Sabtu, 28 Agustus 2004

Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam

Cerpen Wawan Susetya



Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua naSihat dan bimbingan Sang Mursyid.



Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.



Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?



Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua.



Karena ke-’alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu.



Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau "menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banyak orang.

***

Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.



Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E?.ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!



Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!"



Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.



Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"



Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.



"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"



Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.



"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang.



Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai.



"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu.



Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.

***

Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan.



Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu.



"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata Kiai Yazid kepada para muridnya.



Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning.



Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"



Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya."



Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus meneruskan perjalanannya. ***

(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum sufi)

Tulungagung, 9 Oktober 2003

Sabtu, 21 Agustus 2004

Kakek Marijan

Cerpen: Aris Kurniawan



Got meluap. Bangkai tikus sebesar kucing digiring air busuk kehitaman. Tersumbat kental. Maghrib. Deretan gubuk mirip kandang babi. Senyap. Sesekali terdengar kecipak langkah di atas air. Suara tawa sayup orang-orang merubung siaran acara lawak di televisi. Gubuk di ujung gang, dengan remang cahaya listrik 5 watt, Kakek Marijan terengah. Matanya nanar menatap Narto, cucunya, membeku dengan muka membiru tengkurap di sisi bak.



Kakek Marijan mengelap keringat yang membanjir. Pelahan diseretnya mayat cucunya itu. Dimasukkan ke dalam karung yang telah disiapkan dengan rapi. Gerimis turun lagi dan langit makin pekat ketika Kakek Marijan menaikkan karung ke dalam gerobak, dan perlahan menariknya menyusuri gang demi gang becek berlumpur. Roda gerobak seperti menggelinding di atas sungai. Entah ke mana. Narto, cucu yang sebetulnya sangat disayanginya, terguncang-guncang. Namun tentu saja bocah itu tidak merasakan dingin ataupun sakit karena nyawanya telah melayang.



"Maafkan Kakekmu," begitulah kalimat yang keluar dari mulut Kakek Marijan ketika hendak membekap mulut Narto, bocah umur tujuh tahun, dengan bantal. Narto meronta dan cuma meronta ketika Kakek Marijan membopong tubuhnya dan membenamkannya ke dalam bak penuh air. Narto mengerjat beberapa saat sebelum lunglai, dan akhirnya mengeras. Tidak ada jalan lain, pikir Kakek Marijan, untuk membalas sakit hatiku pada ayahmu. Aku sudah terlanjur tersinggung dan tidak bisa memaafkan menantuku sendiri.



Kakek Marijan teringat lagi ucapan menantunya yang menyebabkan ia tersinggung dan sakit hati. "Tua bangka tak berguna, selalu saja menyusahkan orang." Kakek Marijan memang cuma bisa memendam kalimat itu dalam benaknya. Rupanya bukan sekali itu si menantu melontarkan kalimat dan perilaku yang menyakitkan, melainkan berulangkali kata-kata kotor menyembur dari mulut menantunya, baik bentakan maupun halus namun penuh nada ejekan. "Seharian nongkrong. Bikin kandang merpati saja nggak becus. Huh! Cuma menunggu nasi mateng saja kerjamu." Demikian si menantu berujar seraya membanting pintu dan sengaja menyenggol teh tubruk kesukaan Kakek Marijan. Teh tumpah dan gelasnya pecah. Kakek Marijan tersuruk-suruk memunguti serpihan beling. Si menantu masih berujar, "Pecahkan saja semua biar habis!" Kakek Marijan masih melihat menantunya membuang dahak kental persis di depan mukanya. Narto yang tiba-tiba muncul dan memeluknya dari belakang, dengan cepat direnggut ayahnya, "Jangan dekat-dekat si pemalas, ayo masuk."



Kakek Marijan ingat tatapan jijik menantunya yang seakan menghunjam ke dasar tulang. Dari kamarnya yang disekat kardus lapuk Kakek Marijan mendengar menantunya menghardik, "Tidak tahu bagaimana susahnya cari makan. Kalau tidak ada polisi sudah kuracuni." Lalu terdengar tape disetel keras-keras.



"Iblis! Manusia tak tahu adat, tak tahu balas budi. Dasar komunis," kata-kata itu cuma digumamkan Kakek Marijan dalam kamarnya. Memang si menantu kadang bisa juga bersikap santun dan manis. Tapi hati Kakek Marijan telanjur cedera dan menyimpan dendam. Meski anaknya selalu bilang. "Jangan dimasukkan ke hati. Memang sifatnya sudah begitu dari dulu. Anggap saja angin lalu." Kakek Marijan mau mengatakan, perbuatannya sudah keterlaluan, tapi selalu urung. Ia paham, anaknya tentu lebih membela suaminya. Makanya ia lebih senang memupuk dendam di hatinya. Kakek Marijan tahu dirinya tidak berdaya dan mustahil dapat melampiaskan dendamnya pada sang menantu secara fisik. Waktu jadi terasa panjang dan sangat menyiksa setiap ia harus bertemu menantunya dalam rumah yang sempit, di mana nafas para penghuninya terdengar satu sama lain. Makanya Kakek Marijan lebih sering keluar dari kamarnya, berjalan-jalan dari gang ke gang, menyusuri kali yang arusnya lambat dan airnya pekat membawa segala macam limbah sambil mengajak Narto setiap menantunya berada di rumah setelah seharian pergi entah ke mana mengais rejeki.



Sering memang, Kakek Marijan punya kesempatan bagus melampiaskan dendam dengan menghantamkan linggis di kepala menantunya ketika sedang mendengkur. Tapi ia tak juga kuasa melakukanya. Selalu dihalangi rasa cemas cucunya jadi yatim dan anaknya jadi janda. Padahal ia tahu persis anaknya seringkali mendapat perlakuan kasar suaminya. Tapi Kakek Marijan maklum, mereka tetap saling mencinta. Ditambah lagi keadaan dirinya yang cacat. Ia tak mau terlunta-lunta dan mati di pinggir rel kereta.



"Hhh, apa maksudnya Tuhan menciptakan makhluk sepecundang diriku." Demikian Kakek Marijan sering menggugat nasib buruk yang melilit dirinya. Dia cuma sanggup menggugat dengan keluhan-keluhan cengeng yang membuat dia kadang malu sendiri. "Kenapa aku tidak bunuh diri saja." Nah niat ini pun cuma sekadar niat yang tidak kunjung dilakukan. Tentu takut akan rasa sakit yang pasti dihadapi orang yang meregang nyawa secara paksa. Dia heran sendiri kenapa mesti takut menghadapi rasa sakit yang tentu tak terlalu lama menyengat. Padahal hidup yang dihadapi pun sudah begitu menyakitkan, dan terlalu cukup untuk jadi alasan buat diakhiri.



Dendam di hati Kakek Marijan kian menggunung. Selalu ia tahan-tahan untuk diletuskan. Rencana membunuh sang menantu jelas sulit dilakukan. Dia mulai berpikir, menghitung-hitung apa yang harus dilakukan supaya sang menantu laknat merasakan sakit hati seperti yang dialaminya. Ya, Kakek Marijan hanya ingin menantunya merasa sakit hati. Tak harus menyakiti fisik, apalagi membunuhnya.



Cara yang pernah ia rencanakan namun urung dilakukan adalah menyuruh anaknya menyeleweng. Ini tak dilakukan jelas karena ia tak mungkin bekerja sama dengan anaknya yang tentu saja lebih membela suaminya.



Kakek Marijan terus berjalan terseok-seok menarik gerobak. Hari makin gelap, sedang gerimis tetap setia mengguyur tubuh rentanya yang mulai menggigil. Berkelebat terus-menerus di kepalanya wajah sang menantu yang bermata merah, menghardik, "Matikan tapenya, tua bangka! Maghrib. Tidak juga sadar mau masuk kubur. Bukannya ibadah." Mengiang terus sepanjang waktu kata-kata itu. "Aku memang komunis, tapi tahu menghargai orang ibadah."



Kakek Marijan pantas heran dengan ucapan terakhir yang terlontar dari mulut menantunya itu. Yang ia tahu, komunis ya komunis. Anti agama. Meski ia juga tak peduli apa itu komunis, apa itu agama. Apa itu ber-Tuhan, apa itu anti Tuhan. Yang jelas menantunya telah menyebabkan hatinya remuk parah. Dan ia tak menemukan cara membalaskan sakit hatinya. Sampai kemudian muncul gagasan gila; membunuh cucunya sendiri. Ia tahu Narto begitu berharga bagi ayahnya yang tak lain menantunya sendiri. Narto satu-satunya harapan bagi ayahnya yang sangat dibanggakannya. Anak itu tidak boleh disakiti. Bila sampai terjadi ayahnya mati-matian membela. Kakek Marijan pernah melihat bagaimana sang menantu nyaris menggolok orang yang berani-berani menyebabkan Narto menangis. Satu hal yang memang seharusnya membuat ia besar hati.



Namun pada saat-saat begini ia bertekad membunuh cucunya sendiri supaya ia bisa puas melihat menantunya remuk redam. Maka, begitulah, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Malam itu sang menantu bersama istrinya berpesan supaya menjaga Narto baik-baik. Mereka tidak menjelaskan hendak ke mana dan berapa lama. Kakek Marijan cuma diberi uang untuk makan mereka berdua selama beberapa hari. Sempat ragu juga sebetulnya ketika malam itu ia hendak membunuh cucunya sendiri. Ditatapnya wajah Narto yang persis wajah sang menantu. Dihidup-hidupkan dendam di hatinya. Nyala merah mata si menantu yang menatapnya dengan jijik. Hardikan-hardikannya diputar lagi di telinganya seperti memutar rekaman kaset. Dan memang tumbuh juga. Kakek Marijan bagai tidak melihat wajah Narto yang tengah terlelap dalam dekapannya, melainkan wajah bengis sang menantu. Ia terlonjak, bangkit meraih bantal?

***

Kakek Marijan berhenti di tepi kali yang permukaan airnya memantulkan lampu-lampu gemerlapan dari kendaran yang berseliweran. Di kali ini sering dilihatnya mayat mengambang kembung entah siapa. Orang mati dibunuh atau bunuh diri. Ah, sama saja: mayat. Dan kini cucunya bakal jadi salah satu dari mereka. Ya, semuanya sudah terjadi seperti takdir. Pada saat demikian muncul lagi keberaniannya yang lain; Kakek Marijan berniat untuk turut mecemplungkan diri. Mati. Ini jalan yang paling aman barangkali, begitu ia berpikir. Sebab ia tak mungkin lagi pulang dan menghadapi kemarahan sang menantu yang cepat atau lambat tentu akan tahu ia yang telah membunuh cucunya sendiri.



Lebih aman aku mati bunuh diri ketimbang digebuki sang menantu. Ya kalau langsung mati. Tidak begitu berat menanggung risiko. Kalau diseret ke kantor polisi, diadili, lantas masuk bui?***



Cirebon, 12 Maret 2004

Selasa, 17 Agustus 2004

Rasanya Baru Kemarin...

Puisi: KH.Mustafa Bisri



Rasanya

Baru kemarin



Bung Karno dan Bung Hatta

Atas nama kita menyiarkan dengan seksama

Kemerdekaan kita di hadapan dunia.



Rasanya

Gaung pekik merdeka kita

Masih memantul-mantul tidak hanya

Dari para jurkam PDIP saja.



Rasanya

Baru kemarin.



Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.

Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia

Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya

Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha

Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa

Sudah banyak yang turun tahta

Taruna-taruna sudah banyak yang jadi

Petinggi negeri

Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi

Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.



Rasanya

Baru kemarin



Padahal sudah lebih setengah abad lamanya.

Menteri-menteri yang dulu suka korupsi

Sudah banyak yang meneriakkan reformasi



Rasanya baru kemarin



Rakyat yang selama ini terdaulat

sudah semakin pintar mendaulat

Pemerintah yang tak kunjung merakyat

pun terus dihujat



Rasanya baru kemarin



Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.

Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh

Padahal pembangunan badan yang kemarin dibangga-banggakan

sudah mulai runtuh



Kemajuan semu sudah semakin menyeret dan mengurai

pelukan kasih banyak ibu-bapa

dari anak-anak kandung mereka

Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi sudah menutup mata

banyak saudara terhadap saudaranya



Daging yang selama ini terus dimanjakan kini sudah mulai kalap mengerikan

Ruh dan jiwa

sudah semakin tak ada harganya



Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan

para penguasa berlaku sewenang-wenang

kini sudah pandai menirukan



Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya

Semakin bertambah besar pengaruhnya

Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda

Kepentingan sendiri dan golongan

sudah semakin melecehkan kebersamaan



Rasanya

Baru kemarin



Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka

Pahlawan-pahlawan idola bangsa

Seperti Pangeran Diponegoro

Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja

Sudah dikalahkan oleh Sin Chan, Baja Hitam,

dan Kura-kura Ninja



Banyak orang pandai sudah semakin linglung

Banyak orang bodoh sudah semakin bingung

Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan

Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan



Rasanya

Baru kemarin



Tokoh-tokoh angkatan empatlima sudah banyak yang koma

Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah banyak yang terbenam

Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya sudah banyak yang tak jelas maunya



Rasanya

Baru kemarin



(Hari ini ingin rasanya

Aku bertanya kepada mereka semua

Sudahkah kalian Benar-benar merdeka?)



Rasanya

Baru kemarin



Negeri zamrud katulistiwaku yang manis

Sudah terbakar nyaris habis

Dilalap krisis dan anarkis

Mereka yang kemarin menikmati pembangunan

Sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban

Mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri

Sudah meninggalkan utang dan lari mencari selamat sendiri



Mereka yang kemarin sudah terbiasa mendapat kemudahan

Banyak yang tak rela sendiri kesulitan

Mereka yang kemarin mengecam pelecehan hukum

Kini sudah banyak yang pintar melecehkan hukum



Rasanya baru kemarin

Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka.



Mahasiswa-mahasiswa pejaga nurani

Sudah dikaburkan oleh massa demo yang tak murni

Para oportunis pun mulai bertampilan

Berebut menjadi pahlawan

Pensiunan-pensiunan politisi

Sudah bangkit kembali

Partai-partai politik sudah bermunculan

Dalam reinkarnasi



Rasanya baru kemarin



Wakil-wakil rakyat yang kemarin hanya tidur

Kini sudah pandai mengatur dan semakin makmur

Insan-insan pers yang kemarin seperti burung onta

Kini sudah pandai menembakkan kata-kata



Rasanya

Baru kemarin

Padahal sudah lima puluh sembilan tahun kita

Merdeka.



Para jenderal dan pejabat sudah saling mengadili

Para reformis dan masyarakat sudah nyaris tak terkendali

Mereka yang kemarin dijarah

Sudah mulai pandai meniru menjarah

Mereka yang perlu direformasi

Sudah mulai fasih meneriakkan reformasi

Mereka yang kemarin dipaksa-paksa

Sudah mulai berani mencoba memaksa



Mereka yang selama ini tiarap ketakutan

Sudah banyak yang muncul ke permukaan

Mereka yang kemarin dipojokkan

Sudah mulai belajar memojokkan

Mereka yang kemarin terbelenggu



Sudah mulai lepas kendali melampiaskan nafsu

Mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa

Sudah mulai banyak yang lupa



Rasanya baru kemarin



Ingin rasanya aku bertanya kepada mereka semua

Tentang makna merdeka



Rasanya baru kemarin



Pakar-pakar dan petualang-petualang negeri

Sudah banyak yang sibuk mengatur nasib bangsa

Seolah-olah Indonesia milik mereka sendiri

Hanya dengan meludahkan kata-kata



Rasanya baru kemarin



Dakwah mengajak kebaikan

Sudah digantikan jihad menumpas kiri-kanan

Dialog dan diskusi

Sudah digantikan peluru dan amunisi



Rasanya baru kemarin



Masyarakat Indonesia yang berketuhanan

Sudah banyak yang kesetanan

Bendera merahputih yang selama ini dibanggakan

Sudah mulai dicabik-cabik oleh dendam dan kedengkian



Rasanya baru kemarin



Legislatif yang lama sekali non aktif

Dan yudikatif yang pasif

Mulai pandai menyaingi eksekutif

Dalam mencari insentif



Rasanya baru kemarin



Para seniman sudah banyak yang senang berpolitik

Para agamawan sudah banyak yang pandai main intrik

Para wartawan sudah banyak yang pintar bikin trik-trik



Rasanya

Baru kemarin



Tokoh-tokoh orde lama sudah banyak yang mulai menjelma

Tokoh-tokoh orde baru sudah banyak yang mulai menyaru



Rasanya

Baru kemarin



Orang-orang NU yang sekian lama dipinggirkan

Sudah mulai kebingungan menerima orderan

NU dan Muhammadiyah yang selama ini menjauhi politik praktis

Sudah kerepotan mengendalikan warganya yang bersikap pragmatis



Rasanya

Baru kemarin



Pak Harto yang kemarin kita tuhankan

Sudah menjadi pesakitan yang sakit-sakitan

Bayang-bayangnya sudah berani pergi sendiri

Atau lenyap seperti disembunyikan bumi

Tapi ajaran liciknya sudah mulai dipraktekkan

oleh tokoh-tokoh yang merasa tertekan

Anak dan antek kesayangan Bapak sudah berani tampil lagi

Mendekati rakyat lugu mencoba menarik simpati

Memanfaatkan popularitas dan kesulitan hidup hari ini



Rasanya baru kemarin



Habibie sudah meninggalkan

Negeri menenangkan diri

Gus Dur sudah meninggalkan

Atau ditinggalkan partainya seorang diri



Rasanya baru kemarin

Padahal sudah limapuluh sembilan tahun lamanya

Megawati yang menghabiskan sisa kekuasaan Abdurrahman

Mengajak Hasyim Muzadi merebut lagi kursi kepresidenan

Membangkitkan nafsu banyak warga NU terhadap kedudukan



Apalagi Wiranto yang mengalahkan Akbar

menggandeng Salahuddin keturunan Rais Akbar

Ikut bersaing merebut kekuasaan melalui Golkar

Dan didukung PKB yang dulu ngotot ingin Golkar bubar



SBY yang mundur dari kabinet Mega juga ikut berlaga

Dengan Jusuf Kalla menyaingi mantan bos mereka

Bahkan dalam putaran pertama paling banyak mengumpulkan suara



Amin Rais yang sudah lama memendam keinginan

Memimpin negeri ini mendapatkan Siswono sebagai rekanan

Sayang perolehan suara mereka tak cukup signifikan



Hamzah Haz yang tak dicawapreskan PDI maupun Golkar

Maju sendiri sebagai capres dengan menggandeng Agum Gumelar

Maju mereka berdua pun dianggap PPP dan lainnya sekedar kelakar



Rasanya baru kemarin



Rakyat yang sekian lama selalu hanya dijadikan

Obyek dan dipilihkan

Kini sudah dimerdekakan Tuhan

Dapat sendiri menentukan pilihan

Meski banyak pemimpin bermental penjajah yang keberatan

Dan ingin terus memperbodohnya dengan berbagai alasan

Rakyat yang kebingungan mencari panutan

Malah mendapatkan kedewasaan dan kekuatan

(Hari ini ingin rasanya

Aku bertanya kepada mereka semua

Bagaiman rasanya

Merdeka?)

Rasanya baru kemarin

Orangtuaku sudah lama pergi bertapa

Anak-anakku sudah pergi berkelana

Kakakku dan kawan-kawanku sudah jenuh menjadi politikus

Aku sendiri tetap menjadi tikus



(Hari ini

setelah limapuluh sembilan tahun kita merdeka

ingin rasanya aku mengajak kembali

mereka semua yang kucinta

untuk mensyukuri lebih dalam lagi

rahmat kemerdekaan ini

dengan mereformasi dan meretas belenggu tirani

diri sendiri

bagi merahmati sesama)

Rasanya baru kemarin

Ternyata sudah limapuluh sembilan tahun kita

Merdeka



(Ingin rasanya

aku sekali lagi menguak angkasa

dengan pekik yang lebih perkasa:

Merdeka!)



Rembang, 17 Agustus 2004

Minggu, 15 Agustus 2004

Sepasang Sepatu di Depan Pintu

Cerpen M. Arman AZ



Jangan anggap aku anak rajin kalau sering berangkat ke sekolah pagi-pagi. Apalagi menganggapku pintar, itu salah besar. Sesungguhnya aku bodoh, berotak bebal. Tiap tahun, lima ranking paling buncit di kelas, salah satunya pasti milikku. Jadi, kalau pun naik kelas, kupikir karena nasib baik saja.



Setelah lancar mengeja, menulis, menjumlah, dan cukup tahu sedikit tentang sejarah, tak ada lagi manfaat yang kupetik dari sekolah. Di mataku, gedung itu malah menyerupai lintah. Makin hari makin bengkak, saking rakusnya menghisap darah. Aku dipaksa membeli buku ini itu atau membayar biaya ini itu. Kalau tak dituruti, siap-siaplah kena marah atau dipersulit di kemudian hari.



Teman-temanku selalu mencemooh jika kuceritakan bahwa di luar sana banyak tempat bagus untuk menambah ilmu dan pengalaman. Mereka malah menganggapku sok pintar. Aku bahkan pernah disindir. Kata mereka, "Hei, Lela, kalo sudah bosen sekolah, kenapa masih datang kemari?" atau "Memangnya mau ngapain kalo nggak sekolah?!"



Aku murid perempuan yang bodoh. Tapi, itu penilaian guru dan teman-temanku. Mereka tak tahu bahwa aku adalah pengamat sepatu yang baik. Bukankah itu satu kelebihan tersendiri?



Entah sejak kapan aku punya kebiasaan aneh itu. Otakku cepat merekam berbagai jenis dan bentuk sepatu yang melintas di dekatku. Kadangkala, sifat seseorang bisa kutebak lewat sepatu yang dikenakannya. Rena, misalnya. Orang tuanya pasti borju. Hampir tiap hari alas kakinya ganti-ganti. Kalau kemarin cokelat, hari ini merah, besok tunggu saja warna apa lagi yang dipakainya. Ditambah lagaknya yang angkuh, tentu tebakanku jitu. Si Bengal Dodi lain lagi. Dia duduk di depanku. Sepatu sebelah kirinya sudah robek. Kaos kakinya coklat kumal. Jika angin berhembus, tercium aroma tengik dari bawah meja. Sementara, aku dan murid lainnya cuma punya sepasang sepatu yang harus kami rawat baik-baik untuk dikenakan setiap hari.

***

Kami, aku dan bapak, menghuni bedeng berdinding kayu. Letaknya masuk ke dalam gang dengan liku menyerupai labirin. Berjejalan dengan bedeng-bedeng lainnya. Bau busuk got mampat, aroma ikan asin digoreng, lalat hijau menari di atas gumpalan dahak, musik dangdut, kata-kata kasar, tangis bayi, jalan becek, genteng bocor di musim hujan, perkakas dapur beterbangan, adalah pemandangan biasa bagi kami. Kalau sudah garis tangan untuk melarat sampai berkarat, mau diapakan lagi?



Aku besar di lingkungan yang keras. Kawasan tempat tinggal kami tersohor sebagai kompleks pelacuran di kota ini. Ibarat akar pohon yang menancap kuat dalam tanah, julukan itu tak bisa dirobohkan lagi. Sama seperti rasa benciku pada ibu. Janjinya cuma dua tahun kerja di Malaysia. Begitu kontrak kerja sebagai TKW selesai, dia mau pulang. Membuka usaha kecil-kecilan dengan uang simpanan. Nyatanya ibu berdusta. Sampai sekarang dia tak pernah pulang. Malah dalam surat terakhirnya, ibu mengabarkan bahwa sudah kawin lagi di seberang sana. Kurang ajarnya, dia menyuruh bapak menyusul jejaknya, mencari istri baru demi kebaikanku, anak semata wayangnya. Ah, tahi kucing dengan ibu.



Meski ditinggalkan ibu, bapak tetap setia dengan kios kecilnya. Hasil dagangan dipakai untuk menyumpal perut kami, juga membayar biaya sekolahku. Aku sudah kelas enam SD. Kata tetangga, aku malah kelihatan seperti anak SMP. Penasaran dengan celetukan mereka, sekali waktu aku bercermin. Tubuhku memang bongsor. Sepasang bukit telah muncul di dadaku. Pinggangku juga ramping. Pantas bapak sering menasehati agar hati-hati bergaul di sekitar tempat ini.



Di depan gang, ada seruas jalan yang selalu ramai bila malam membentangkan layar. Di sana hingar-bingar, warna-warni, penuh tawa. Hampir di setiap rumah tergantung plang bertuliskan "Wisma", "Losmen", atau "Karaoke". Banyak wanita-wanita duduk-duduk santai sambil ngobrol. Tua muda. Cantik jelek. Kadang-kadang mereka tertawa ngakak kalau ada yang lucu menurut mereka. Dandanan mereka menor-menor. Aku pernah mencoba berdandan, meniru gaya mereka. Tapi, aku tak berani merokok seperti mereka. Bapak bisa menamparku kalau ketahuan merokok.



Sebelum membawa tamu lelaki masuk ke wisma, losmen, atau karaoke, mbak-mbak itu memesan minuman ringan atau rokok. Bapak tak bisa meninggalkan kios begitu saja. Jadi, tugaskulah untuk mengantar pesanan para tamu.

***

Aku duduk sendirian di pojok kelas. Teman-temanku menganggap siapa yang menghuni bangku belakang, kalau bukan anak badung pasti anak bodoh. Karena itulah, aku nyaris tak punya teman. Mereka kadang menghindar atau menatap curiga kalau aku mendekat.



Di sekolah tak diajarkan bagaimana membaca situasi dan memenangkannya. Teman-temanku tak tahu apa yang kulakukan di pojok kelas. Mereka hanya duduk rapi dan tegang menyimak pelajaran yang diberikan guru. Takut kena marah kalau ketahuan celingak-celinguk. Apalagi kalau tiba-tiba dipanggil ke depan kelas, dan ternyata tak bisa mengerjakan soal-soal di papan tulis. Wajah mereka mirip kerbau dungu saat berdiri dengan sebelah kaki terangkat.



Sepatu guru pun tak luput dari pengamatanku. Biasanya, ketika mereka berkeliling mengawasi ulangan, aku suka mencuri pandang ke arah sepatu mereka. Kuselidiki warna, bentuk, jenis, hingga perangai pemakainya. Nah, inilah yang membuatku heran. Dari dulu sampai sekarang, sepatu guru-guruku tak berubah. Ada yang kulitnya terkelupas. Ada yang dijahit berkali-kali. Bahkan ada yang sepatunya sudah tak muat lagi, tapi tetap saja dikenakan hingga jemari kakinya membayang jelas.



Apakah guru-guruku tak punya sepatu cadangan? Atau gaji mereka tak cukup untuk membeli sepatu baru?

***

Ini malam minggu. Malam yang panjang. Sore tadi, bapak mengingatkan agar lepas magrib aku sudah membantunya di kios. Tempat ini lebih semarak ketimbang hari-hari biasa. Ramai orang berarti ramai pembeli. Rokok, minuman ringan, bir, dan kacang kulit, pasti laku keras. Isi kios berkurang. Isi dompet bapak bertambah. Hidup terasa lebih ringan. Aku dan bapak bisa tersenyum sekejap.



Aku tak pernah mengeluh meski terkadang kerja sampai larut malam. Selain bisa membantu bapak, kadangkala aku juga dapat seseran dari orang-orang baik hati. Tapi mulai sekarang aku harus lebih waspada. Jangan sampai kecolongan seperti malam Minggu kemarin. Ada seorang lelaki mengelus pundak dan meremas bokongku. Dasar bajingan. Dipikirnya aku sama seperti mbak-mbak menor itu.



"Lela, cepat kemari!" Kulihat wajah bapak terang diguyur cahaya petromaks. Tangannya melambai ke arahku. Bergegas kuhampiri bapak. Aku membawa cerita bagus untuknya. Barusan tadi aku mengantar dua botol bir hitam, kacang, dan lima bungkus rokok ke salah satu rumah. Pembelinya orang bule, awak kapal yang siang tadi merapat di pelabuhan. Dia memberiku uang lima puluh ribu rupiah. Mbak Sari yang menggelendot di pinggang bule tinggi besar itu, mengedipkan matanya ke arahku. Dia bilang ambil saja kembaliannya untukku. Tentu saja aku girang. Buru-buru kutinggalkan mereka. Tak kupedulikan wajah si bule yang kebingungan, tak paham obrolan kami.



Bapak tertawa ngakak waktu kuceritakan kejadian barusan. "Hahaha, bagus Lela. Biar tahu rasa dia. Sekali-kali orang macam itu memang harus dikerjain. Masak, dari dulu sampai sekarang, kita dijajah terus-terusan sama mereka. Hahaha "



Bapak menyodorkan plastik hitam padaku. Isinya dua botol air mineral dan sebungkus rokok. Aku harus mengantarnya ke rumah Tante Mila. "Pembelinya sudah mesan dari tadi," kata bapak. Tanpa buang waktu, langsung kukerjakan perintah bapak. Ini sudah keenam kali aku pulang balik mengantar pesanan. Dengan uang di kantong, lelah jadi tak terasa. Rumah yang kutuju seolah bisa dijangkau dengan sekali lompatan.



Aku terkejut melihat sepasang sepatu yang tergeletak serampangan di depan pintu. Sepatu kulit tua model kuno itu mengingatkanku pada sesuatu. Pelajaran matematika yang menjemukan dan gurunya yang menyebalkan. Ya, ya, Pak Songong, dia paling jago membentak dan menghukum murid yang tak bisa mengerjakan soal. Ia juga suka membelai-belai punggung murid wanita, dan mencuri pandang ke arah kancing atas murid wanita yang menunduk ketakutan di sebelahnya.



Aku yakin, sepatu ini milik Pak Songong, guru matematikaku. Aku hafal benar bentuk dan jenisnya. Warnanya cokelat tua, mirip sepatu koboi yang yang kulihat di film-film. Jika sedang menapak lantai, bunyinya klotak-klotak menyeramkan.



Apa yang dilakukan Pak Songong di sini? Bukankah tempat ini tak layak untuk didatangi guru, orang yang katanya harus digugu dan ditiru? Aha, malam ini, di bawah keremangan lampu, aku dapat ilmu tambahan. Moral seseorang tak bisa diukur dari jabatan atau gelar yang disandangnya.



Jika Senin lusa kuceritakan apa yang kulihat malam ini pada seisi kelas, apakah mereka percaya? Atau, lebih baik aku diam saja? Goblok! Buat apa berfikir sejauh itu?! Kalau pintu ini kuketuk, lalu wajah Pak Songong menyembul di muka pintu, dia pasti kaget bukan main, mengetahui pesanannya diantar muridnya. Apa yang akan dikatakannya? Apa yang harus kulakukan? Ah, kami pasti sama-sama malu. ***



Bandar Lampung, Des 03

Minggu, 08 Agustus 2004

Lamaran Dewi Anggraeni

Cerpen Ratna Indrawari Ibrahim



Ande-Ande Lumut

Temuruno ono putri kang unggah-ungahi

Putrine�




Adik raja meletakkan sebilah keris di tempat ini. "Anggraeni, engkau tahu aku diberi tugas untuk membunuhmu agar Jenggala dan Daha bisa bersatu padu. Cinta Nak Mas Panji Semirang terhadapmu membuatnya lalai menikahi Sekartaji. Padahal, itu bukan sekadar pernikahan antara putra raja. Tapi perkawinan itulah yang akan mempersatukan Jenggala dan Daha yang selama ini terpisah, padahal mereka kakak beradik. Sebagai rakyat kau tahu kita harus berbakti dan taat kepada raja dan negeri ini. Kita tidak ingin dianggap penghianat, kan? Apalagi, engkau anak seorang patih."



Untuk sesaat kemarahan menggumpal di seluruh urat nadi saya. Air mata membasahi seluruh wajah saya. Adik raja itu tidak pernah tahu percintaan kami, kala bunga dan burung saling berbisik, saya dan Panji Semirang dengan penuh cinta melewati malam-malam. Lantas, bisa kau bayangkan, kami bukan sekadar keniscayaan! Sukma kamilah yang saling memanggil, saling terkait tak kan lepas apa pun yang terjadi.



Apakah ini sebuah kesalahan? Apakah negara berhak mencampuri dan merumuskan apa yang harus kami lakukan? Kemudian adik raja itu berkata, "Aku tahu kamu hanya perempuan yang sedang jatuh cinta. Aku tidak bisa mengotori tanganku dengan membunuhmu."



Untuk sesaat, saya merasa dikucilkan dan itu hanya karena saya anak patih. Sang putri bukanlah saya, sebab dia tidak boleh memiliki raja. Buat mereka paling-paling saya hanya bisa menjadi selir, tidak akan pernah menjadi permaisuri. Padahal saya tahu benar bahwa dalam kehidupan Kang Mas Panji, saya tidak akan pernah menjadi orang kedua atau selir! Sekalipun lazimnya raja-raja punya istri banyak dan itu adalah hal yang biasa di masyarakat kami. Saya juga tahu Panji Semirang tidak mungkin mendua, tanpa dia harus bilang berulang-ulang: "Saya menyayangi Sekartaji seperti semua orang yang menyayangi adik sepupunya." Buatnya, saya adalah kasih yang terkasih.



Jadi, apakah mungkin saya harus menjadi pertapa seperti Dewi Kili Suci (perempuan pendeta yang tidak ingin menikah) yang harus terus-menerus berkata bijak dan mendahulukan kepentingan negeri daripada dirinya?

Saya ambisius, licik!



Gelombang cinta akan terus-menerus menggerus, mengaliri seluruh urat nadi tubuh saya. Malam-malam sekalipun kami kadang-kadang tidak bertemu secara fisik, tapi jiwa kami saling memanggil. Kami sepertinya menyatu di balik pohon sawo kecik yang ada di dalam kaputren ini dan merasa tidak canggung ketika burung hantu mengedipkan matanya kepada kami.



Jadi, kami tidak mungkin terpisahkan dan saya tidak bisa menjadi Dewi Kili Suci, sang pertapa sepanjang hidupnya itu.

Kemarahan menghantam seluruh urat nadi saya. Raja dan Dewi Kili Suci berperan serta dalam penderitaan ini. Apakah hanya pernikahan saja yang membuat Jenggala dan Daha bisa bersatu? Apakah tidak bisa dibuat perjanjian di mana mereka tidak akan saling menggangu, berdamai satu dengan yang lain? Dan benarkah kalau saya bersikukuh dengan keputusan itu? Adik raja itu berpendapat begini, "Jenggala dan Daha akan selalu berperang, kalau mereka tidak jadi menikah. Akibatnya akan banyak yatim-piatu dan janda di negeri ini. Kalau mereka baku hantam ibu-ibu mereka hanya bisa menyayikan lagu perang dan balas dendam kepada anak-anaknya."



Saya bayangkan hal itu dan saya merasa ngeri sendiri karena negeri ini akan bersimbah darah. Lantas, kalau saya harus melihat masalah ini dengan ruang yang lebih besar, yaitu negeri ini, di manakah saya boleh berpijak? Apakah cinta kami harus dipenggal? Saya menjadi martil? Kalau itu yang terjadi, saya akan matur kepada Romo dan Bunda. Saya tahu Romo akan menyuruh saya untuk berpikir dewasa. Dalam artian, dia memang mengikhlaskan saya bersimbah darah demi negeri ini atau mungkin demi jabatannya. Sedangkan Bunda tidak akan pernah berdaya pada keputusan Romo. Dia bilang, "Larilah ke mana saja dan jadilah kaum perempuan kebanyakan. Rasanya itu lebih baik untuk hati ibu."



Saya tidak bisa membayangkan begitu (saya, bagaimanapun putri seorang patih, tidaklah mudah untuk menjadi orang kebanyakan). Lantas apa yang harus saya lakukan? Besok wakil raja itu akan datang lagi, sampai dia tahu keberanian saya untuk mengakhiri hidup.



Saya tahu, ini juga sangat menyakitkan. Karena saya tidak ingin bunuh diri. Tapi, malam ini, ada suara-suara aneh yang meyuruh saya bunuh diri�

***

Berita tentang kematian saya harus dikoreksi. Karena kemudian cerita yang beredar saya bunuh diri karena tidak dinikahi Panji Semirang. Saya memang mencintainya sekalipun tak banyak orang tahu Panji Semirang yang bertubuh lembut itu sangat sensitif. Saya kadang-kadang merasa harus membimbingnya, karena saya yakin satria itu tidak boleh selembut itu. Dia harus betul-betul seperti kesatria dalam gambaran umum, yaitu lelaki sakti yang jarang sakit. Padahal saya tahu dia itu sangat sensitif dan sering sekali sakit kepalanya. Itulah kekurangan Panji Semirang. Dan saya harus menutupi itu, karena dia seorang kesatria putra seorang raja, di mana mimpi setiap orang ingin diwakilkan kepadanya. Semakin lama semakin tahu wataknya, saya semakin mencintai kekurangannya itu. Karena dia juga memahami saya yang kadang-kadang suka meledak-ledak.



Saya mencoba menenangkan diri. Tapi, tiba-tiba seperti ada suara yang membisiki bahwa sejarah pada saat itu tidak mungkin terjadi pernikahan yang sejajar antara kawula dan gusti-nya. Saya ingin menjerit karena keinginan untuk bunuh diri semakin besar! Berarti Sekartaji akan menjadi pengantin Panji Semirang. Saya merasa tidak ingin hal itu terjadi (maksudku pernikahan antara Sekartaji dan Panji Semirang). Barangkali ini adalah sebuah jawaban yang tepat kalau saya menjadi ruh. Saya akan menyusup ke wadag Sekartaji dan menguasai wadag itu.



Malam itu, dengan letih jiwa saya memanggil-manggil Kang Mas Panji Semirang. Saya katakan rencana saya untuk bunuh diri. Dia kelihatan putus asa dan menangis. Sepertinya dia ikhlas kalau dia tidak menjadi raja. Malam itu dia lebih putus asa daripada diri saya.



Akhirnya kami sama-sama merasa perlu bersemedi dan saya katakan kepadanya barangkali kita harus sama-sama menjadi orang kebanyakan dulu, sebelum terjadi pernikahan itu.



Panji Semirang tidak mempercayai pendapat saya. Dia bilang, "Saya seorang raja dan tidak akan pernah menjadi orang kebanyakan."



Saya mencoba bersabar dan menerangkan hal ini pelan-pelan. "Kita hidup di zaman di mana hidup ini telah dikotak-kotak dalam kelas-kelas sosial dan itu berlaku di masa kita. Barangkali adalah sebuah keberanian saja ketika kau menjadi orang kebanyakan."



Kemarahan membeludak terlihat jelas di mata Kang Mas Panji Semirang. "Aku seorang kesatria yang harus memikul tugas negeri ini, bagaimana bisa aku menjadi orang kebanyakan dan tidak melakukan apa-apa kecuali bercinta denganmu?"



Saya ingin menamparnya. Tapi ketika saya melihat kesedihan di seluruh permukaan wajahnya, saya sedih sekali. Saya memeluknya, menghiburnya, dan hampir mengajaknya untuk tidak peduli dengan Jenggala dan Daha.



Tapi, kemudian yang terlihat adalah janda-janda, anak-anak yatim-piatu yang terabaikan. Kemudain saya katakan, "Kita akan bertemu karena kita saling mencintai..."



"Aku lebih suka wadag-mu yang sekarang."

Tanpa terasa kami menangis bersama. Tiba-tiba matahari sudah mulai bersinar dan pelan-pelan saya mendengar suara Bunda dari balik pintu.



"Saya ingin kamu pergi, dan tidak melakukan bunuh diri."

Bunda memang punya naluri yang tajam. "Saya akan pergi pagi ini juga, Bunda," jawab saya.



Kemudian saya membuka pintu kamar. Bunda memeluk dan berkata sangat tegas, "Nduk, aku sudah menyiapkan orang-orang yang akan menemani kamu selama menjadi orang kebanyakan. Pagi ini adalah penghabisan kita bertemu. Mungkin beberapa tahun lagi kita baru bisa bertemu setelah Nak Mas Panji Semirang menikah dengan Sekartaji dan melupakan cintanya kepadamu. Aku kira itu mudah bagi Nak Mas Panji Semirang karena Sekartaji mencintainya dan mereka sama-sama putra raja."



Kemarahan saya menjalar lagi ke seluruh tubuh. "Bunda, apakah dalam hidup ini kita harus selalu diatur oleh raja, suami, dan kakak laki-laki?! Apakah sebagai perempuan kita tidak punya pilihan hidup di jagat ini? Bunda, saya sudah memilih dan percayalah pilihan saya bukan karena putus asa. Bisakah saya memilih menjadi perempuan yang menentukan apa yang saya mau? Dan apakah Bunda mau merestui?"



Bunda menangis dan saya tidak tahu apakah dia membenarkan ucapan saya atau tidak. Yang pasti, dia memberikan kebebasan itu. Saya terkejut karena merasa baru kali inilah saya melihat Bunda berpendapat bukan atas nama suami, tetapi sebagai perempuan yang bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Saya menangis.

****

Kemudian semua orang tahu saya bunuh diri. Dan itu mempersatukan Daha dan Jenggala. Juga semua orang tahu ketika saya meninggal Panji Semirang begitu sedihnya.



Di malam yang pekat dia mengembara jauh sekali sampai kemudian dia memutuskan untuk menjadi anak angkat orang kebanyakan, yaitu Mbok Rondo Dadapan dan memberinya nama Ande-Ande Lumut.



Baik Ande-Ande Lumut maupun saya sangat tahu bahwa kami adalah pengembara yang akan terus saling jatuh cinta di jagat ini. Karena itu, sekalipun Sekartaji menjadi Kleting yang buruk rupa (saya masuk ke wadag-nya), dari sekian perempuan yang melamarnya Ande-Ande Lumut menerima lamaran saya! ***

Malang, 14 Januari 2003

Catatan:


Cerita ini diadopsi dari cerita Mbah Karimun, tokoh Topeng Malangan. Ceritanya tentang "Panji Semirang" di babak Ande-Ande Lumut.