di bawahnya. Perpaduan yang dibatasi oleh suatu jarak. Cuma jangan lupa dulu, awan hitam itu pun kemudian begitu cepat sirnanya. Seperti ada yang mengheretnya setiap kali muncul; mungkin anginlah itu, tetapi yang pasti, gerakannya tampak horizontal dalam satu arah yang senantiasa bervariasi --artinya pada kesempatan tertentu menuju selatan, tetapi pada kesempatan lain ke utara. Barat dan timur, juga menjadi tujuan angin.



Ya, seperti diheret dan awan mengikutinya dengan terpaksa. Maka tak heranlah kalau bentuk awan yang semula hampir bulat -mengumpul--kemudian menjadi memanjang. Perubahan bentuk yang diikuti oleh suatu tarikan gerakan yang horizontal. Tampaklah gerakan awan itu susul-menyusul, kemudian hilang dari pandangan. Meskipun demikian, kesan yang dibuat oleh gerakan awan tersebut tentulah cukup khas. Pasalnya, bagaimana pula orang dapat melupakan gerakan pada tirai batu yang vertikal tadi, seperti melambung dari perut bumi. Apalagi mengingat gerakan pada gelombang batu yang sejajar dengan gerakan awan walau lebih cepat, kesan persilangan warna dan gerak, tentu menjadi lebih kuat.

***

APAKAH yang dapat dirasakan ketika dalam pemandangan semacam itu, hidung kalian menangkap bau yang lain, teramat lain. Mungkin bau benda yang terbakar, mungkin amis, mungkin anyir, antara busuk dan tidak. Harum? Bisa jadi ya, harum. Tapi pasti tak terus-menerus bau semacam itu menyumbat hidung. Ada kalanya bau amis saja, anyir saja, bahkan harum saja. Sekali waktu, semua bau menerpa hidung, tetapi di lain waktu, tak ada sebarang bau tercium pun. Mungkin bukan tak ada bau, lebih tepat dikatakan ada kalanya, hidung hanya menangkap bau normal dan begitu biasa kalian hirup sepanjang hari.



Angin selalu berganti arah pula, tak luput dari tugas menebar bau. Ketika udara bergerak tersebut menuju tempat kalian berdiri, sudah barang tentu bebauan begitu menusuk. Apa pun bau seperti menjelma sebagai benda yang panjang dan membentuk dirinya sesuai dengan bentuk wadah atau lembaga atau sosok yang disentuhnya. Maka jadilah setidak-tidaknya bau tersebut seperti lubang hidung, sehingga dirasakan kehadirannya secara fisik.



Merasakan kehadirannya secara fisik, mungkin kalian akan coba merabanya, memegangnya, dengan berbagai maksud. Ketika bau yang tak sedap memenuhi rongga hidung, kalian tentu bermaksud membuangnya jauh-jauh. Membantingnya di atas tanah, mengenyahnya ke mana saja asalkan bau itu hilang. Tetapi tidak, tidak. Meskipun kehadirannya dapat dirasakan secara fisik, bau tersebut tak dapat diraba, tak dapat dipegang. Sehingga harap maklum, kalau kalian tidak dapat menyingkirkannya, tidak mungkin meniadakannya. Cuma saja kalian terus berusaha untuk itu, sekurang-kurangnya menggisalkan hidung yang tak banyak membantu upaya tersebut.



Fuit... fuit...fuit...

Itu mungkin suara hidung kalian. Suara yang berkali-kali terdengar. Suara yang mungkin menambah keragaman suara di tempat itu, di tempat kalian berdiri. Memang, mana mungkin pula kalian menghindar dari suara-suara yang begitu saja --tanpa perlu bertanya-- kalian sebut sebagai suara yang diakibatkan oleh gulungan dan tirai batu.



Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Buar...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Pus... dar…

Keletas...tas...keletak...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Buar...

Pus...dar...

Siung...

Sing...

Buar...buar...buar...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Keletas...tas...keletak...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Buar...

Pus...dar...

Siung...

Sing...

Buar...buar...buar...

Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr...

Dam...

Dam...

Dam...dam...dam...

Dam...

Dam...

...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Buar...

Bum, bar, keletak, keletuk...

Pus...dar...

Keletas...tas...keletak...

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...

Siung...

hSing...

Buar...buar...buar...

Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr...

Dam...

Dam...

Dam...dam...dam...

Dam...

Dam...

...

***

YA, daerah kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian?



Sayang, kalian tidak bisa memerhatikan, mencium, dan mendengar, segala sesuatu yang terjadi di depan mata berlama-lama. Meski tidak perlu bergegas benar, tak perlu sigap benar, pastilah sekurang-kurangnya kalian begitu bimbang terhadap gulungan dan tirai batu yang akan sampai pada tempat kalian berdiri. Melapah kalian, menggulung kalian, membolak-balik kalian, mengayak-ayak kalian. Sampai semua tulang kalian hancur lumat, daging menjadi bubur cair --hampir menjadi kanji. Sampai tulang tidak bernama tulang, sampai daging tak bernama daging.



Mungkin tubuh kalian dilambung begitu tinggi, kemudian terhempas kembali ke bumi. Begitu kuatnya lambungan itu, begitu kerasnya hempasan itu, badan kalian pastilah akan terkelosop, ya seperti penanaman cerocok, jauh aduhmak jauhnya ke dalam tanah. Tak sekali, dua, tiga atau empat, entah berapa --pokoknya berkali-kali.



Kalian tak mungkin lagi dikenal, bahkan tak pasti lagi warna badan kalian yang menjadi bubur itu. Mungkin hitam, kecoklatan, kuning air, atau gabungan dari semua warna itu. Mungkin, bercak-bercak merah dan kuning air yang terlihat dari kejauhan adalah darah kalian. Hitam dan kecoklatan bisa saja bagian dari tubuh kalian yang sudah bercampur material-material lain, tak saja batu, tetapi juga tumbuh-tumbuhan, dan entah apa lagi. Lalu, dalam keadaan ini, berbagai bau tak dapat diuraikan lagi; entah busuk, entah amis, entah anyir, mungkin juga harum.



Tak mungkin kalian dapat mendengar suara itu lagi: Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...Buar...Bum, bar, keletak, keletuk... Pus... dar... Keletas...tas...keletak... Keletak, keletuk, tuk, tuk, tak, keletak...Bum, bar, keletak, keletuk...Buar... Pus... dar... Siung... Sing... Buar... buar... buar... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Keletas... tas...keletak... Bum, bar, keletak, keletuk... Buar... Pus...dar... Siung...Sing... Buar... buar.... buar... Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr... Dam... Dam... Dam... dam... dam... Dam... Dam... ... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Buar... Bum, bar, keletak, keletuk... Pus... dar... Keletas... tas... keletak... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Siung... hSing... Buar... buar... buar... Grrrrrrrrrrrrr rrrrrrrrrrrrrrrr... Dam... Dam... Dam... dam... dam... Dam... Dam... ...Mana mungkin lagi kalian mendengar suara semacam itu karena suara tersebut mungkin saja berasal dari badan kalian yang berguling-guling dan terlambung-lambung.



Mana mungkin pula kalian tahu secara persis bagaimana gaya gerakan badan kalian yang bergulung-gulung atau melambung-lambung, juga mengenai warna, bau, dan bunyi, akibat itu semua. Apalagi benda-benda yang ikut bergulung-gulung dan melambung-lambung tersebut dapat dipastikan bukan saja bersumber dari badan kalian, tetapi sesungguhnya begitu banyak benda-benda lain. Hutan dengan berbagai isinya, sungai dengan berbagai isinya, bahkan alam dengan berbagai ragamnya, pun dilanggar bebatuan. Rumah, sekolah, jalan, kebun, kantor-kantor, tak luput dari terjangan batu-batu. Aduhai, sejumlah orang juga menjadi korban batu-batu.

***

ADUHAI, apakah yang dapat kalian rasakan ketika mendengar cerita tentang sejumlah orang digulung-gulung dan dilambung-lambung bebatuan? Kalian tak percaya?



Mungkin kalian akan mengatakan, bukankah masih ada upaya untuk menghindar dari serbuan batu-batu tersebut. Suara gerakannya terdengar keras, bahkan dari jarak satu kilometer --di tempat kalian berdiri sekarang. Baunya tercium amat menyengat, apalagi dibawa angin. Pun waktu yang terbentang sejak kejadian batu-batu itu diketahui orang, tidak pula pendek. Semuanya dapat dijadikan tanda akan adanya ancaman.



Masih banyak alasan yang memungkinkan bagaimana ancaman tersebut dapat dihindari. Gulungan batu itu cepat memang, lambungan batu itu tinggi dan cepat sudahlah pasti. Tapi satu hal yang pasti juga, daya tempuh batu tersebut tidak laju, cukup lambat. Maka kawasan yang dilanda batu juga tidak segera meluas. Paling dalam satu atau dua jam, lahan yang dilanggar batu tidak sampai bertambah lebih dari lima meter. Gerakan dalam gulungan dan tirai batu itu seperti lebih dahulu memamerkan kekuatan dan kebuasan, baru kemudian melakukan tindakan dengan cara menutup lahan dengan dirinya sendiri.



Jadi, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Tidak seperti terjangan air bah atau tanah longsor. Tidak seperti sambaran angin puting beliung di tengah lautan. Tidak, sekali lagi tidak. Masih tersisa begitu banyak waktu untuk menghindar. Dengan ketersediaan waktu itulah, kesigapan dan ketangkasan tidak dituntut benar untuk menghindarkan diri dari sergapan batu-batu tersebut. Itulah pula sebabnya mengapa kalian tidak perlu begitu cemas menyaksikan bebatuan tersebut dari jarak tertentu dengan kepastian tidak sebagai pelancong. Ya, kalian menyaksikan sesuatu yang unik, tetapi karena mengandung begitu besarnya ancaman, pemandangan tersebut tidak menempatkan dirinya sebagai obyek wisata.



Kalian tidak percaya, bagaimana sejumlah orang seperti dengan sengaja menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu. Seperti pada senja yang muram itu, keluarga Atan --ia dan istri, juga tiga anaknya-- digulung dan dilambungkan batu. Kami tak sempat menolongnya, bukan menolong karena keluarga Atan tidak pada posisi yang mengharuskan pertolongan, sehingga lebih tepat dikatakan tidak mampu mencegah mereka. Tapi masih sempat kami tangkap kalimat yang keluar dari mulut Atan:



Batu belah batu bertangkup

Telan kami sekali tangkup

Kami kempunan harta negeri




Aduhai, kalimat berlagu yang kami sebutkan keluar dari mulut Atan itu, memperlebar ketidakpercayaan kalian tentang bagaimana sejumlah orang, bahkan sekeluarga seperti menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu tersebut. Bukankah kalimat itu pernah ada dalam apa yang kalian sebut dongeng; bagaimana seorang ibu begitu kecewa dengan anaknya yang memakan habis telor tembelang pencarian si ibu. Begitu kecewanya, kempunan --tak dapat memenuhi keinginan terhadap sesuatu yang amat diinginkan-- sehingga perempuan tersebut menuju sebuah batu besar di ujung kampung sambil berucap: Batu belah batu bertangkup, telan aku sekali tangkup, aku kempunan telor tembelang.



Tak sampai di situ saja. Kalian akan menghubung-hubungkannya dengan berbagai cerita mengenai batu yang sempat kalian dengar ketika kecil dulu, menghantar tidur kalian sampai terlelap. Ada hamparan batu yang menyerupai berbagai peralatan rumah tangga, termasuk alat kelamin lelaki dan perempuan, sebagai lambang cinta abadi di pinggir Selat Melaka. Akan kalian ingat seorang lelaki yang disumpahi ibunya menjadi batu. Mungkin kalian teringat bagaimana burung-burung ababil menyerang Abrahah, juga bagaimana kota-kota yang dibangun dari lipatan batu-batu. Tak mustahil kalian terkenang sejumlah cerpen mengenai batu, di antaranya "Menjadi Batu" karya Taufik Ikram Jamil.



Kesimpulannya, kalian tidak percaya tentang keluarga Atan yang seperti menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu. Kalian akan katakan kami mengarut, mengada-ada tanpa maksud apa-apa. Lalu amat memungkinkan sekali kalian menafikan penglihatan, pendengaran, dan penciuman kalian terhadap gulungan maupun tirai batu; terhadap hal-hal yang kalian saksikan dengan alat indera kalian sendiri, bahkan saat kalian berada pada sebuah ketinggian --mungkin tidak begitu tinggi; terhadap apa yang kami sebut dengan istilah "batu menjadi". Kalian akan katakan bahwa apa yang baru kalian lihat, kalian cium, dan kalian dengar tentang batu sekarang merupakan endapan kisah di benak kami dari rangkaian peristiwa serupa pada masa yang begitu jauh dan tak mungkin terjadi kini maupun di sini.



Kalau sudah begitu, mana mungkin cerita ini dilanjutkan. Mana mungkin lagi diceritakan asal-muasal gulungan dan tirai batu itu. Mana mungkin kan? ***

Sabtu, 18 Desember 2004

Lelaki dan Sekuntum Kamboja

Cerpen M. Arman AZ



Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?



Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana. Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman. Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu. Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.



Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya.



Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.



Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.



Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.

***

Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas.



Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.



Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?



Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih keras lagi.



Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.



Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.



Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu.



Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih.

***

Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan.



Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus.



"Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.

"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.



Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.



"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Sunu mengikuti langkahku.



Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.



Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.



"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."



Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Aku harus waspada.



Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal halal.

***

Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.



Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.



Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.



Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya.

Bandar Lampung, April 04

Sabtu, 11 Desember 2004

Nyonya Alvi dan Mawar Hitam

Cerpen Iwan RS



Nyonya Alvi tentulah ia seorang yang baik, ramah, dan boleh jadi sangat perhatian. Suatu kali ia pernah mengingatkan kerah bajuku yang kurang pas. Hal kecil sebenarnya tapi amatlah berarti semestinya ditaruh dalam hati. Itulah barangkali yang membuatku kerasan ngobrol dengannya. Obrolan kami tidaklah lebih dari soal bunga, lain dari itu secuil saja. Sesekali pernahlah kami ngobrol selain bunga, tapi bicara selain bunga hanyalah bumbu untuk ngobrol soal bunga. Hmm, Nyonya Alvi ia begitu tergila-gila akan bunga.



Begitulah, setiap Minggu pagi jam delapanan, aku musti mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia membeli bunga-bunga yang kubawa untuk dipeliharanya di pekarangan atau di belakang rumahnya yang karuan luas. Entah berapa banyak koleksi bunga hias yang dimiliki dengan beragam jenisnya. Sudah hampir tiga tahun setiap Minggu ia membeli bunga. Sepertinya membeli bunga merupakan suatu kemutlakan baginya. Itu yang Nyonya Alvi beli padaku. Sebelum aku, ia pernah punya penjual bunga, tapi penjual bunga itu telah pindah ke kota lain. Dicarilah penjual bunga baru. Dan akulah penjual bunga itu hingga kini.



Sorot mata Nyonya Alvi menunjukkan ia perempuan cerdas. Dan, pastilah ia akan teliti sekali kalau sudah memperhatikan bunga, berbinar. Bukan hanya itu, ia sentuh bunga-bunga tidaklah dengan alakadarnya, melainkan juga melibatkan perasaannya.



Alih-alih soal Nyonya Alvi yang begitu sangat mencintai bunga: sekiranya kuranglah pas untuk seorang Nyonya Alvi jika harus selalu kelihatan sendiri dan hanya berkutat dengan bunga-bunga saja. Setiap aku mampir, jarang terlihat suaminya, padahal menurut Nyonya Alvi suaminya sedang ada di rumah. Tapi kenapa jarang kelihatan berdua-duaan layaknya suami-istri. Ya, duduk bersama sambil minum teh sekadar mengisi waktu senggang, misalnya. Atau jalan-jalan pagi menikmati Minggu yang cerah, seperti keluarga pada umumnya. Setidaknyalah rumah besar itu tak berkesan hanya dihuni oleh bunga, pembantu, dan nyonya saja.



Beberapa kali saja kulihat, itupun dua tahun yang lalu. Dua kali tepatnya. Ya, aku ingat betul. Pertama, ketika lelaki itu menutup garasi setelah memasukkan mobil saat pembantunya lagi mudik. Kedua, waktu aku dan Nyonya Alvi asyik ngobrol di beranda seorang tamu menyatroni lalu menanyakan keberadaannya, masuklah Nyonya Alvi ke dalam: memanggil suaminya itu. Tak lama, keluarlah lelaki itu --suami Nyonya Alvi- pun hanya sebatas di ambang pintu saja guna mempersilahkan tamunya masuk. Setelahnya tak lagi aku melihatnya. Aku tak tahu persis, selain hari Minggu apakah mereka --Nyonya Alvi dan suami-- begitu akrab, suka jalan-jalan, ya setidaknya bertegur sapalah.

***

Minggu ini aku datang lebih pagi. Jam tujuh. Konon Nyonya Alvi punya acara --dikabarinya aku lewat telepon kemarin lusa. Maka dari itu kedatanganku diajukan. Ah, Nyonya Alvi, ia selalu terlihat cantik seperti Minggu biasanya. Ini kali rambut sebahunya berbasah-basah, usai keramas tentulah, diurainya berkali-kali dengan jari-jari lentiknya yang kukunya dicat merah, merah jambu jelasnya. Ah, tapi kenapa Nyonya Alvi kali ini sendu begitu? Hmm, sendu tapi masih nampak cantik. Justru perempuan akan nampak sempurna jika berona sendu-merayu seperti itu. Ah, Nyonya Alvi, pastilah lelaki beruntung yang dapat menyangkarkannya. Ya semacam anugerahlah.



"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin tapi agak kecil, dibawa?" Ya, gaya bicaranya. Aku suka gaya bicara Nyonya Alvi yang khas itu. Intonasinya enak disimak. Bibirnya berkecumik sedemikian rupa jika sedang bicara, tapi tidaklah terkesan direka. Wajar, indah dan tepat.



"Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil, dibawa?"

"Ya, ya, aku bawa. Tulip yang indah, Nyonya Alvi pasti suka."

"Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil. Bukan Tulip. Kalau Tulip kemarin juga sudah ambil."



"O, maaf," aku gugup. "Ya, anggrek. Ah, anggrek yang Nyonya pesan itu, kan? Saya bawa tiga dengan jenis yang berbeda. Silahkan Nyonya ?"

"Hmm, merah, jingga, kuning?Yang ini saja, jingga."

"Baik, Nyonya."



"Letakkan di selasar sebelah sana. Saya ambil uang?"

"Iya, Nyonya."

Nyonya Alvi masuk ke dalam. Memalukan! Pastilah tadi ia kentarai kekikukanku yang aku sendiri tak memahami. Langkah sepatunya mendekat. Ah, sebaiknya aku menguasai diri dari ketololan.



"Ini uangnya?"

"Terima kasih, Nyonya."

"Untuk Minggu besok, bawakan saya Mawar Hitam."

"Mawar Hitam?"



"Ya. Kenapa?"

"Eem, tidak apa. Berapa Nyonya?"

"Sebanyaknya."

"Sebanyaknya?"

"Kenapa?"



"Tidak. Baiklah. Minggu besok saya bawakan Mawar Hitam. Sebanyaknya?"

Nyonya Alvi masuk, sedikit terburu, mungkin karena segera bersiap untuk pergi.

***

Sesuai pesanan, aku bawa Mawar Hitam sebanyaknya. Pesanan aneh sebenarnya. Soalnya setiap ngobrol soal bunga, luputlah Nyonya Alvi menyinggung Mawar Hitam, apalagi memesan. Ah, tapi itu bukan urusanku. Aku sekadar penjual bunga. Jadi mengekor sajalah soal selera. Tapi?



Nyonya Alvi menyuruhku menunggu di ruang tamu, sebelum ia ngeluyur ke dalam tadi. Megambil sesuatu mungkin, entah apa. Baru kali ini aku singgah di ruang tamu. Bersih juga nyaman. Dari sini, leluasalah ke mana pandangan hendak diedarkan. Sesuka hati.



Keluar sana? O, tentulah akan menerobos bentangan kaca yang menyungkup ruang tamu ini, kemudian dapatlah kita mengintai pekarangan dengan gamblangnya. Pekarangan yang dicokoli warna-warni bunga yang bergerombol indah.



"Berapa banyak Mawar Hitam yang dibawa?" Nyonya Alvi mengujar setelah duduk di sofa.

"Semua Mawar Hitam yang saya punya," jawabku segera.

"Terima kasih. Letakkan semuanya di ruang tengah."

"Semua, Nyonya?"

"Ya."



Aku keluar untuk menjemput seabrek Mawar Hitam di mobil pengangkut bunga yang kuparkir di luar pagar. Nyonya Alvi masuk ke ruang tengah, pastilah hendak menata ruang di mana ratusan Mawar Hitam akan diposisikan.



"Di mana, Nyonya?" tanyaku dengan beberapa Mawar Hitam di tangan.

"Di sini. Letakkan semua di sekitar sini?"

Ah! Aku terhenyak lantas tertegun. Tentulah melihat peti itu. Peti di tengah ruang tengah ini. Peti yang dikelintari banyak lilin. Ya, peti mati yang telah disemayami seorang lelaki membujur dangan wajah pucat pasi serta mata mengatup rapat. O, lelaki itu?



"Minggu kemarin ia pulang. Livernya tak tertolong," ujar Nyonya Alvi dengan mata yang tiba-tiba sedikit berkaca.

Aku masih tertegun. Kulihat mata Nyonya Alvi berlinang. Ah, ia seperti mengharap kesudianku mendengar kalimat-kalimatnya yang sesekali terpatah oleh seniknya. Sekadar mendengar, tak apalah. Sedikitnya dapatlah melegakan hatinya yang mungkin tengah berjelaga, seperti mawar: Mawar Hitam.



"Saya membenci lelaki ini," lanjut Nyonya Alvi sambil memandang isi peti. "Ia kasar. Tapi entah kenapa saya begitu mencintainya. Jika ia tak pulang berhari-hari, berbulan-bulan lamanya keliling kota, saya tahu yang dilakukannya hanyalah menuntaskan bergelas-gelas alkohol dan berburu perempuan. Keraplah ia pulang dengan sempoyongan. Ya, duapuluh tahun pernikahan kami, tanpa anak, hambar, tanpa tegur-sapa yang berarti kecuali di atas ranjang usai mereguk seks. Seks kadang membuat segalanya menjadi mudah. Tapi, entahlah saya sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang saya lakukan ini. Ketololankah? Sungguh saya tak tahu. Saya hanya tahu bahwa saya selalu merasa ingin terus bersamanya. Itu sebabnya kenapa saya terus bekutat bersama bunga-bunga. Semata, agar saya selalu terus berada di rumah. Bersamanya, meski tak bersapa. Menunggunya, meski tak pulang. Tak apa, saya setia. Setia macam apa? Ah, saya juga tak tahu. Orang pasti akan mencibir nyinyir: ah! Nyonya Alvi tak lebih dari seorang perempuan tolol! Tak apa. Saya mencintainya. Ia telah pergi sekarang. Dan entah kenapa pula saya ingin meletakkan Mawar Hitam di sekeliling petinya, sebelum ia diusung ke pusara guna tetirah di kedamaian surga."

***

Minggu pagi yang cerah. Seperti biasa aku berkelintar ke setiap rumah membawa aneka bunga merekah. Ah, kali ini, aku tak mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia memang tak lagi memesan bunga. Ia tak lagi mencintai bunga setelah suaminya tetirah di kedamaian surga? Mencintai siapakah Nyonya Alvi kini? ***

Sanggar Suto, 2004

Sabtu, 04 Desember 2004

Perempuan Ditingkap Purnama

Cerpen Satmoko Budi Santoso



Bukankah sudah lama kita duga

di loteng ini tak ada surga

dan kau, aku, mereka, tak mencarinya *




1.

IA melirik ke dalam makam, begitu sampai di pintu keluar. Angin berkesiur, meruapkan bebauan bunga kamboja. Cahaya petang berkeredap. Nisan yang ia lirik dari kejauhan telah berganti nama dirinya. Ia lega. Sudah bertahun-tahun ia tak menziarahi nisan itu, sampai ditandai dengan rambut yang memutih, bercak recak pada pipi bulat-bulat menghitam, dan sorot mata yang dirasakannya tambah merabun.



"Ada yang layak ditebus dalam perjalanan usia, tanpa berterus-terang," demikian ia mengigau, begitu sampai di tepi persimpangan tiga danau, menyalakan obor, kembali menaiki sampan. Tak boleh sampai gelap-pekat ia mesti tiba di tepi seberang, tak alpa menyalakan lentera di dalam rumahnya yang kumuh, berloteng penuh hilir-mudik keriut suara tikus.



Dulu, ia memang mengutuk diri sebagai perempuan laknat, karena setiap kali hamil tua sengaja mandi di bawah bulan purnama, di pinggir sumur, di luar kamar mandi. Orang-orang kampung di tempat bermukimnya tahu, jika ada perempuan hamil tua yang mandi di bawah bulan purnama, pasti bakalan kehilangan bayi. Setidaknya, bayi yang dilahirkan akan cacat. Pokoknya, siallah. Namun, ia tak menggubris keyakinan itu, dan benarlah, tiga anaknya menjumpai mala selama hidup. Anak pertama, lahir tanpa menangis, malah mendesis, seperti ular. Tak sampai tali pusarnya putus, mati pula. Anak kedua, hanya mampu hidup empat bulan, terserang diare dua minggu, dan menyusul mati seperti kakaknya. Anak ketiga, tentu lebih mengerikan nasibnya, mati mengenaskan dimakan buaya ketika sedang sendirian mandi di tepi danau. Agak lumayan, waktu itu usianya sempat sampai sepuluh tahun.





2.

DI masa tua, seperti yang terlalui dalam hari-hari dua tahun terakhir ini, kesibukannya yang rutin hanyalah keluar-masuk hutan, mencari kayu bakar dan berkebun, di sepetak tanah belakang rumah. Ia menghindar dari keramaian orang-orang kampung. Ia tak mau menghadiri acara apa pun yang digelar orang-orang kampung di paseban. Bahkan, tempat bermukimnya pun ia pilih menjorok, di dekat hutan. Bolehlah orang-orang kampung menyebut dirinya sebagai nenek yang menyelimpang dari jalan yang lazim, paling tidak dari kewajaran hidup sehari-hari.



Jangan tanya, tak pernah ada surat yang datang, yang dulu bisa sebulan sekali. Entah dari kerabat, entah dari sanak-keluarga. Karena surat-surat yang datang tak pernah dibalas, lumrahlah jika ia didiamkan saudara-saudaranya.





3.

PADA suatu malam, bulan purnama kembali bersinar. Cahayanya berkilau memutih, seolah-olah memantul di kelengangan air danau, tempat anak bungsunya dimakan buaya. Ia tepekur menatap danau, tanpa harus mengingat-ingat kematian anaknya, yang tinggal kepalanya tersungkur di tepian, sempurna dengan matanya yang melotot, mengalirkan sisa sembab air mata.



Aneh, ia malah bermain mata dengan buaya-buaya yang ada di danau itu. Ia tahu, mata buaya akan menyala jika malam hari, seperti lampu neon sepuluh watt. Tak sampai hitungan enam pasang, biji-biji mata buaya itu berjajar rapi. Tentu, bukan salah satu dari buaya itu yang telah membunuh anaknya, karena buaya yang membunuh anaknya sudah lama mati. Namun, memang buaya-buaya itulah yang beranak-pinak, sengaja tak dibunuh meskipun mereka selalu sigap membunuh.



Ia bersitatap dengan para buaya, di tepi danau yang elok indahnya. Dingin merajam jangat kulit. Kalau siang sampai sore hari ia masihlah berani menyeberangi danau itu, sekalipun ada buayanya. Ia merasa bisa menyiasati buaya-buaya yang baginya tak begitu membahayakan. Tapi, kalau malam telanjur menggelap-pekat, ia tak mau melawan kehendak alam. Ia sadar, pada saat-saat tertentu alam bakalan keji. Tak terduga, tak tertebak.





4.

FOTO-FOTO anaknya begitu lucu, terutama yang bungsu. Berkalung tulang sapi berbentuk tengkorak, berbaju kelombor tak pernah dikancingkan, bercelana gombrong, demen membawa ketapel. Ia akan memandangi foto-foto itu kalau pas kangen, di malam hari sebelum merebahkan diri, setelah berlama-lama mengaca-wajah, mengurut pipi kanannya yang penuh recak, bekas luka akibat ditampar dan dipukul ganas tangan lelaki. Sembari menyibakkan geraian rambut ke kanan dan ke kiri, ia termangu, tanpa tersedu-sedan. Masih ada sisa kelucuan yang menggerakkan kelenjar saraf ketuaannya, apalagi jika foto-foto yang ia lihat pas anak bungsunya berkacak pinggang. Atau, ketika menenteng burung hasil buruan dengan ketapel. Hmmm, seakan tak ada jarak dengan waktu yang silam, karena kangen terlampau menunjam dada.



Ia mendesah, mengucek mata, mengantuk. Malam seperti kelebat malaikat berjubah hitam. Lentera kamar ia matikan, ia tak dapat tidur tanpa kegelapan.





5.

ORANG-ORANG kampung pernah mau mengusirnya ketika ia dianggap sebagai dukun, tersebab kebiasaannya tak mau bergaul. Rumahnya juga dianggap sebagai maktab ilmu hitam, karena satu-dua orang asing entah dari kampung mana sesekali bertamu. Hampir saja ia dan rumahnya dibakar, seandainya tak bisa menjelaskan secara baik-baik tentang kebiasaannya. Untunglah, pada akhirnya kecurigaan dan kemarahan orang-orang kampung mereda, bahkan memaklumi. "Biarlah, ia uzur, siap berkalang tanah, bau kain warna ganih. Sesuka hatilah ia gembira, sebagai bekal maut," demikian sesepuh kampung berujar, bernilai jimat agar tak mengobarkan amarah.



Ia bersyukur. Tuhan berpihak kepada pendiriannya. Ia bersimpuh, tanpa harus kerepotan berjalan tertatih, memasuki tempat ibadah.





6.

MALAM yang ke sekian. Bulan purnama gagal berkilau, terhalang mendung semenjak sore. Purnama kesekian yang mengingatkannya pada ringis tangis anak-anaknya yang memecah keheningan rumah. Purnama yang dulu selalu ditandai lolong anjing yang memanjang, sebelum ia mandi tepat ketika pergantian malam, pergantian hari.



Sesekali ia malah berdendang, jika mengingat semuanya yang telah berubah. Dendang yang ia alunkan seirama seorang tua yang sedang menimang-nimang, menidurkan anaknya sembari digendong. Ada saat-saat untuk menujah/ Jejak tapak pada luka lama/ Kilah maksud teringinkan/ Pada rajam kecewa yang menganga //



Bedanya, kini ia mendendangkan syair tersebut jika pas mengaca-wajah, seperti malam itu, karena gagal mengharap purnama. Ah, sebentar lagi hujan...





7.

DINGIN njekut benar-benar mengabarkan hujan. Membasahi hutan, membasahi tanah. Memperbanyak rawa, mengeruhkan danau. Ia cuma berharap, semogalah hujan tak sampai pagi, bahkan siang hari. Semogalah hujan turun sebentar saja, asal basahlah tanah, asal terguyurlah bumi. Kalau berlama-lama, pasti ia juga yang kerepotan. Jalan ke hutan yang becek bakalan membuatnya terpeleset.



Begitu. Begitulah dari hari yang satu ke hari yang lain, semau-mau ia menapak. Berkali-kali telah ia robek ingatan atas sosok seorang lelaki. Telanjur ia kutuk sang lelaki dengan menyantet, kemampuan yang ia dapatkan ketika sebulan pernah berguru kepada seorang kakek, dulu, pada suatu masa, di lereng sebuah bukit. Jika tahan, karena kuat puasa mutih empat puluh hari empat puluh malam, tentulah siapa pun dapat melihat benda-benda yang ia terbangkan untuk menyantet. Paku payung, silet, gunting, maupun pisau dapur bukanlah benda-benda yang mengejutkan jika suatu saat bersliweran.



Benda-benda itu adalah benda-benda intim yang kapan pun bisa ia sarangkan ke dalam perut. Yang menggembirakan, kesemua benda itu telah bersarang di perut lelaki yang nama nisannya telah ia ganti. Dulu, lelaki itu mempecundanginya dengan berbohong tak pernah menggumuli perempuan selain dirinya. Padahal, secara sembunyi-sembunyi, ternyata telah beranak-pinak dengan salah seorang perempuan buruh ladang pemetik daun teh. Hmmm, tanah-ladang miliknya sendiri, yang juga telah ia lupakan, seiring kemauan mengubur kenangan atas wajah seorang lelaki. Entah siapa pun orang kampung yang melanjutkan merawat ladang teh itu ia rela. Entah mungkin saja hanya jadi bongkahan tanah kosong. Entahlah.....





8.

DESIR angin malam merambati celah pori-pori tangan dan wajahnya. Ia menguap. Mengatupkan mulut. Memejamkan mata. Mimpi? Sudah berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun ia tak pernah lagi bermimpi. Ah, mungkinkah ia sengaja mengganti nama nisan suaminya karena diam-diam tetap merasa berdosa? Atau, justru melengkapkan kesalahan dengan sama sekali tak peduli akan surga? Begitukah gugatannya terhadap ingatan usia? ***

*) Petilan sajak Hiroshima, Cintaku karya Goenawan Mohamad dalam antologi Asmaradana (Grasindo, 1992).