Jumat, 30 April 2004

Cincin Bernama

Cerpen Rini T.S.



Saat pertama melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak tampan. Bahkan tampilan fisiknya boleh disebut kusut. Gondrong sebahunya pasti hanya sesekali disisir dengan jemari tangannya. Dan ketika hidungku hanya berjarak beberapa senti dari tubuhnya, tak ada yang bisa tertangkap selain aroma keringatnya yang berbaur dengan bau kerak nikotin yang sangat menyengat. Ia laki-laki yang selalu berasap.



Ia juga susah dimasukkan ke dalam kelompok laki-laki supel yang gampang akrab. Bahkan aku baru bisa bercakap-cakap dengannya dalam arti yang sesungguhnya setelah nyaris putus asa. Hari pertama, aku hanya mendapatkan senyuman hambarnya. Aku belum mendapatkan sedikit pun alasan untuk tertarik padanya. Hari kedua, kami baru berjabat tangan, dan kusebut namaku, dan ia sebut namanya.



"Ouw, aku sudah kenal nama itu. Kau cukup banyak menulis artikel seputar persoalan perempuan, kan?"



Aku sedikit terkejut, padahal sudah menduga sebelumnya jika ia akan berkomentar seperti itu setelah kusebut namaku.



"Aku juga cukup banyak membaca tulisan-tulisanmu," kataku, yang kemudian dia sambut dengan ucapan terima kasih. Padahal, di dalam hati aku berkata, "Sayang, kau tak sehangat tulisan-tulisanmu. Kupikir kau orangnya hangat, menarik, tak akan pernah kehabisan bahan cerita. Eh, ternyata nyaris gagap di "darat"! Laki-laki yang tidak menarik!"



Tetapi kekecewaanku lebih dari sekadar terobati ketika menyaksikan penampilannya di depan forum. Di antara moderator dan tiga orang pemakalah yang dipanelkan di dalam sesi itu, ia benar-benar jadi bintang. Tiba-tiba aku melihat dia dengan wajah baru, dengan kesegaran baru, dengan semangat baru. Dia tidak lagi gagap, bahkan terkesan garang, walau tidak segarang tulisan-tulisannya yang selama ini aku kenali (catatan: kemudian aku tahu bahwa sekian banyak tulisannya tidak aku kenali sebagai tulisannya karena dia menulis dengan beberapa nama samaran). Tiba-tiba aku melihat auranya menjadi sedemikian cemerlang. Ia menjadi sangat menarik, bahkan sangat merangsang! Aku pun kasmaran. Benar sekali kata Diat, temanku, bahwa bagian tubuh paling seksi itu adalah otak!



Maka, begitu ia turun dari tempatnya, aku ikutan menghambur untuk menyalaminya, mengucapkan selamat atas kesuksesannya sebagai pembicara, dan yang paling penting adalah memuaskan diri, menghisap aroma keringatnya yang tak jadi soal lagi walau berbaur dengan bau kerak nikotin yang sangat menyengat itu. Ini hari keempat. Dan pada hari keenam, aku harus sudah meninggalkan kota dengan segudang sebutan ini: Kota Budaya, Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota "Seks in the Kost".*)



Hari kelima, waktu istirahat dan makan siang, aku sudah menjadi akrab dengannya. Dari sorot matanya aku tahu betul bahwa diam-diam ia pun mengagumiku. "Pertanyaanmu tadi sangat cerdas," pujinya. Aku tidak terkejut, tetapi sedikit kecewa. Aku ingin ia bilang aku cantik. Ah!



Lalu kami berdiskusi sambil makan, minum, dan sebentar kemudian ia menjadi laki-laki berasap. Rokoknya sambung-menyambung. Tetapi anehnya, aku makin kerasan berada di dekatnya. Waktu pun seperti makin bersicepat. Hanya tinggal satu hari satu malam kesempatan tinggal di tempat yang sangat menyenangkan ini.



"Setelah ini inginmu masuk ke ruang apa?" tanyaku tiba-tiba, dan aku pun kaget sendiri, membayangkan dia tahu persis apa motivasi pertanyaan itu.



"Sebenarnya aku sudah sangat jenuh. Mereka hanya mengulang-ulang kalimat-kalimat lama. Persoalan-persoalan lama. Lagu lama. Aku sih pengin jalan-jalan saja. Esok sudah hari terakhir. Tapi…."



"Boleh aku ikut?"

"Oh, ya? Sebenarnya aku mau ajak Titok, tetapi dia pulang tadi pagi, ditelepon istrinya. Katanya ada sesuatu yang penting yang mesti cepat ia selesaikan."

"O, Titok yang dari Solo itu, ya?"

"Ya. Kenal dia?"

"Kenal, terutama dari tulisan-tulisannya."

"Ya, aku juga suka membaca tulisan-tulisannya. Aku juga baru mengenalnya secara langsung di sini, terutama karena harus sekamar dengannya."



Sebentar kemudian kami sudah berada di sebuah taksi. Keliling kota. Turun di warung ikan bakar, makan sama-sama, lalu jalan kaki sama-sama. Lelah, naik taksi lagi, turun, jalan-jalan lagi, begitu entah sampai berapa kali ganti taksi. Lalu, tiba-tiba kami sudah berada di pusat kota. Orang bilang, belumlah sempurna mengenal kota ini tanpa pernah menyusuri jalan yang satu ini.



"Jika aku ingin memberimu tanda mata, apa yang kauinginkan?" demikian pertanyaannya, sangat mengejutkanku! Dan yang lebih mengejutkanku lagi adalah jawaban spontanku, "Cincin!"



"Oh, ya?"

"Tapi bukan cincin emas. Aku menginginkan sebentuk cincin perak. Kau mau membelikannya untukku? Lalu, sebagai kenang-kenangan dariku, apa yang sebaiknya kubeli untukmu?"

"Cincin."

"Ha?"

"Aku sudah punya cincin emas, aku juga ingin punya cincin perak, yang di lingkar dalamnya terukir namamu."

"Hah…?"

"Apakah permintaanku berlebihan?"



Aku tidak memberikan jawaban berupa kata-kata untuk pertanyaan itu. Tetapi kemudian aku penuhi permintaannya dan dipenuhi pula permintaanku. Kami, masing-masing mendapatkan sebentuk cincin "bernama". Ada namaku pada cincin yang kubeli untuknya, dan ada namanya pada cincin yang dia beli untukku. Aku merasa sangat senang, jika terlalu berlebihan untuk disebut bahagia. Rasanya seperti ketika waktu kanak-kanak dulu mendapatkan baju baru, atau hadiah menarik dari ayah atau ibu. Hatiku berbunga-bunga. Bunga warna-warni: merah, kuning, putih, biru. Aku hampir saja melompat ke dadanya yang kerempeng itu. Coba, jika benar itu kulakukan dan kemudian ia terjengkang dan terkapar dalam keadaan aku bertahta di atas dadanya, betapa konyolnya. Hahaa, sebenarnya aku ingin mengatakan, "Betapa dramatiknya!"



Kemudian tibalah saat yang menyedihkan itu. Acara berakhir, dan aku harus berpisah dengannya.



"Kau selalu di hatiku," gombalnya.

"Ah, terlalu dalam. Aku ingin berada di atas dadamu saja," lucuku.

Tetapi dia tidak tertawa. Aku juga. Kami benar-benar bersedih.

"Jangan bosan-bosan membalasnya, aku akan rajin mengirimimu SMS," pintanya.

"Tentu. Bisa jadi aku akan lebih rajin mengirimimu."

"Ya, kirimkan rindumu padaku."

"Tentu!"



Di bandara kulihat matanya berkaca-kaca. Sayang, kami harus menaiki pesawat yang berbeda. Ada keharuan yang mendesak-desak ketika kami saling melambaikan tangan. Sama-sama melambaikan tangan kiri, sekalian untuk saling meyakinkan bahwa kami memakai cincin bernama itu di jari manis kami. Aku yakin dia tidak sedang berbasa-basi. Seperti aku, tidak sedang berbasa-basi. Kini, aku sedang melayang-layang menyibak gugusan awan, lalu menukik tajam, bagai tersedot mulut jurang tanpa dasar itu: cinta!



Berlama-lama aku memandangi sebentuk cincin yang melingkar di jari manisku ini. Lalu kulepas, kupandangi deretan huruf di lingkar dalamnya, sebelum kemudian kupakai lagi, kulepas lagi, kupakai lagi… Pikiran dan perasaanku menjadi sangat sibuk. Seolah aku sudah tidak kuasa mengendalikan diri. Tiba-tiba aku sudah menyalakan komputer.



"Thing, thung, thing…."

Ouw! Itu suara ponselku jika menerima SMS.

"Aku mulai gelisah, cemas, dan merasa kesepian. Aku merindukanmu!"

"Oh, aku juga."

"Aku yakin, aku sangat mencintaimu."

"Rasanya, aku juga."

"Oh, ya? Kita menikah saja, ya?"

"Hm, secepat ini kaubuat keputusan? Aku takut kau sedang mabuk."

"Mabuk? Aku tak suka minum."

"Mabuk asmara, maksudku."

"Ah, percayalah padaku."

"Aku percaya. Tetapi kapan kita akan menikah?"

"Sekarang juga!"

"Ha…? Sekarang…?"

"Ya. Kunikahi kau dengan segenap cintaku. Tak sabar lagi aku untuk memanggilmu sebagai istriku."

"Ya, kuterima cintamu. Aku bersedia menjadi istrimu, suamiku!"

"Oh, istriku….!"

"Ya, suamiku…!"

"Chpmshshmmmm…..!"

"Mmmmuach…!"

Lagi, di depan komputer, berlama-lama kupandangi sebentuk cincin yang melingkar di jari manis ini. Lalu, kulempar ke dalam keranjang sampah sekantung cincin bernama yang kubangga-banggakan selama ini. Dan sambil sesekali membalas SMS "suamiku", aku pun mulai menulis, "Saat pertama melihat tampangnya, tak sedikit pun aku menduga bakal mengalami kecelakaan ini: jatuh cinta! Ia tidak tampan…."***

Temanggung, 2004



*) Seks in the Kost, judul buku karya Iip Wijayanto (Penerbit Tinta, Jogjakarta, 2003).

Kamis, 08 April 2004

Indri

Cerpen: Asa Jatmiko



Indri masih diam memaku di depanku. Saya pun sesaat diam untuk memberi kesempatan ia berkata-kata. Atau minimal membiarkannya menghela napas dalam dengan rasa bebas. Tapi Indri tidak melakukan apa-apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang sedikit ikal tersisir rapi dalam dua belahan ke belakang. Lalu Indri menunduk membenarkan baju ungu yang dikenakannya, kembali menatapku. Dan masih tanpa suara.



"Kartu Kesehatan kamu terpaksa dikembalikan oleh perusahaan," kata saya sekali lagi. "Kalau kamu masih berharap bahwa cuti kehamilanmu disetujui untuk mendapatkan biaya ganti, mestinya kamu mau mendengarkan saranku."



Indri hamil. Sebagaimana biasanya, setiap buruh wanita yang hamil akan mendapatkan uang dan kesempatan cuti hingga masa persalinannya. Ia sudah mengajukan sekitar dua minggu yang lalu, tetapi hari ini Kartu Kesehatan yang disertakan dalam pengajuan cutinya kembali. Alasannya, tidak tercantum nama suaminya.



"Saya harus mengisi siapa?" tanya Indri. Saya sudah menduga ia akan mempertanyakan hal itu. "Itulah maksud saya, sedikit direkayasa kan tidak apa-apa. Untuk sementara saja, daripada kamu malah tidak mendapatkan hakmu!" jawab saya, karena saya pikir itu akan ikut membantunya.



"Iya, saya tahu maksud Bapak. Saya harus mencatut sebuah nama agar saya bisa mendapat santunan, begitu kan?! Saya harus memanggilnya sebagai suami yang tidak pernah menikahi saya, semata-mata demi santunan itu?!" kata Indri setengah parau.



"He, bukan santunan! Itu hakmu sebagai buruh! Perusahaan berkewajiban memberikan uang untuk biaya kehamilanmu!" Saya mengingatkan. Bahkan saya katakan kepada Indri untuk tidak berterima kasih kepada perusahaan, karena memang sebaliknya, itu bentuk terima kasih dari perusahaan, bentuk perhatian. Dan sekali lagi hal itu adalah wajib hukumnya! Indri tidak perlu merasa disantuni atau dibantu, kalau nyatanya memang mampu, tetapi perusahaan tetap akan memberikan uang itu kepadanya.



"Makanya, karena ini hakmu, penuhi dulu syaratnya. Tidak sulit kan kalau hanya sekedar menuliskan sebuah nama laki-laki di sini. Okelah kalau lelaki itu belum menikahimu saat ini, tapi nantinya toh tetap akan menjadi suami." Saya menjelaskan lebih luas lagi, demi dia sendiri. "Kau pun sebenarnya agak keliru, kenapa terjadi hamil sebelum kalian menikah!"



"Saya tidak pernah menikah! Saya diperkosa! Dan saya tidak memiliki lelaki yang saya cintai!!" Indri menjerit, dan menangis.



"Kamu… diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?"

"Mereka bukan pacar saya! Saya tidak mencintai siapa pun!"

"Mereka? Artinya lebih dari seorang…." Tapi saya tak tega mempertanyakannya. Sudah cukup jelas, Indri diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Buru-buru, demi melihat penderitaannya, saya meminta Indri untuk datang kembali besok pagi sebelum saya pergi ke kantor pusat.



"Dia memang perempuan nakal, Pak! Biarkan saja, ia layak mendapatkan risikonya sendiri. Kita ikut susah, tapi kesia-siaan yang akan kita dapat," celetuk pembantu kantor saya.



Tapi saya membiarkan pendapatnya menguap di udara. Semestinya bagi saya untuk memperjuangkan haknya yang wajar dia dapatkan. Tidak ada yang istimewa. Soalnya adalah sebuah nama yang mesti saya tulis di Kartu Kesehatannya, siapa. Indri pun tak menyebut satu nama pun.



Sudah saya niatkan sore itu pergi menemui Indri, perempuan dengan rambut setengah ikal itu. Saya merasa perlu untuk mengetahui lebih jelas apa duduk persoalan sebenarnya. Jangan-jangan kehamilannya pun cuma akal-akalan, agar ia mendapat cuti hamil dan biaya ganti persalinannya. Buruh semacam Indri sangat mungkin melakukannya. Di samping malas, ia tidak berangkat kerja, tetapi tetap mendapatkan uang dari perusahaan.



Indri masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar 20-an. Di kota ini, tidak sulit menemukan perempuan yang menikah pada usia muda. Kebanyakan ukuran bukan pada usia, tapi pada jaminan telah bekerja. Tidak apa menikah, asal sudah bekerja. Tapi mungkin perlu untuk memperhatikan ucapan pembantu kantor saya, siang tadi. Gadis seindah Indri, bukan tidak mungkin telah diperkosa sungguh-sungguh oleh karena, maaf, profesinya selain menjadi buruh. Indri seorang pekerja seks jugakah?



Kalau benar ia seorang pekerja seks pula, maka saya memang tak perlu susah payah mengupayakan cuti hamil dan biaya persalinannya. Biar saja orang akan mengatakan bahwa saya tidak memperhatikan anak buahnya. Saya lebih berprinsip, itu bagian dari proses pendidikan SDM di dalam pabrik. Kalau sudah niat bekerja, ya sebisa mungkin berjalan dengan lurus. Toh bisa semakin jelas apabila nanti ia diberi kepastian untuk memilih, kerja di pabrik atau keluar saja. Di tengah ribuan pekerja, apabila soal seperti itu dibiarkan, akan menjadi virus yang bisa menular. Buruh-buruh yang lain akan ikut-ikutan, karena merasa pihak perusahaan menutup mata.



Akhirnya, apa yang ingin saya katakan kepada pembantu kantor saya adalah citra. Ini yang penting. Saya ikut bertanggung jawab terhadap baik dan tercorengnya citra perusahaan. Oleh karena itulah saya ingin mendapatkan keterangan lebih jelas dan akurat mengenai Indri.



Dengan sedikit kikuk, Indri mempersilakan saya untuk masuk. Saya sudah bilang agar jangan menganggap saya sebagai atasannya di rumahnya. Tapi itu mungkin sulit baginya.



"Kapan kamu melahirkan?" tanyaku.

"Hari Sabtu. Berarti tiga hari yang lalu, Pak."

"Bagaimana, kau sehat saja?"

"Ya, seperti inilah. Bapak melihat sendiri."



Indri tersenyum, tersipu-sipu dengan sepasang bibir merah yang basah. Saya mencicipi minuman teh yang ia sajikan. Lalu saya menanyakan kembali soal cuti hamil yang dibahas di kantor. Indri kembali kelihatan serius.

"Ada apa?"

"Tidak, Pak. Saya hanya merasa jenuh kalau harus memikirkan hal itu lagi," jawabnya.



"Tapi itu sangat perlu. Apa kamu mau katakan siapa mereka yang telah memperkosamu sehingga kamu hamil?" Indri menggeleng. "Kenapa kau menutupi mereka? Mereka telah berbuat sangat jahat kepadamu!"

"Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Pak."



Baiklah. Saya menanyakan bagaimana keluarganya atau saudaranya. Saya mendapat ide, agar nama suami di Kartu Kesehatan yang masih kosong itu diisi nama salah seorang familinya. Bisa pamannya atau kakaknya atau siapa pun. Yang penting ada perjajian sebelumnya, bahwa setelah dana turun nama itu dilepas. Saya tidak tahu apakah itu sudah menyalahi aturan atau tidak. Tapi kalau di antara mereka saling percaya, saya kira persoalan tidak menjadi sulit.



Tapi Indri tidak mau. Ia bilang bahwa ia sudah malu dengan keluarga, sehingga sudah buntu untuk minta tolong. Keluarganya tidak ingin ikut cemar gara-gara dia, kata Indri.



Siang yang lain saya masih menunggu Indri di kantor. Tetapi ia tidak muncul juga, sehingga saya terpaksa harus tetap pergi ke pusat tanpa ada kejelasan sikapnya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak sekedar memberikan Kartu Kesehatan, tetapi dengan penjelasan bahwa bagaimana pun Indri tetap berhak atas uang cuti persalinannya.



"Sebagai pribadi, saya sebetulnya kasihan. Tapi keputusan perusahaan yang tetap memberikan uang cuti hamil kepada buruh yang hamil tanpa suami? Apa kata dunia?!" kata manajer personalia kepada saya. Saya sudah menyadari hal itu, pikir saya. Lalu saya disuruh meninggalkan ruangannya tanpa mendapat kejelasan nasib Kartu Kesehatan Indri. "Lihat nanti sajalah!" katanya.



Sore yang lain lagi, saya kembali mendatangi rumah Indri. Kedatangan saya disambut tangis bayinya. Saya pun memberanikan diri untuk menggendongnya. "Indri, kalau boleh, biarkan anak ini menjadi anak saya. Belum terlalu tua aku punya bayi, kan?"



Indri menangis terharu. "Segeralah kamu cari pacar, dan kawin," kata saya lagi. "Lupakan masa lalu ini." ***



Kudus, 2003

Selasa, 06 April 2004

Nyanyian Malaikat

Cerpen: Sunlie Thomas Alexander



MALAIKAT akan senantiasa bernyanyi. Mengiringi orang-orang memetik sahang(1, kata nenek sembari menghisap kreteknya dalam-dalam. Amir mencoba membayangkan rupa malaikat itu.



Cantik, berhidung mancung, berbibir tipis yang selalu merekah basah, dan bermata cemerlang sebiru laut. Mengenakan gaun panjang putih bersih berenda-renda yang menjuntai sampai ke tanah. Dengan sepasang sayap putih yang berpendaran kemilau, mengepak-ngepak lembut. Seperti gambar di buku cerita yang pernah dilihatnya di perpustakaan sekolah. Dalam bayangannya, malaikat itu hinggap di pucuk-pucuk junjung(2 sahang, melayang-layang di atas ladang, sambil bersenandung lirih dan bermain harpa.



Berminggu-minggu sejak itu, ia selalu memasang telinga menunggu nyanyian itu terdengar, seperti kata nenek, menyelinap di antara gemerisik daun-daun lada, kicau burung-burung, senda gurau para perempuan memetik sahang, dan suara riak air sungai yang tersibak dilewati kapal-kapal pengangkut kayu dan biduk sampan. Setiap pulang sekolah, tanpa berganti pakaian ia sudah berlari-lari ke ladang. Ikut membantu emak dan ayuk(3 Siti mengumpulkan biji-biji sahang yang sudah berwarna merah, jingga, dan kuning ke dalam kaleng-kaleng untuk kemudian dituangkan ke dalam karung-karung goni bekas beras, sebelum dibawa direndam di pinggiran sungai, sambil membuka telinga lebar-lebar berharap nyanyian itu akan melintas.



Tetapi sampai masa panenan berakhir dan orang-orang kembali mulai menebang junjung, menanam bibit-bibit baru, nyanyian itu tak kunjung didengarnya. Apakah nenek berbohong? Sebagaimana juga cerita tentang peri hutan yang suka mandi di kolong(4 pada petang hari saat hujan gerimis, kuntilanak-kuntilanak yang sering begagit(5 di pohon Aro belakang rumah, atau hantu Mawang yang bisa menyamar sebagai manusia, menyerupai siapa saja yang dikehendakinya.



"Nenek tidak bohong, Cung.(6."



"Lalu kenapa Amir tidak pernah mendengarnya, Nek?"



"Suatu saat Amir pasti akan mendengarnya."



"Apakah suara malaikat itu merdu, Nek?" tanyanya belum puas.



"Ya, merdu. Merdu sekali."



"Semerdu suara emak?"



"Ya, semerdu suara emakmu." Nenek kembali menghisap kreteknya. Amir suka sekali mendengar emak menyanyi. Dulu sebelum menikah dengan ayah, emak adalah seorang penyanyi pada organ tunggal milik Mang Jurik. Emak menyanyi dalam pesta-pesta hajatan orang-orang kampung, bahkan jauh sampai keluar kampung. Sebagai seorang biduanita, emak memang menjadi primadona. Bukan hanya karena suara emak yang begitu merdu, sehingga tak tertandingi oleh penyanyi-penyanyi lainnya, tetapi juga karena emak pintar berjoget. Kata pakwo(7 Hendi, goyangan emak selalu membuat penonton bertepuk riuh dan tak tahan untuk tidak ikut berjoget. Setiap kali organ tunggal Mang Jurik tampil, orang-orang selalu datang berduyun-duyun dari pelbagai kampung. Tua-muda, laki-perempuan, besar-kecil. Itulah sebabnya setelah menikah dengan ayah dan memutuskan berhenti menyanyi, Mang Jurik kalang-kabut dan bolak-balik membujuk emak agar mau kembali manggung. Tentu saja dengan berbagai tawaran manis. Namun emak tidak bergeming.



Amir jadi merindukan suara emak menyanyi. Nyanyian yang selalu meninabobokannya dalam mimpi indah tentang bidadari-bidadari yang cantik dan baik hati, taman-taman bunga yang terbentang luas dengan lembah-lembah hijau nan sejuk dan sungai-sungai yang mengalir jernih. Tetapi kini Amir telah kehilangan nyanyian merdu itu. Amir tidak tahu sudah berapa lama emak tidak pernah lagi bernyanyi dan mengapa emak tidak lagi menyanyi. Padahal betapa dia ingin mendengar emak menyanyi. Dulu rasanya tidak pernah ada hari yang dilewati emak tanpa menyanyi. Ketika mandi dan mencuci di kolong, ketika menemaninya tidur, ketika merajut baju, ketika menisik atap rumbia di beranda, ketika memetik sahangà



Sejak ayah pergi membawa kapal motor pengangkut kayu gelondongan ke Jakarta lewat sungai besar yang membelah kampung dan tidak pernah kembali, emak tidak pernah lagi bernyanyi. Kata Oom Taufiq, anak buah ayah yang membawa pulang kapal, ayah menghilang entah ke mana dan tidak pernah ditemukan saat kapal bersandar di Kali Baru untuk membongkar muatan. Dia hanya membawa pulang buntalan pakaian milik ayah. Emak cuma bisa menangis. Berbulan-bulan, orang-orang yang disuruh mencari ayah selalu pulang dengan gelengan kepala, yang membuat emak semakin tenggelam dalam kemuraman wajahnya yang dulu senantiasa berseri-seri. Berbulan-bulan, berbilang tahun, emak masih menanti, berharap ayah suatu hari akan tiba-tiba muncul di kampung, tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan ayah. Sejak itulah, Amir tidak pernah lagi mendengar emak bersenandung. Pernah suatu hari, Amir meminta emak menyanyi, tetapi dia malah dibentak dan dicacimaki emak dengan kata-kata yang kasar. Baru sekali itu emak memarahinya sedemikian rupa.



***



"MALAIKAT itu selalu bergerak seperti cahaya. Sehingga mustahil bagi mata kita untuk dapat melihatnya." Amir tercenung mendengar kata-kata Pak Haji Faqih, orang tua yang selalu mengajarinya dan anak-anak kampung lainnya mengaji, belajar mengeja alif bata di surau.



"Tapi kata nenek, kita bisa mendengar suara malaikat menyanyi, Wak(8?" Amir langsung mengangkat tangan bertanya. Pak Haji Faqih hanya tersenyum tipis, disapunya wajah lugu murid kecilnya itu. Anak yang selalu paling banyak bertanya. Dan ketika berhenti di mata anak itu yang berbinar-binar menunggu jawabannya, ia seperti melihat sesuatu yang bergejolak. Dia dapat merasakan ada sesuatu yang lain pada diri anak tersebut. Entah apa.



"Hanya nabi yang pernah mendengar suara malaikat, Nak," tukasnya lembut. "Tapià" Pak Haji Faqih tidak langsung meneruskan, namun kembali menelusuri wajah anak di hadapannya dengan agak ragu, "Mungkin saja nenekmu benar."



Amir menyimpan jawaban mengambang itu lekat-lekat dalam benaknya. Membawanya ke dalam tidur. Tidur yang tak lagi dihantar nyanyian emak yang membelainya dengan hangat. Tetapi dalam tidurnya malam itu, ia bermimpi mendengar lagi suara emak menyanyi. Dalam mimpinya, emak menyanyi sambil memetik sahang di ladang. Merdu sekali. Betapa sudah sekian lama ia tidak pernah mendengar suara semerdu itu. Betapa rindunya ia pada nyanyian emak. Tiba-tiba, di tengah suara nyanyian emak yang mendayu-dayu di antara gemerisik daun-daun lada, ia mendengar suara seperti kelepak sayap burung. Kelepak yang kemudian menimbulkan angin keras. Menggoyangkan daun-daun lada, membuat rok emak tersingkap. Disusul suara nyanyian tak kalah merdu, teramat merdu yang menimpali suara nyanyian emak. Terkejut, ia mendongak. Seorang malaikat yang cantik jelita dengan rambut terurai kemilau laksana cahaya sedang hinggap di atas salah satu batang junjung sahang sambil menyanyi dan memetik harpa. Wajahnya memancarkan tujuh warna pelangi. Mengenakan gaun panjang putih bersih berenda-renda yang berjuntai hingga ke tanah, bersayap putih lembut bagaikan salju yang terang-benderang, seperti dalam bayangannya selama ini. Sepasang mata malaikat itu yang sebiru samudera menatapnya dengan lembut seperti tatapan nenek.



Dalam tidur, Amir tersenyum bahagia. Sedemikian lelap dalam mimpi yang indah itu. Sehingga tidak didengarnya sedikit pun suara dengus, rintihan, dan erang tertahan sampai subuh menjelang dari kamar sebelah, di mana tubuh emak sedang ditindih sesosok lelaki yang diharuskan oleh emak dipanggilnya ayah.



***



INI bukan pertama kali ia menyaksikan lelaki itu menempeleng emak. Seperti yang sudah-sudah, disusul makian kotor dan barang-barang dibanting. Amir terbelalak di belakang pintu kamar ketika melihat bagaimana lelaki itu meraih okulele tua kesayangan ayah yang tergantung di dinding ruang tamu lalu membantingnya ke lantai. Dia ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Okulele mengkilap yang dulu sering dipetik ayah sore-sore mengiringi emak menyanyi itu pecah berantakan. Emak meraung keras. Tanpa sadar Amir mencengkeram daun pintu kuat-kuat, mata dan dadanya terasa panas. Sementara ayuk Siti menangis terisak-isak di atas tempat tidur. Meringkuk pucat.



"Babi kau Taufiq! Anjing!" emak menangis tersedu-sedu memeluk okulele yang pecah itu. Lelaki itu menyeringai lebar lalu tertawa terkekeh.



"Pokoknya besok kalau Ko(9 Akhiong datang, ladang itu harus jadi dijual!" tukasnya sambil melotot besar lalu menyalakan sebatang rokok.



"Sekali aku bilang tidak, tetap tidak, lelaki tak tahu diuntung!" emak balas melotot tak kalah galak.



"Perempuan bagak(10! Tanah itu mengandung banyak timah, tahu! Harganya tinggi! Lagi pula buat apa kau mempertahankan lagi ladang itu? Masih mau nanam sahang?" lelaki itu tersenyum sinis. "Kau pikir harga sahang agik pacak(11 naik? Ka dak nengok, di mane-mane urang nanam sahang saro bae! Mane pupuk lah mahal, junjung lah dak tahu agik nek nebang di mane!"(12



"Kalau aku tetap tidak mau jual, kau mau apa?" suara emak melengking.



"Tetap akan kujual."



"Bangsat! Apa hak kau menjualnya? Itu ladang peninggalan Muis, lakiku!" emak menjerit.



"Hei, yang jadi suamimu sekarang itu aku! Aku!" bentak lelaki itu sambil memukul-mukul dadanya sendiri.



"Kalau begitu sekarang juga aku minta cerai! Rugi aku mau menikah denganmu! Aku minta talak tiga!" emak menjadi kalap.



Amir mencengkeram daun pintu semakin keras. Keringat deras membasahi seragam sekolah yang masih dikenakannya. Sungguh tidak dapat dibayangkannya ladang itu akan dijual. Terlintas olehnya malaikat jelita yang bernyanyi dan memetik harpa di atas junjung sahang itu. Masih tergiang olehnya suara nyanyiannya yang merdu di antara suara nyanyian emak, kicau burung-burung Punai, gemerisik daun-daun lada tertiup angin, dan aroma merica yang begitu harum. Kedua tangannya mengepal. Gemetar. Perlahan ia membuka pintu kamar. Diliriknya parang bersarung papan yang tergantung di dinding. Parang yang biasa dibawa emak ke ladang. Lututnya terasa goyah. Lelaki itu kembali membentak emak. Tangannya menjadi dingin. Secepat kilat ia menyambar parang itu, mencabutnya dari sarung. Lelaki itu kaget. Emak berseru tertahan. Creeesssà.!! Lelaki itu berteriak meraung. Suaranya memecah kelenggangan petang. Mata parang itu berubah merah.



***



HUJAN rintik-rintik menjadi deras. Masih terdengar olehnya suara-suara ramai berseru tegang di belakang, juga suara emak yang menjerit-jerit ketakutan dan menangis tersedu-sedu. Dengan nafas terengah-engah didayungnya sekuat tenaga sampan kecil miliknya yang dulu dibuatkan ayah. Menjauhi pinggiran kampung. Kampung di tepi sungai besar itu, orang-orang lebih senang menyebutnya Kute, dan konon merupakan kota pertama di pulau Bangka. Kampung kecil yang selalu ramai disinggahi kapal-kapal pengangkut kayu dan kelapa sawit dari Sumatera daratan dan pulau Jawa.



Tiba-tiba terdengar olehnya sayup-sayup suara nyanyian itu. Semakin keras bersamaan dengan semakin jauh sampan yang dikayuhnya bergerak membelah riak sungai. Sedemikian indah, sehingga ia terpana. Nyanyian itu seperti diiringi suara semacam tiupan terompet, namun lain. Bunyinya membahana lantang, bergema di langit petang yang semakin gelap. Kuning keungu-unguan. Suara alat musik apakah itu? Amir tidak pernah mendengarnya. Tapi seketika ia jadi teringat pada cerita yang pernah dituturkan nenek, dan terkesima. Apakah itu bunyi tiupan sangkakala? Dia ingat nenek pernah mengatakan, malaikat Israfil akan meniup sangkakala pada hari kiamat.***



Yogyakarta, Lebaran 2003



CATATAN :

1. Lada putih (White Muntok Pepper).

2. Kayu/tiang tempat merambat pohon lada, biasa kayu yang digunakan adalah kayu Seru.

3. Kakak perempuan.

4. Danau yang tercipta akibat pertambangan timah.

5. Bercanda, bersenda gurau.

6. Cucu.

7. Paman, kakak ayah yang paling tua.

8. Paman, panggilan untuk orang lain yang lebih tua dari ayah.

9. Kakak (bahasa Cina), panggilan untuk orang Cina yang lebih tua.

10. Bodoh, goblok.

11. Masih dapat.

12. Kamu tidak lihat, di mana-mana orang yang menanam lada susah semua! Mana pupuk sudah mahal, junjung lada tidak tahu lagi harus tebang di mana!

Senin, 05 April 2004

Negeri di Balik Bulan

Cerpen Achmad Munjid



Bunga, sayang...

Kutulis surat ini di sebuah kafe, sesaat setelah senja melenyap di kaki langit Kota Laut yang tenteram. Tahukah kamu, sejak kita memutuskan untuk tidak pernah lagi saling bertemu, aku segera berkemas mengikuti pelayaran panjang yang tak akan kembali ini. Sebuah pengembaraan yang akan kutempuh sepanjang waktu, menuju Negeri di Balik Bulan. Kota Laut yang tua dan megah ini adalah tempat persinggahan entah yang keberapa sejak keberangkatan kami dari Kepulauan Halmahera bertahun silam.



Aku bergabung bersama rombongan yang kira-kira terdiri dari dua ribu orang, dengan dua kapal yang selalu meluncur gagah membelah gelombang. Sebagian besar mereka adalah para pengungsi korban kerusuhan. Sedang beberapa ratus orang lainnya merupakan penumpang khusus yang datang dari segala penjuru. Yakni, para pengemban tugas nenek moyang masing-masing yang telah mempersiapkan mereka sejak beberapa generasi sebelum mereka lahir. Mungkin akulah satu-satunya anggota yang bergabung karena alasan yang bersifat hampir kebetulan.



Kalau saja matamu yang indah bisa ikut menyaksikan pemandangan luar biasa menakjubkan malam itu, kau pun tentu akan tak kuasa menahan hasrat seperti setiap orang di antara kami yang tergabung dalam kudus ini. Ialah suatu dorongan murni yang demikian teguh untuk segera menembus lautan waktu. Untuk meninggalkan seluruh nestapa dan derita, dan menyongsong kehidupan baru di negeri penuh pesona, Negeri di Balik Bulan.



Bungaku sayang, entah setelah berapa jam kami menunggu dengan perasaan hampir-hampir putus asa, menjelang pagi di awal milenium itu akhirnya kami pun benar-benar menjadi saksi atas munculnya sebuah garis lurus berwarna putih keperakan yang kilau-kemilau dan kian membiru di kedua ujungnya. Itulah suatu wujud yang tak sabar telah kami tunggu-tunggu dengan jantung kian berdebar. Garis itu mula-mula nampak sebagai cahaya tipis yang memantul dari wajah bulan yang menyembul dari balik menara mercusuar Pelabuhan Teluk Malina. Di bawah lengkung langit berwarna kesumba, cahaya itu turun menembus kabut yang mengambang di atas permukaan laut dan seketika mengubahnya menjadi taburan aneka partikel mutiara yang tak terhitung jumlahnya.



Karena efeknya yang sangat lembut pada retina, sama sekali tak kami sadari bahwa dalam beberapa detik berikutnya garis itu sebenarnya telah menjadi sapuan sinar teramat tajam yang membuat segenap wujud di depan kami tampak bahkan lebih nyata dari manifestasinya di siang hari. Pahatan indah kulit-kulit kerang yang berserakan, buih-buih gelombang yang pecah berpendaran, terumbu karang tak terperikan. Sungguh, semesta wujud di sekeliling kami telah menjelma begitu sempurna. Segalanya hadir tanpa bayangan. Dalam gelimang cahaya seperti itu sampai-sampai hampir kami semua lupa bahwa di dunia ini memang pernah ada malam.



Ketika itu garis cahaya yang telah menyerap segenap ketakjuban kami pun telah menjadi sebentuk sabuk permata raksasa yang mendekap lautan. Di depan kami, kini menjelmalah serupa hologram jalan raya maha licin dan terang-benderang yang siap menghantarkan manusia ke tempat segala tujuan. Entah berapa lama setiap pasang mata kami yang menyaksikan kenyataan itu sama sekali tak kuasa mengerjap, sebelum masing-masing akhirnya menitikkan air mata bahagia. Seperti yang secara rahasia telah diwariskan turun-temurun di antara mereka yang hidup menderita, itulah peristiwa penuh kemuliaan yang hanya terjadi selama beberapa saat saja dalam setiap seribu tahun. Ialah munculnya Garis Milenia, satu-satunya pedoman mengenai arah bagi mereka yang hendak berlayar menuju Negeri di Balik Bulan.



Maka, gegap-gempitalah puja-puji dan sorak-sorai kami mengawali perjalanan panjang itu. Diiringi suara mesin kapal yang menderu dan bunyi yang terus mendengung panjang saling bersahutan, kafilah kami bergegas. Kapal kami bertolak ke arah barat, dituntun oleh kemilau garis mukjizat yang membangkitkan segenap gairah bahagia manusia itu. Setelah beberapa mil baru kami sadari bahwa ternyata bahkan kami tak sempat lagi menengok ke belakang untuk sekedar mengucapkan "selamat tinggal" pada Pelabuhan Teluk Malina, tempat di mana seluruh penderitaan telah kami kubur untuk selama-lamanya.



Ketika segenap keajaiban yang telah melenyapkan setiap ingatan dan kata-kata itu akhirnya mendadak berpendar tanpa bekas, tubuh kami serasa serakan lembaran-lembaran kapas yang baru saja mendarat setelah melayang-layang mengarungi nun berlapis langit. Untuk beberapa saat, mata kami hanya bisa lamat-lamat memandangi guratan-guratan kusam berwarna merah di ufuk timur yang kemudian kami kenali kembali sebagai pertanda terbitnya fajar. Namun, bersamaan dengan berhembusnya angin pagi yang pertama dan riak ombak yang memecah menerpa badan kapal, kini hati kami telah sepenuhnya diliputi rasa damai dan sentosa. Dan tahukah kamu? Yang perlu kami lakukan selanjutnya tinggallah berlayar dan terus berlayar mengikuti arah peredaran matahari dan rembulan.



Kami tak akan pernah kurang suatu apa. Seperti sudah kami buktikan sendiri, setiap kali berlabuh, masyarakat di mana kami singgah bukan cuma telah mengenali kami. Mereka selalu menjemput kami dengan segala kebesaran, tepat di bibir pantai tempat kapal kami merapat.



Selamat datang, para musafir agung.

Serangkaian perjamuan sebagai ungkapan penghormatan paling tulus pun senantiasa terhidang dalam kelimpahan tiada tara selama persinggahan kami, di mana saja.



Meski telah kutekan-tekan begitu rupa, keheranan itu sempat terlontar juga.

Kami telah menunggu Anda sejak beratus generasi yang silam, secara turun-temurun, jawab mereka.



Tepatnya, sejak nenek moyang kami menyambut para pendahulu Anda sekalian, seribu tahun yang lalu.

Tuhan Yang Agung, puji seseorang di antara kami.



Kehadiran Anda adalah isyarat akan terpeliharanya kesejahteraan hidup kami dan anak cucu kami selanjutnya. Hanya karena nasib telah menentukan bahwa kami tidak bisa bergabung dengan Anda, maka kami menahan diri untuk tidak turut serta. Tapi, ijinkanlah kami mengantar Anda sekalian dengan sekadar perbekalan yang mungkin diperlukan sampai tempat persinggahan berikutnya, pinta tetua mereka begitu kami berpamitan. Di atas geladak pun termuatlah segala yang kami butuhkan untuk masa hingga terbitnya sekian bulan purnama berikutnya.



Bunga, maka seluruh pengalaman pelayaran mengikuti garis takdir itu sungguh tak terperikan menakjubkannya.

Kadang terlukis juga dalam anganku, seandainya saja aku bisa menempuh perjalanan kudus ini bersamamu. Memang, ketika hendak berangkat, di perbatasan kota ada saja orang-orang yang meneriaki kita sebagai dua anak manusia yang bebal. Sebagian lagi hanya mengurut dada iba, sementara yang lain berdoa. Tapi ada juga yang bersorak: Bravo... Go west young happy couple; just go to where God keep his promise.



Lalu, dari Pelabuhan Teluk Malina itu, kapal kita pun melaju, menembus langit harapan. Kita berpelukan di ujung haluan, menyongsong samudera yang menggelora. Bintang-bintang berkedipan setengah terpejam karena iri dan ikan-ikan pun terpaku di balik karang, mengintip betapa setiap helaan nafas dan aliran darah kita begitu sempurna menyatu. Meski akan ada jutaan peristiwa yang mengharu-biru, pelukan kita tak akan pernah melemah, hingga para malaikat terharu dan Tuhan tak lagi mengijinkan kita tersentuh bahaya.



Kita akan terus erat berdekapan sebagai sepasang kekasih yang setiap sel tubuh masing-masing begitu merindukan pasangannya, yang jiwa masing-masing selalu telanjang, saling merangkum dan memenuhi lainnya. Cinta adalah hasrat untuk memberi dan kesediaan untuk menerima seutuh-utuhnya, setulusnya, apa adanya. Dan kekuatan tak terperikan itulah yang telah mempersatukan kita. Berdua kita pun tak hendak berhenti menghayati penaklukan puncak-puncak gelombang paling indah yang bisa dialami sepasang cucu Adam dan Hawa yang saling mendamba.



Maka di suatu fajar yang cerah, ketika kita begitu tenang saling menatap di bawah keteduhan sebuah kota tempat kita istirah, lahirlah anak kita yang pertama. Seorang anak yang kelak akan selalu bertanya dengan mata berbinar dan kita menjawab segalanya dengan penuh suka-cita. Kita akan menyelimutinya dengan segenap cinta, membimbingnya dengan seluruh harapan dan menopangnya dengan berlaksa-laksa doa dan airmata. Kita tak henti memperhatikan setiap langkah kaki dan gerak bibirnya yang mungil.



Mama, Mama, itu apa, Ma? tanyanya padamu.

Oh, itu bunga, sayang, jawabmu. Indah bukan?



Horeee, bunga, bunga. Indaah sekali, Ma....., ia bersorak riang. Aneka warna kupu-kupu ikut tertawa-tawa ria mengitarinya.

Kelak kamu juga harus memiliki hati yang indah, seindah hati ibumu, aku membelainya. Dan ia menari dan bergelayutan manja di pangkuan kita.



Yang itu apa, Pa?

Itulah matahari, sumber kehidupan.

Horee, mataharii..., ia pun menyanyi.

Yang itu?



Itulah bulan, sayang, jawabmu syahdu. Ialah lambang kesetiaan. Siapa pun yang setia pada prinsip dan keyakinan dirinya, dia akan mempesona seperti bulan.

Betul, Pa? Bisakah kita ke sana?



Kita bahkan sedang menuju Negeri di Balik Bulan.

Horee, horeee..... Jadi kita akan bertemu para bidadari yang cantik-cantik itu, Pa? Jadi, kita juga akan memetik harpa para dewa, Ma? Sungguh?! Engm,... kalau yang itu, apa?



Yang biru membentang dan menggelora itu? Laut, Sayang. Ia amat dalam. Tapi, kamu harus tahu, masih lebih dalam lagi cinta yang telah melahirkanmu. Lagi-lagi sepasang tangannya yang mungil itu ditepuk-tepukkannya gembira. Kini ganti tanganmu yang membelainya.



Tapi, itu siapa, Ma?

Ooh, anakku, itulah orang-orang dan anak-anak yang malang, Sayang. Orang-orang menyebut mereka kaum gelandangan. Makanya, jadilah anak yang cerdas, penuhilah hatimu dengan cinta dan kasih sayang, supaya kelak kamu bisa menolong mereka.



Ya, Mama, matanya berkaca-kaca. Kita pun menciumnya haru dan mesra, kita berciuman haru dan mesra. Dan dunia pun terkesima. Lalu, kita melanjutkan perjalanan di bawah naungan langit yang kian luas mengembang. Sementara kebahagiaan kian penuh mengisi cakrawala.



Betapa pun kini kau tak ada bersamaku. Lagi pula, tanpa pertengkaran dan perpisahan itu, mustahil pula rasanya kini aku berada di tengah kafilah para musafir ini. Bungaku, sungguh, sebelum meninggalkan Pelabuhan Teluk Malina dulu, keadaan seperti ini membuat hatiku demikian pilu. Bahwa akhirnya kita tak bisa hidup bersama adalah luka yang nyaris tak tertanggungkan pedihnya. Hanya kekuatan suci cintalah yang telah memberiku tenaga untuk bertahan dan membiarkan anak panah yang entah telah dibidikkan oleh tangan siapa terus menghunjam di dadaku. Kuhayati seluruh rasa sakitnya, tanpa merintih, tanpa mengadu, bahkan kepada Tuhan. Memang, aku tak pernah bisa berhasil dengan sempurna. Itulah sebabnya, aku terpaksa melukis sebagian cabikan luka itu dengan darah yang menetes dari sana, kutulis rasa sakitnya menjadi puisi, dan kusenandungkan rintihan piluku sebagai lagu.



Tapi kini, semua itu telah kutanggalkan di Pelabuhan Teluk Malina, di Kota Lama, tempat kita bertahun-tahun terus bercumbu diam-diam tanpa mengenal waktu. Kalau suatu hari kau sempat menemukannya kembali di suatu galeri milik seorang teman, di toko-toko buku, atau mendengar pengamen bis kota yang menyanyikan lukaku. Hanya itulah yang bisa kutinggalkan sebagai kenangan untukmu. Semoga ia pun bisa menjadi hiburan bagi para kekasih yang mengalami derita sepertiku.



Kini, aku telah tenteram dalam bentangan triliunan mil perjalanan yang akan terus kutempuh sepanjang waktu, menuju negeri segala kedamaian, Negeri di Balik Bulan. Beruntung aku masih menyimpan alamat kamu sehingga aku bisa mengirim surat ini, sebagai bukti bahwa aku tetap mengenangmu. Memang, pada akhirnya, tak ada lagi yang patut disesali. Juga apa yang telah terjadi di antara kita.



Meski tak lagi bisa menyentuhmu, dari jauh aku senantiasa bisa mencium kembali setiap aroma yang dulu kunikmati dari segenap pori-pori tubuhmu. Bungaku, cinta yang suci memang tetap indah untuk dikenang. Ia abadi. ***

Minggu, 04 April 2004

Kopi Seledri

Cerpen Sandiantoro



Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangkir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan terompet Miles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah?



Hidup kita memang penuh kenangan. Sebuah kisah sambung-menyambung dengan kisah lain. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga kita selalu menginginkan kenangan itu datang lagi. Kadang pula tercabik di sana-sini, dan meninggalkan perih yang mengiris. Aku ingin menjadi bagian dari kenangan itu, sepotong scene dalam kehidupanmu tanpa harus tahu akan kau letakkan di mana intro, reffrain, atau ending? Atau mungkin menjadi bagian interlude yang bisa timbul-tenggelam?



Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di saat malam sangat senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas. Kenangan sering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu saja. Atau mungkin beringsut, ngendon sekian lama, membentuk sebuah gambar di bingkai kaca, dan melambai-lambai bak fatamorgana. Kenangan memang maya, tapi kita sering ditarik dalam alam nyata.



Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang pernah ada, membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir mungil kopi seledri. Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Bersama pendar-pendar bola matamu yang kadang tampil malu-malu. Bersama sekulum senyummu yang selalu dirindukan. Aku hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena pertemuan sudah menjadi sesuatu yang asing.



Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu adalah bening. Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. "Aku ingin bertemu denganmu besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku.



Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana?"



Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tmpt biasanya. Pokoknya sore selepas kerja."



Pertemuanku dengan Maya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan kembali dipertemukan oleh waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah merasa kalau kita sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa yang hanya bisa dikhayalkan, akhirnya bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti pertemuan dua muka, pertemuan dua telapak tangan, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa ditebak dan tak terukur.



Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena takdir itu sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaan (yang tersimpan bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu menghadirkan kembali di saat yang tepat. Sebuah takdir yang mampu membuat sebentuk pertemuan indah seperti pertemuan mentari dan batas cakarawala yang selalu menawarkan keindahan berbeda, saat pagi dan senja, dari hari ke hari.



Maya menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan seorang bankir pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan bankir lebih terjamin hidupnya, banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa: dekat wak haji bisa jadi santri, dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di bank berarti mandi uang. Tak peduli itu uang orang. Busyet!



Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari langit temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik merah-jingga di ufuk barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang melambai dan membentuk kotak-kotak keemasan di atas tanah. Aku pun membayangkan apa yang kau lakukan di sore yang indah ini? Apakah wajahmu sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu? Ataukah masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan berkata-kata?



Aku dan Maya punya tempat favorit. Sebuah kafe taman di kota ini. Tempat duduknya di ujung kanan, bukan paling pojok tapi nomor dua dari ujung, di bawah pohon jambu air yang satu-satunya tumbuh di taman itu. Dari tempat ini kami serasa mendapat ruang tersendiri meski jarak kursi lain tak jauh.



Di bawah pohon jambu yang tak juga tinggi, kini aku menunggu Maya, menunggu kenangan, dengan cemas dan penuh harap. Aku hendak menelepon, aku ingin memastikan pertemuan ini. Nomor ponselnya sudah tertera di layar. Namun dalam batin terjadi perang antara ’ya’ dan ’tidak’. Akhirnya aku pencet tombol merah, aku tak jadi meneleponnya. Aku hanya ingin dengar suaranya langsung dengan melihat bibirnya terbuka.



Sebuah pesan singkat masuk lagi: "Aku agak telat, ada rapat kecil evaluasi. Tunggu dulu…." Menunggu sebenarnya membosankan, tetapi menunggu kenangan adalah sebuah keasyikan. Aku segera me-replay: "Tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu."



Di ujung jalan terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai kisah hari ini. Mega-mega kuning memecah cakrawala. Sinar-sinarnya mulai membuncah, bergelora menyergap barisan para pekerja yang menyemut di jalanan. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin saja sedang bergegas menjemput istrinya. Mereka tampak sekali "bernafsu" ingin menaklukkan waktu. Mungkin mereka termasuk orang-orang yang mengkeret di sudut mata istrinya. Mungkin pula mereka takut karena istrinya baru saja lulus ujian sabuk hitam karate kyokushinkai. Yang jelas, mereka begitu takut dengan waktu (dan istrinya). Semua terlihat bergegas, berburu waktu. Itulah kota ini, ketika waktu sudah tak lagi cukup 24 jam.



Aku merasa tak pernah seperti mereka. Belum pernah aku bekerja seperti mesin waktu, berjalan normal dari pukul 09.00-17.00 WIB. Aku tak bisa seperti mereka ketika waktu bergerak selalu sama dari hari ke hari. Aku punya putaran waktu sendiri.



Waktu terus beringsut hingga berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya mentari mulai meredup digantikan sinar-sinar elektronik. Udara sedikit sejuk. Aku mulai resah. Sudah hampir satu jam aku menunggu tetapi tubuh semampai dengan balutan rok tiga perempat tak juga muncul. Aku masih ingat baunya. Ia suka wangi Obsession. Tetapi hingga detik ini ujung hidungku belum terbetik wangi itu. Aku tetap bertahan, sebuah pertemuan setelah tujuh tahun belum tentu kembali terulang. Jangankan pertemuan, bertukar suara saja tidak. Kurun sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini, selalu berjalan antara kejutan dan kenangan.



Jantungku berdegup semakin kencang. Pantatku mulai panas. Benakku terus dipenuhi pertanyaan: pertemuan ini jadi atau tidak? Apakah aku harus meninggalkan tempat ini?



Aku masih bertahan, dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal telah mengabur seiring langkah yang kian menjauh. Namun tetap menyilaukan, hingga aku tahu ke mana harus mencari titik-titik dirimu, antara senja dan malam berbintang.



Panggung kecil di tengah resto kebun itu mulai terang. Itu tanda pemusik yang memainkan nada-nada lembut siap beraksi. Hari itu Selasa, sebuah hari yang sebenarnya tak begitu pas untuk membuat kenangan tujuh tahun itu menjadi kenyataan. Tapi aku tak peduli. Aku terus menunggu, menunggu datangnya sebuah kenangan.



Aku dan Maya punya bayangan yang sama tentang masa lalu. Memendam kekaguman tanpa harus banyak bicara. Menyimpan rasa tanpa harus tahu ke mana jejaknya akan pergi. Tetapi apakah sebuah kekaguman itu harus dibicarakan? Aku rasa tidak. Rasa akan dijawab dengan rasa, jiwa akan dibalas dengan jiwa. Aku tak ingin orang lain menjadi elemen ketiga dari rasa kita, jiwa kita. Bukankah ini adalah rasa kita berdua? Bukankah ini jiwa kita berdua? Sebuah kekaguman, keinginan, rasa, dan jiwa yang kemudian dipertemukan. Aku ingin menikmati semuanya ini berdua, dengan rasa, dengan jiwa. Tanpa curiga, dan tanpa orang lain yang kadang tak paham dengan dunia kita.



Aku memesan kopi seledri, minuman kesukaan Maya. Selama ini bayangku tentang Maya hanya tertumpah dalam satu bentuk: kopi seledri. Aneh memang, tapi itulah kopi yang membuatku ingat padanya. Juga dengan kejap matanya ketika menghirup kepul uapnya. Sebenarnya itu adalah coffee mint. Tetapi ia lebih suka menyebutnya kopi seledri. Mungkin karena bentuk daun mint lebih mirip daun seledri.



Aku mulai tak sabar. Sayup-sayup terdengar intro Kenangan, lagu Bebi Romeo ketika ditinggal kekasihnya. Aku kirim SMS padanya: "Sudah sampai mana? Brp lama lagi aku harus menunggu?" Tak ada sepotong pun jawaban.



Mungkinkah dia terjebak macet hingga dua jam? Apakah rapat kantornya terlalu serius untuk diakhiri? Atau dia ditimpa kecelakaan lalu lintas? Dengan cepat aku menghapus bayangan buruk itu. Aku sahut cangkir, dan aku minum tiga teguk sekaligus.



Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu kuning benar meski bukan saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih yang mengikuti ke mana pun dia pergi. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keindahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku pun bertanya-tanya, apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Aku pun kembali bertanya, apakah di sana juga ada dua insan yang menyimpan kenangan dan memendam rindu?



Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan membuka games di ponsel. Aku memilih snake, aku ingin memperbaiki rekor yang masih 710. Tetapi pikiranku sudah telanjur kacau. Angka yang tercatat tak pernah lebih dari 400 sebelum game over.



Aku sudah benar-benar tak sabar. Penat dan gerah sudah semakin tak mampu kutahan. Batinku seakan mau marah. Ingin sekali aku meneleponnya dan memakinya sekalian. Tapi selalu tertahan. Haruskah aku marah pada sebuah kenangan yang indah? Amarah itu surut diterpa kelebat bayangmu, dengan rambut tersibak bak iklan shampo.



Kopi seledri di hadapanku tinggal separo. Aku semakin gelisah, ditingkahi amarah. Apakah dia akan mempermainkanku sekali lagi? Aku pandangi lekat-lekat keramik broken white dengan garis hijau di sampingnya. Masih sama persis dengan tujuh tahun lalu. Bentuknya manis, tapi aku tak yakin itu bikinan FX Wijayanto.



Darahku kembali naik ke otak. Hatiku mulai panas, tak seperti sisa kopi ini yang semakin dingin. Crazy milik Julio Iglesias yang mengalun lembut tak mampu melunakkan hatiku. Akhirnya aku kirim SMS lebih keras: "Kita jadi bertemu atau tidak?" Aku tunggu beberapa saat. Tak ada jawaban. Batinku menjadi hening, pikiranku melayang-layang. Semua panca inderaku seperti dikepung bayangan Maya. Muncul kerlip sesaat, dengan cepat kubuka, ternyata hasil report dari pesan yang lalu.



Aku masih menunggu dengan rona muka yang tak lagi secerah sore tadi. Waktu terus berputar. Tak juga ada jawaban.



Anganku buyar. Aku memandang sesaat kursi kayu di depanku, tempat duduk Maya tujuh tahun lalu, juga kopi seledri yang tinggal seteguk lagi.



Ponselku kembali bergetar. Aku tahu itu dari dia, mungkin tinggal beberapa langkah lagi ia akan di depanku. Dengan sigap aku buka inbox. Betul dari dia. Dunia benar-benar gelap. Aliran darah seakan berbalik arah. Seribu tanya yang berkubang di kepala berubah menjadi beku. Ia menulis singkat: "Aku tak jadi bertemu, itu selingkuh." (*)

Palu-Makassar, September 2003